Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pekerjaan Baru

17 April 2020   12:52 Diperbarui: 17 April 2020   13:08 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah dua jam saya bersama gadis ini, terus berada di sebelahnya sejak dia meninggalkan terminal pukul tujuh tadi. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertama, jadi rasanya lumayan campur aduk. Sedikit deg-degan dan lebih sering bertanya-tanya tentang waktu yang tepat untuk memulai. Terlebih setelah dua jam di perjalanan tidak ada yang terjadi selain bertambahnya penumpang serta hujan dan angin yang bergantian masuk dari jendela bus yang terbuka.  

Sebelumnya saya dipindahkan dari bagian administrasi yang tidak berhubungan langsung dengan manusia. Tugas saya sebelumnya lebih sederhana, saya hanya perlu untuk mengumpulkan data tentang siapa saja yang telah dijemput, di mana lokasi pastinya dan kapan itu terjadi.

Menurut teman-teman lain yang seprofesi, katanya berurusan dengan manusia jauh lebih sulit dari yang kita bayangkan. Seorang teman justru mengatakan bahwa tingkat kesulitan keduanya adalah satu banding sepuluh. Sangat berbeda sekali dengan hanya mengurusi administrasi saja.

Mendengar pengakuan mereka cukup membuat saya berdebar. Apa yang terjadi nanti, saya tidak dapat memastikan. Mampukah saya bekerja dengan baik saat berurusan dengan manusia. Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengalir di kepala saya sepanjang perjalanan ini.

Hujan semakin deras dan angin kian kencang, namun perempuan di sebelah saya masih enggan menutup jendelanya. Dia biarkan bulir demi bulir hujan menerpa wajah. Dia biarkan juga angin menerbangkan kerudung. Seseorang penumpang lain di kursi bagian belakang tengah memperhatikannya sambil tersenyum-senyum sendiri. Entah apa yang tengah dia rasakan. Saya tidak mengerti.

Saya tidak pernah terlalu memahami perasaan manusia. Yang katanya senang, yang katanya sedih, yang katanya bahagia ataupun yang katanya terluka, saya sama sekali tidak paham. Mungkin karena selama ini hanya bekerja di antara data-data yang menumpuk. Tapi melihat bagaimana lelaki di kursi belakang tersenyum-senyum menyaksikan tingkah laku gadis berkerudung bunga ini, saya sepertinya bisa sedikit mengerti apa yang dimaksud dengan bahagia, meski tidak sepenuhnya memahaminya.

Waktu terus berputar namun saya masih tidak tahu ke mana tujuan gadis ini, dan kapan pastinya saya bisa melaksanakan tugas pertama saya.
Sekeliling jalan raya hanya himpunan kelapa sawit yang berjajar rapi. Mau itu jalanan menikung, menanjak ataupun menurun, di samping kiri dan kanan jalan tetaplah lahan perkebunan sawit.

Saya jadi teringat beberapa bulan lalu sempat mendata kasus penjemputan seseorang di ladang sawit. Tapi saya tidak ingat seperti apa kejadian persisnya saat itu. Jangankan yang berbulan-bulan lalu, apa yang saya catat kemarin saja sudah tidak saya ingat lagi. Setiap hari sepertinya kejadian demi kejadian penjemputan semakin banyak, membuat tangan saya tidak dapat beristirahat barang sebentar. Meski begitu, tetap saja pekerjaan yang harus berurusan dengan manusia, kata teman saya jauh lebih berat, membuat saya semakin tenggelam dalam pikiran-pikiran soal kesulitan yang akan saya hadapi sebentar lagi.

Di sini saya tidak sendiri. Ada beberapa yang memiliki profesi yang sama. Meski tidak pernah saling bertemu sebelumnya tapi kami bisa saling mengenali dengan baik. Tidak ada ciri-ciri khusus yang terdapat pada penampilan kami, misalnya jubah hitam atau tongkat panjang yang bagian atasnya membentuk bulan sabit seperti yang digambarkan sebagian orang tentang profesi kami. Hanya saja saat bertemu pertama kali kami seperti langsung terhubung satu dengan yang lainnya. Perasaan saling terhubung inilah yang membuat kami mengenal sesama rekan seprofesi.

Sejak tikungan terakhir, saya menyaksikan semakin banyak teman seprofesi yang menaiki bus ini. Mereka masing-masing berdampingan dengan seseorang. Ada yang berdampingan dengan anak kecil, ada yang berdampingan dengan ibu hamil, ada pula yang berdampingan dengan kakek yang sepertinya sudah setengah abad berkunjung ke dunia ini.

Saya tidak dapat memastikan jumlah kami, tapi dari apa yang saya dengar adalah hal yang wajar jika kami banyak berkumpul di kendaraan umum. Hampir tidak pernah kami melakukan penjemputan sendirian jika menyangkut kejadian di dalam angkutan umum, apalagi di musim pulang kampung seperti sekarang.

Sudah tikungan ke sekian tapi masih juga belum terjadi apa-apa. Hujan mulai berhenti dan angin tetap menerbangkan kerudung gadis di sebelah saya. Sedang lelaki yang duduk di kursi belakang masih terus memperhatikannya, konsisten dengan senyuman yang sama seperti sebelumnya.

Tiga jam sudah, namun masih saja tidak terjadi apa-apa. Bus tetap melaju dengan kencang. Tiukungan, tanjakan, turunan tetap dilewati dengan lancar. Saya jadi berpikir kesulitan yang teman-teman maksud bukan behubungan langsung dengan manusia yang akan dijemput melainkan waktu menunggu hingga tiba giliran manusia tersebut untuk dijemput. Entahlah. Saya hanya dapat menduga-duga karena belum pernah menjalani pekerjaan ini sebelumnya.
Hingga saat bus berhenti untuk makan siang pun, masih tidak ada kejadian yang mengharuskan saya untuk menjemput gadis ini. Bahkan, saat bus kembali meneruskan perjalanan masih saja tidak ada kejadian khusus. Saya bukan bosan menunggu hanya saja penasaran bagaimana rasanya menjemput seseorang untuk pertama kali.

Memikirkan itu saya mulai berdebar, dan semakin berdebar saat dentuman amat keras terdengar ketika bus menuruni jalanan menikung, di mana di balik tikungan itu ada truk pengangkit sawit yang kelebihan muatan berjalan amat pelan dan menghalangi hampir separuh jalan raya. Membuat supir bus refleks membanting kemudi ke arah kanan yang mengakibatkan bus oleng dan keluar dari jalan raya, setelah sebelumnya menumbuk bagian belakang truk pengangkut sawit. Sepertinya sebentar lagi saya sudah bisa melaksanakan tugas.

Sebab, sesaat setelah keluar jalur, bus mulai hilang kendali, bagian samping sudah bertukar posisi menjadi bagian bawah dan bagian atap menjadi samping. Terus seperti itu, karena bus berguling bebas menuruni jurang yang dipenuhi pepohonan sawit.

Meski tidak begitu dalam, tapi dapat dipastikan hampir semua penumpang di bus ini akan kami jemput. Seperti itulah pekerjaan kami sebagai scheduler. Memastikan orang yang mendapatkan jadwal untuk dijemput adalah orang yang tepat. Setelah itu melaporkan nama, waktu, lokasi penjemputan dan lain sebagainya pada bagian administrasi untuk mereka data dan diserahkan pada departemen pengantaran.

Baru saja saya hendak menjalankan tugas, namun pandangan saya tiba-tiba terhalang oleh silaunya cahaya emas yang berasal dari laki-laki di kursi belakang, yang dengan cepat menyelimuti gadis di samping saya. Benar-benar menyilaukan, membuat kepala saya seketika pening. Saya sampai tidak bisa melakukan tugas dengan maksimal.

Seharusnya saya menjemput gadis itu hari ini. Bukan cuma mata, tangan, kaki, atau anggota tubuh tertentu melainkan semua. Seluruh bagian yang menghuni jasadnya harus saya jemput dan laporkan ke bagian administrasi.  

Namun saya kesulitan karena cahaya keemasan yang tidak berhenti memancarkan kilauannya dan menutupi hampir seluruh tubuh gadis  yang sejak tadi saya awasi untuk dijemput itu.

Saya heran apa sebenarnya cahaya menyilaukan ini sehingga berhasil menghalangi tugas saya, dan membuat saya hanya dapat menjemput sebagian dari ingatan gadis ini dan bukan seluruh bagian yang menghuni jasadnya. Lantas setelah menceritakan pada teman seprofesi soal kendala saya di hari pertama kerja sebagai scheduler, teman saya tertawa.

"Hal itu jarang terjadi, tapi dapat saya pastikan sosok yang kamu sangka penumpang lelaki di kursi belakang itu sebenanrnya adalah doa-doa ibu dari gadis yang harus kamu jemput itu."

Teman saya kemudian menceritakan bahwa meski kita mudah sekali mengenali rekan seprofesi, tapi sulit mendeteksi doa-doa ibu yang dipanjatkan. Mereka bisa saja berwujud anak kecil, kupu-kupu, ataupun sekuntum bunga. Namun apapun bentuk awal mereka, saat orang yang didoakan mengalami kesulitan, maka wujud-wujud yang beragam itu akan serempak berubah menjadi cahaya keemasan yang menyilaukan. Mereka tidak hanya menghalangi pekerjaan scheduler seperti kami tapi juga menghalangi pekerjaan petugas kemalangan.  

Dan kali ini saya dipertemukan dengan doa ibu yang berwujud laki-laki dewasa, yang membuat saya mengiranya sebagai penumpang biasa sehingga tidak mewaspadainya sebagai penghalang tugas saya.

Pada akhirnya pekerjaan pertama saya di departemen yang baru tidak berhasil dengan baik dan saya harus membuat laporan kendala penjemputan untuk itu.

Salupangkang, 14 April 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun