"Media sosial itu seperti api yang membakar semangat gerakan boikot terhadap musisi yang pro-Israel. Platform media sosial itu bisa diibaratkan sebagai medan pertempuran berbentuk virtual," ujar Rafli, pengguna media sosial X.
Gerakan boikot yang dilakukan terhadap musisi yang tampil atau menunjukkan dukungannya kepada Israel, menemukan momentumnya di ranah media sosial.Â
Boikot terhadap musisi yang pro terhadap Israel tidak dapat dilepaskan dari peranan krusial media sosial. Platform seperti Twitter (sekarang berubah menjadi X), Facebook, Instagram, dan Tiktok menjadi medan pertempuran virtual, yang menghimpun dan mengorganisir aksi penolakan terhadap keputusan para musisi yang pro dengan Israel.
"Bisa dibilang, media sosial itu kaya elemen vitalnya lah ya dalam gerakan boikot musisi yang pro sama Israel," tutur Fajar, pengguna media sosial Instagram.
Lebih dari sekedar platform komunikasi, media sosial menjadi wadah aktivisme online. Para pendukung boikot memanfaatkannya untuk menyebarkan informasi, membagikan cerita, foto, dan video yang merekam perjuangan mereka.Â
Konten-konten yang dibuat tersebut dapat menjangkau khalayak global dan secara signifikan mempengaruhi opini publik.
"Intinya, media sosial ini adalah mesin yang menggerakan boikot ini, dan membuat gerakan ini menjadi gerakan internasional yang suaranya didengar dunia," tambah Fajar.
Jelaslah bahwa media sosial bukan hanya alat komunikasi, melainkan kekuatan pendorong utama yang sangat berperan dibalik gerakan boikot ini. Platform-platform media sosial yang ada menghantarkan gerakan boikot ini ke ranah internasional dan menjadikannya sebuah fenomena global yang tidak terelakkan.
Kritik Terhadap Gerakan Boikot
Beberapa kritikus gerakan boikot musisi pro-Israel mengkhawatirkan dampak negatif dari gerakan boikot ini terhadap upaya perdamaian. Mereka berargumen bawa gerakan boikot, meskipun didasari niat yang mulia, dapat memperparah ketegangan dan menghambat dialog antar pihak yang bertikai.
"Memboikot musisi hanya akan memperdalam perpecahan dan menghambat peluang untuk dialog dan rekonsiliasi. Kita disini harus membangun jembatan, bukan tembok," ucap Vallo, seorang aktivis perdamaian.