Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dua Ratus Ciuman

3 Juli 2017   21:11 Diperbarui: 3 Juli 2017   21:44 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah seratus sembilan puluh lima bibir yang Mat cium selama hampir dua hari ini. Dia hanya butuh lima bibir lagi untuk mendapat rekor mencium bibir terbanyak dalam waktu dua kali dua puluh empat jam. Mengalahkan rekor sebelumnya yang berhasil mencium seratus sembilan puluh sembilan bibir dalam kurun empat puluh delapan jam.

Mat berlari tergesa-gesa, memasuki warung bakso kotak yang sedang ramai-ramainya karena jam makan siang. Menghampiri seorang ibu yang tengah menyuapi anaknya.

"Bu, boleh saya cium?"

Ibu itu tampak biasa saja, tidak terkejut apalagi tersinggung, dia---dengan gaya yang begitu santai---memonyongkan bibirnya, lalu menyodorkan pada Mat, sambil tangannya masih membelah bakso kotak menjadi bagian kecil-kecil, agar mudah masuk ke mulut sang anak.

Mat menempelkan bibir, mengecap rasa kuah bakso yang tersisa di sana, lalu melepasnya perlahan.

Tinggal empat lagi, pikir Mat. Pemuda itu bisa saja meminta ibu tadi agar membolehkan dia menciumi bibir anaknya juga, namun Mat masih punya etika. Dia tidak ingin menjadi serakah dengan menciumi bibir ibu dan anak itu dalam waktu yang nyaris bersamaan.

Maka setelah berterima kasih, pemuda itu pun pamit. Dia kemudian melangkah menuju kios jam tangan yang berjajar di sepanjang jalan masuk pertokoan. Di sana seorang gadis mengenakan kemeja merah muda polos, tengah khusyuk memilih jam tangan. Satu persatu jam tangan di dalam etalase minta dikeluarkan. Sementara gadis itu mencoba jam model etnik berwarna cokelat terang dengan rumbai-rumbai bergantungan di pangkalnya, Mat datang menghampiri.

"Boleh minta cium, Mbak?"

Gadis itu berbalik sebentar, membingkai wajah pemuda di depannya. Menyoroti mata, hidung, dan yang terpenting: bibir. Gadis itu tidak berkata apa pun, dan hanya langsung berbalik, acuh. Kepada penjual jam tangan dia berucap, "Mas, saya ambil yang ini," sambil menunjukkan jam di tangannya dan memberi lembar dua puluhan. Sebelum berlalu, gadis itu menyempatkan untuk menatap Mat yang berdiri di sebelahnya, sinis, lantas mengucap, "Enggak punya cermin, apa?"

Mat menyesal karena telah meminta berciuman dengan gadis itu. Waktu sepuluh menitnya jadi terbuang sia-sia. Tidak mau menghabiskan lebih banyak waktu, Mat lantas melangkah ke dalam toko busana wanita. Dia lagi-lagi menyasar ibu-ibu. Biasanya kaum ibu lebih mudah memberi bantuan.

Ketemu. Seorang perempuan gemuk berkerudung lebar di jajaran tunik dan kemeja. Mat menghampiri, lantas minta izin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun