Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dua Ratus Ciuman

3 Juli 2017   21:11 Diperbarui: 3 Juli 2017   21:44 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada beberapa saat Mat memilih tetap berdiri di sebelah pintu masuk. Mengamati pengunjung kedai dari samping lemari pendingin yang menyimpan kue ulang tahun bermacam bentuk dan sepertinya sudah dipesan dengan desain dan nama tertentu.

Mat mulai menyisir isi kedai. Pertama-tama perempuan berkuncir kuda dengan pipi semerah sakura. Perempuan itu terlihat sibuk memilih potongan cake di lemari kaca tempat memajang jualan yang persis berada di sebelah meja kasir.

Tidak. Jangan dia. Ujar Mat dalam hati, setelah mendapat firasat bakal ditolak jika meminta pada perempuan itu.

Met kemudian menyasar ke target nomor dua. Seorang perempuan muda yang tengah berdiskusi dengan pacarnya---atau mungkin suami, karena terlihat mesra sekali---memilih antara roti isi abon, keju atau selai, lantas dengan isyarat anggukan kepala pacarnya, perempuan itu pun mengambil ketiganya. Mat merasa perempuan itu bisa dia jadikan sasaran ciuman selanjutnya.

Mat lantas mendekat, "Mbak, boleh saya cium?"

Perempuan itu memandangi Mat dengan kening menaut. Dia lalu menoleh pada lelaki di sebelahnya. Keduanya berpandangan. Lekat, seakan tengah berdiskusi serius. Sesaat kemudian lelaki itu mengangguk kalem, disusul jawaban pelan perempuan di hadapan Mat, "Silakan, Mas."

Meski sudah ciuman ke seratus sembilan puluh delapan, Mat masih juga merasa berdebar ketika memulai kecupannya. Mungkin karena disaksikan oleh pacar perempuan itu. Atau karena bibir penuh perempuan itu yang telah berhasil menabuh gong di dada Mat.

Usai melepaskan bibirnya, Mat berterima kasih, sekaligus berpamitan. Dia menyalami perempuan itu, lantas menatap penuh makna, seakan mata mereka saling bercerita satu sama lain. Sementara pacar perempuan tersebut memandang keduanya dengan rasa cemburu, barangkali dalam hati dia menyesal telah mengabulkan permintaan Mat.

Tinggal dua. Batin Mat. Ralat lagi: satu. Karena di rumah sudah menunggu ibu untuk memberinya ciuman ke dua ratus.

Masih dua puluh lima menit hingga batas waktu mengumpulkan dua ratus ciuman berakhir. Mat merasa perlu untuk mengisi perut. Namun, dia ingat lagi kalau uangnya tinggal lima ribu perak dan itu hanya cukup sebagai ongkos pulang. Lagi pula agak menggantung juga sebenarnya kalau dia menunda menemukan bibir ke seratus sembilan puluh sembilan hanya untuk makan siang. Lebih baik makannya di rumah saja, Mat memutuskan.

Dia pun menuju terminal angkot yang persis di depan pertokoan. Menaiki angkot berwarna biru yang kebetulan sudah terisi satu penumpang. Seorang perempuan bermata sipit, tangannya memangku sebuah alkitab. Mat memang berencana menemukan terget ciuman selanjutnya di angkot. Tetapi, dia tidak menyangka bisa begitu mujur karena langsung menemukan perempuan di sana. Sendirian pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun