Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan dari Langit

13 Februari 2017   02:34 Diperbarui: 13 Februari 2017   03:09 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul satu malam. Pemberitahuan obrolan berbunyi. Aku yang baru beberapa detik lalu menarik selimut, kini  melepasnya. Penasaran. Jarang-jarang ada pesan obrolan di jam begini. Barangkali saja penting. Terakhir kali mendapat pesan obrolan tengah malam waktu mama masuk rumah sakit, karena asmanya kambuh.

Sebuah pesan whatsapp dari nomer yang tidak tersimpan namun agak familiar di ingatanku masuk, isinya menanyakan kabar.

Aku mengerutkan kening, memikirkan siapa yang tengah malam begini mengirim pesan obrolan hanya untuk mengetahui keadaanku. Kulirik lingkaran kecil di sebelah kiri nomor pengirim lantas menemukan sebuah foto lelaki berkacamata duduk menyila memangku anak perempuan yang sepertinya seumuran dengan keponakanku.

Kutekan layar di mana lingkaran kecil itu berada, lantas muncullah gambar berukuran lebih besar lagi, lebih jelas dari sebelumnya. Seketika ingatanku memutar memori beberapa tahun silam. Saat pertama kali mendengar kabar dari dia, di waktu sibuk-sibuknya lembur menyelesaikan laporan penerimaan barang yang mesti kelar sebelum pukul sepuluh.

“Aku mau nikah,” ucap suara di seberang telepon.

Aku kehilangan kata-kata. Mataku terasa panas, lalu tanpa aba-aba bulir-bulir bening meluap dari pelupuk. Ingin rasanya kuteriakkan Selamat! Semoga kamu bahagia! Pada lelaki di ujung telepon itu, namun yang keluar dari bibirku hanya kelu. Mirip desau angin di musim kemarau.

Aku tak pernah menyangka kabar pernikahan dari lelaki itu akan semenyakitkan ini. Sebab sejak awal sudah menyiapkan hati jauh-jauh hari sebelumnya. Mewanti-wanti ujung dari hubungan yang mustahil akan berpangkal ke pelaminan ini.

Dia ibarat langit yang hanya bisa kupandangi dari kejauhan. Yang kadang mengirimi hujan dan tidak jarang pula membanjiriku dengan cahaya matahari. Lantas, setelah keduanya, dia beberapa kali menampilkan pelangi. Tapi, dari semua itu, ada hal yang paling kusukai dari langit, yaitu warna kemerahan yang hanya muncul di kala senja.

Namun sekali lagi: langit itu hanya bisa kupandangi. Aku tidak ingin menjadi tamak dengan membayangkan bahwa suatu hari nanti dia bisa kuraih dan bahkan kumiliki.

Dan rupanya, cinta adalah sesuatu yang dilesakkan Tuhan ke hatiku. Aku tidak bisa mengingkarinya, juga memaksakannya. Maka ketika perasaanku pada lelaki itu mulai kusadari sebagai cinta, aku hanya bisa pasrah. Tapi sekali lagi, perasaan cinta yang meluap seringkali terlalu sulit disembunyikan. Dia melihat itu dengan jelas dari sikapku, dan aku menangkap hal yang sama dari matanya, dengan begitu gamblang.

Sayangnya, dia adalah putra pemilik pesantren tempatku menimba ilmu. Di kemudian hari, sesuai tradisi, penerus pesantren selalu hanya akan dinikahkan dengan perempuan bernasab sama. Dia beberapa kali telah menjelaskan padaku, dan tentu saja hal itu telah kupahami dengan baik, bahkan jika dia tidak memberitahukannya.

“Jangan menangis,” bujuk lelaki itu dari seberang telepon. Kalimat sama yang telah berulang kali kuperintahkan pada hatiku. Namun hati yang telah kupersiapkan, ternyata masih belum sanggup menerima kabar pernikahannya.

“Bukankah sudah kukatakan untuk jangan berharap lebih,” lanjutnya di tengah isak tangisku.

Aku tahu. Sangat tahu, malah. Itulah mengapa, pesan singkat darinya jarang sekali kubalas. Telepon berdering pun lebih sering kubiarkan saja. Mimpi tentang pernikahan bahagia kutimbun rapat-rapat. Aku bahkan ke Banjarmasin untuk menjauhinya. Mencari kesibukan agar tidak begitu sering mengingat lelaki itu, memulai kerja sebagai admin general affair di salah satu perusahaan retail yang baru saja membuka cabang di kota itu.

“Dia anak teman bapak, aku baru mengenalnya sebulan yang lalu,” kata dia, “Eh, setengah bulan yang lalu!” Buru-buru dia meralat ucapannya barusan.

Aku masih diam. Air mata benar-benar tidak dapat kukendalikan. Mengalir begitu saja, merayapi pipi, membuat dadaku semakin sesak.

“Kenapa?” tanyaku dengan suara bergetar, pada akhirnya. Entah mengapa satu-satunya kata yang keluar dari bibirku hanya itu. Satu kata yang mewakili semua pertanyaan dalam dadaku: Kenapa aku jatuh cinta sama kamu?; Kenapa kamu akhirnya menikah sama perempuan lain?; Kenapa tradisi di keluargamu begitu rumit?; Kenapa mendengar kabar pernikahanmu terasa sebegini sakit?

Tidak sanggup rasanya. Kuputuskan untuk mematikan ponsel sekaligus mengakhiri perasaanku pada lelaki itu.  Meski pada akhirnya, air mataku masih saja belum mau berhenti mengalir.

Beberapa saat setelahnya sebuah pesan singkat masuk dari dia, berisi permintaan maaf, dan tanggal pasti akad nikahnya. Di akhir pesan, dia juga menyelipkan kalimat aku sayang kamu yang membuat dadaku semakin ngilu.

Alhamdulillah, sae, anakmu wes pirang tahun?

Aku mengetik pesan balasan untuk kiriman whatsapp lelaki itu. Entah mengapa, saat ini, perasaan cinta yang bertahun lalu kuputuskan untuk kuakhiri saja, malah tumbuh semakin ranum. Bedanya, aku tidak lagi berharap untuk bisa hidup bersamanya. Mengetahui dia sehat dan keluarganya baik-baik saja, itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Meski harus kuakui, terkadang, ada saat di mana dadaku masih sedikit sesak ketika kembali mengingat dia, seperti malam ini, sesaat setelah membalas pesan whatsapp-nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun