Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mencandai Kematian

16 Agustus 2017   07:03 Diperbarui: 16 Agustus 2017   08:33 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Entar tak nikah sama kamu saja, piye?"

Pertanyaan seperti itu bisa jadi bercanda bisa pula menjadi serius, tergantung bagaimana aku menanggapinya. Dan kali ini aku memilih menanggapinya dengan serius.

"Sama kakakku saja, Pak, dia juga belum nikah." Kataku penuh semangat sambil mengacungkan jempol dan mengurai puji-pujian soal kepribadian kakak.

"Mau diajak ke sini, enggak orangnya?"

"Saya tanya dulu ya, Pak. Tapi Bapak beneran kan ini? Enggak bercanda, kan?"

"Loh, dari tadi kamu ngajakin bercanda, ya?"

"Enggak, Pak, Mila serius."

Tiga bulan setelah percakapan dengan atasanku itu, mereka akhirnya menikah. Kakak bersedia meninggalkan pekerjaannya di kantor kelurahan. Toh, dia juga masih pegawai kontrak yang honornya cair empat bulan sekali. Itu juga kadang sudah habis duluan karena dipotong koperasi.

Kurasa setiap takdir memiliki ceritanya masing-masing. Alasan mengapa aku bekerja di sini, dan atasanku dipindahkan, salah satunya untuk memberi  kakak jalan menuju jodoh yang dia tunggu selama ini.

Cerita lain di balik itu semua adalah, ibu yang kesepian setelah kematian bapak, ditambah adik yang kuliah di luar kota, akhirnya memintaku berhenti kerja dan kembali ke kampung untuk menemani. Masih ada sawah bapak yang digarap orang untuk menghidupi kami.

Andai aku tidak sakit selama seminggu, dan tidak menyadari berat badanku turun sembilan kilogram, lalu vonis dokter soal liverku, tentu aku memilih tetap bekerja di sini. Terlebih jika melihat posisi kakak iparku, aku bisa sangat mudah mendapat promosi naik jabatan. Apa lagi aku termasuk karyawan rajin, supel, cepat tanggap dan loyal. Namun, vonis umur yang tinggal tiga bulan, membuatku merasa perlu untuk menikmati hidup bersama ibu di saat-saat terakhirku menghirup udara di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun