Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan dari Langit

13 Februari 2017   02:34 Diperbarui: 13 Februari 2017   03:09 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Jangan menangis,” bujuk lelaki itu dari seberang telepon. Kalimat sama yang telah berulang kali kuperintahkan pada hatiku. Namun hati yang telah kupersiapkan, ternyata masih belum sanggup menerima kabar pernikahannya.

“Bukankah sudah kukatakan untuk jangan berharap lebih,” lanjutnya di tengah isak tangisku.

Aku tahu. Sangat tahu, malah. Itulah mengapa, pesan singkat darinya jarang sekali kubalas. Telepon berdering pun lebih sering kubiarkan saja. Mimpi tentang pernikahan bahagia kutimbun rapat-rapat. Aku bahkan ke Banjarmasin untuk menjauhinya. Mencari kesibukan agar tidak begitu sering mengingat lelaki itu, memulai kerja sebagai admin general affair di salah satu perusahaan retail yang baru saja membuka cabang di kota itu.

“Dia anak teman bapak, aku baru mengenalnya sebulan yang lalu,” kata dia, “Eh, setengah bulan yang lalu!” Buru-buru dia meralat ucapannya barusan.

Aku masih diam. Air mata benar-benar tidak dapat kukendalikan. Mengalir begitu saja, merayapi pipi, membuat dadaku semakin sesak.

“Kenapa?” tanyaku dengan suara bergetar, pada akhirnya. Entah mengapa satu-satunya kata yang keluar dari bibirku hanya itu. Satu kata yang mewakili semua pertanyaan dalam dadaku: Kenapa aku jatuh cinta sama kamu?; Kenapa kamu akhirnya menikah sama perempuan lain?; Kenapa tradisi di keluargamu begitu rumit?; Kenapa mendengar kabar pernikahanmu terasa sebegini sakit?

Tidak sanggup rasanya. Kuputuskan untuk mematikan ponsel sekaligus mengakhiri perasaanku pada lelaki itu.  Meski pada akhirnya, air mataku masih saja belum mau berhenti mengalir.

Beberapa saat setelahnya sebuah pesan singkat masuk dari dia, berisi permintaan maaf, dan tanggal pasti akad nikahnya. Di akhir pesan, dia juga menyelipkan kalimat aku sayang kamu yang membuat dadaku semakin ngilu.

Alhamdulillah, sae, anakmu wes pirang tahun?

Aku mengetik pesan balasan untuk kiriman whatsapp lelaki itu. Entah mengapa, saat ini, perasaan cinta yang bertahun lalu kuputuskan untuk kuakhiri saja, malah tumbuh semakin ranum. Bedanya, aku tidak lagi berharap untuk bisa hidup bersamanya. Mengetahui dia sehat dan keluarganya baik-baik saja, itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Meski harus kuakui, terkadang, ada saat di mana dadaku masih sedikit sesak ketika kembali mengingat dia, seperti malam ini, sesaat setelah membalas pesan whatsapp-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun