Soeharto merupakan salah satu tokoh paling kontroversial dalam sejarah Indonesia modern. Selama 32 tahun memimpin negara dengan tangan besinya melalui rejim Orde Baru, ia membawa Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, sekaligus menuai kritik akibat banyaknya pelanggaran hak asasi manusia dan sikap otoriter yang amat kentara. Soeharto naik ke tampuk kekuasaan pada 1967 setelah berhasil menggulingkan Soekarno yang saat itu memimpin Indonesia ke jurang krisis ekonomi terburuk. Hiperinflasi melonjak hingga 1000 persen pada 1966, menghancurkan perekonomian negara. Sebagai langkah awal mengatasi krisis, Soeharto menunjuk Widjojo Nitisastro, ekonom kelahiran Universitas Indonesia, memimpin tim ekonomi yang bertugas menstabilkan kondisi ekonomi yang carut-marut. Tim perbaikan ekonomi di bawah Widjojo mengambil sejumlah kebijakan ketat dan tak populer, seperti pengetatan anggaran yang sangat ketat, penarikan peredaran uang berlebih, dan negosiasi restrukturisasi utang luar negeri. Kebijakan-kebijakan ini terbukti berhasil mengembalikan stabilitas ekonomi Indonesia. Inflasi dapat ditekan turun di bawah 10 persen dan defisit neraca berjalan dijaga pada kisaran 2,5 persen dari PDB.
Setelah berhasil mengatasi krisis, Orde Baru menancapkan program pembangunan ekonomi jangka panjang. Widjojo menjadi arsitek dari upaya modernisasi ekonomi Indonesia. Salah satu langkah besarnya adalah membuka pintu investasi asing yang sebelumnya tertutup rapat di era Soekarno. Ekonomi Indonesia juga dipacu dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam ketika terjadi booming harga minyak pada 1970an. Kebijakan ekonomi Soeharto terbukti berjalan sukses. Harga minyak dunia yang melonjak lebih dari 10 dolar AS per barel pada 1974 memberi angin segar bagi Indonesia sebagai negara pengekspor minyak. Pendapatan dari ekspor minyak melonjak hingga 10 kali lipat menjadi 4 miliar dolar AS pada rentang 1970-1976. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun melejit hingga rata-rata 7 persen per tahunnya selama dua dekade pertama Orde Baru.
Namun di balik kemajuan ekonomi yang dicapai, kepemimpinan Soeharto juga menuai banyak kritik akibat sikapnya yang otoriter dan dilakukannya seperti pembatasan demokrasi, banyak pelanggaran HAM untuk menjaga kekuasaan, korupsi dan nepotisme, kontrol media dan krisis ekonomi tahun 1997-1998.
Kepemimpinan Presiden Soeharto diwarnai dengan sejumlah kebijakan yang membatasi demokrasi di Indonesia. Salah satu aspek utama adalah pembatasan jumlah partai politik yang diizinkan beroperasi. Hanya tiga partai politik yang diperbolehkan, yaitu Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Namun, Golkar yang merupakan partai penguasa mendominasi dengan dukungan penuh dari pemerintah dan militer. Bahkan pegawai negeri diwajibkan untuk memilih Golkar dalam pemilihan umum.
Selain itu, militer memiliki peran yang sangat besar dalam lembaga perwakilan rakyat dengan diberikannya kursi khusus bagi perwakilan militer. Hal ini memperkuat kontrol pemerintah Orde Baru terhadap kehidupan politik di Indonesia. Pemerintah juga menerapkan indoktrinasi nilai-nilai Pancasila melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang wajib diikuti oleh semua warga negara, termasuk pelajar di sekolah-sekolah.
Kritik dan perbedaan pendapat terhadap kebijakan pemerintah sangat dibatasi dengan alasan menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional. Pemerintah melarang keras segala bentuk kritik yang dianggap dapat mengancam stabilitas atau menjatuhkan rezim Orde Baru. Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat menjadi sangat terbatas di bawah kontrol ketat pemerintah.
Meskipun terjadi pembangunan ekonomi yang pesat selama masa Orde Baru, namun di sisi lain terdapat pembatasan demokrasi yang signifikan. Hak-hak politik dan kebebasan berpendapat menjadi sangat terbatas. Bahkan pelanggaran hak asasi manusia juga mewarnai sejarah rezim Orde Baru tersebut. Pembatasan demokrasi ini pada akhirnya memicu tuntutan reformasi yang berujung pada lengsernya Soeharto pada tahun 1998 setelah berkuasa selama 32 tahun.
Kediktatoran militer Orde Baru membungkam aktivis, tokoh masyarakat, jurnalis, dan semua pihak yang dianggap mengancam keberlangsungan kekuasaannya. Selama masa pemerintahan Soeharto, terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
1.Operasi Militer di Timor Timur dan Aceh Pemerintah Orde Baru melakukan operasi militer besar-besaran di Timor Timur dan Aceh untuk meredam perlawanan dan tuntutan kemerdekaan. Operasi ini menyebabkan ribuan kematian warga sipil, penyiksaan, penculikan, dan pelanggaran HAM lainnya oleh aparat militer.
2.Tragedi Pulau Buru 1965-1966 Pasca peristiwa G30S/PKI 1965, Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan diduga terlibat dalam pembunuhan massal terhadap ratusan ribu orang yang dicurigai sebagai anggota atau simpatisan PKI. Ribuan tahanan politik dibuang ke Pulau Buru tanpa proses peradilan yang jelas.
3.Penindasan Terhadap Aktivis dan Demonstran Pemerintah Orde Baru bertindak represif terhadap setiap gerakan protes atau demonstrasi yang dianggap mengancam stabilitas kekuasaannya. Peristiwa seperti Tragedi Tanjung Priok 1984, Peristiwa Malari 1974, dan penindakan terhadap aktivis pro-demokrasi menjadi bukti nyata sikap otoriter Soeharto dalam menghadapi kritik dan perlawanan.
Meskipun berhasil membawa stabilitas politik dan ekonomi setelah kepemimpinan Presiden Soekarno, rezim Orde Baru di bawah Soeharto juga diwarnai oleh sejumlah kebijakan ekonomi dan kontroversi yang melingkupinya. Dalam bidang ekonomi, Soeharto menerapkan berbagai program pembangunan jangka panjang yang disebut Repelita yang bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur, industri, dan pertanian di Indonesia. Kebijakan ekonominya dilandaskan pada Trilogi Pembangunan yang terdiri dari stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan.
Soeharto juga berupaya memeratakan pembangunan melalui 8 Jalur Pemerataan Ekonomi yang mencakup pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, dan papan bagi masyarakat. Aksesibilitas pendidikan dan layanan kesehatan juga menjadi fokus utama dalam upaya pemerataan pembangunan. Pemerintah Orde Baru berkomitmen untuk mengurangi ketimpangan pembagian pendapatan dan kesempatan kerja di seluruh wilayah Indonesia. Namun di balik pencapaian-pencapaian ekonomi tersebut, rezim Orde Baru juga dihantui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masif dan sistematis. Soeharto sendiri dituding melakukan nepotisme dengan memberikan posisi-posisi penting kepada keluarga dan kroni-kroninya. Budaya KKN ini berkontribusi pada terjadinya krisis ekonomi yang parah pada tahun 1997-1998 yang ditandai dengan depresiasi nilai tukar rupiah dan ketidakstabilan ekonomi yang akut.
Meskipun Soeharto berusaha menanggulangi krisis dengan berbagai kebijakan seperti revisi anggaran negara dan menaikkan tarif dasar listrik, namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh tingginya hutang luar negeri dan praktik KKN yang telah mengakar dalam sistem pemerintahan Orde Baru.
Sikap otoriter Soeharto juga tercermin dari kuatnya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Korupsi merujuk pada tindakan pejabat negara yang memanfaatkan kekuasaan dan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pada masa Orde Baru, praktik korupsi menjadi budaya yang mengakar kuat di kalangan elite pemerintahan dan birokrasi. Sistem kepemimpinan otoriter Soeharto yang berlangsung dalam waktu lama memungkinkan praktik korupsi ini terjadi secara mulus dan terselubung. Selain korupsi, kolusi juga mewarnai rezim Orde Baru. Kolusi adalah kerjasama antara pihak-pihak tertentu untuk mencapai keuntungan bersama, terutama yang melibatkan kepentingan pribadi atau kelompok. Pada masa itu, kolusi terjadi antara para pejabat pemerintah, kalangan bisnis, dan militer dalam merumuskan kebijakan serta mengalokasikan sumber daya negara. Kebijakan dipermainkan demi keuntungan segelintir orang dengan dalih pembangunan ekonomi. Praktik nepotisme atau pemberian keuntungan kepada keluarga dan kroni juga masif terjadi di lingkaran Soeharto. Ia dikenal memberikan posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan bisnis kepada kerabat dan keluarga dekatnya tanpa mempertimbangkan kualifikasi yang dimiliki. Bahkan, keluarga dan kroni-kroninya memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan negara. Budaya KKN yang merajalela ini pada akhirnya membawa ketidak adilan, diskriminasi, dan penurunan kesejahteraan masyarakat luas. Menjelang akhir 1990-an, gelombang protes mahasiswa dan demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi dan penghapusan KKN. Gejolak politik dan ekonomi ini akhirnya mengakhiri kekuasaan otoritarian Soeharto setelah memimpin selama lebih dari tiga dekade. Kekuasaan yang hampir absolut itu diraihnya dengan menindas dan melanggar.
Salah satu kunci utama Soeharto dalam mempertahankan kekuasaan adalah dengan menerapkan konsep dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Dalam konsep ini, militer tidak hanya berperan di bidang pertahanan dan keamanan, tetapi juga terlibat dalam kehidupan sosial dan politik. Hal ini memperkuat peran militer dalam pemerintahan Orde Baru dan membantu Soeharto mengamankan kekuasaannya.
Pada akhirnya, setelah memimpin lebih dari tiga dekade, kepemimpinan Soeharto berakhir pada 1998 diiringi gelombang protes besar yang tak tertahankan lagi. Ia mengundurkan diri akibat krisis yang melanda Indonesia kala itu. Namun, sosoknya yang otoriter menyisakan banyak kontroversi di antara pendukung dan penentangnya. Di satu sisi, ia dianggap berjasa karena mampu membangun ekonomi dan kemakmuran Indonesia. Namun di sisi lain, kekuasaan yang hampir absolut itu diraihnya dengan menindas dan melanggar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H