Meskipun berhasil membawa stabilitas politik dan ekonomi setelah kepemimpinan Presiden Soekarno, rezim Orde Baru di bawah Soeharto juga diwarnai oleh sejumlah kebijakan ekonomi dan kontroversi yang melingkupinya. Dalam bidang ekonomi, Soeharto menerapkan berbagai program pembangunan jangka panjang yang disebut Repelita yang bertujuan untuk meningkatkan infrastruktur, industri, dan pertanian di Indonesia. Kebijakan ekonominya dilandaskan pada Trilogi Pembangunan yang terdiri dari stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan.
Soeharto juga berupaya memeratakan pembangunan melalui 8 Jalur Pemerataan Ekonomi yang mencakup pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, dan papan bagi masyarakat. Aksesibilitas pendidikan dan layanan kesehatan juga menjadi fokus utama dalam upaya pemerataan pembangunan. Pemerintah Orde Baru berkomitmen untuk mengurangi ketimpangan pembagian pendapatan dan kesempatan kerja di seluruh wilayah Indonesia. Namun di balik pencapaian-pencapaian ekonomi tersebut, rezim Orde Baru juga dihantui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang masif dan sistematis. Soeharto sendiri dituding melakukan nepotisme dengan memberikan posisi-posisi penting kepada keluarga dan kroni-kroninya. Budaya KKN ini berkontribusi pada terjadinya krisis ekonomi yang parah pada tahun 1997-1998 yang ditandai dengan depresiasi nilai tukar rupiah dan ketidakstabilan ekonomi yang akut.
Meskipun Soeharto berusaha menanggulangi krisis dengan berbagai kebijakan seperti revisi anggaran negara dan menaikkan tarif dasar listrik, namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh tingginya hutang luar negeri dan praktik KKN yang telah mengakar dalam sistem pemerintahan Orde Baru.
Sikap otoriter Soeharto juga tercermin dari kuatnya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Korupsi merujuk pada tindakan pejabat negara yang memanfaatkan kekuasaan dan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pada masa Orde Baru, praktik korupsi menjadi budaya yang mengakar kuat di kalangan elite pemerintahan dan birokrasi. Sistem kepemimpinan otoriter Soeharto yang berlangsung dalam waktu lama memungkinkan praktik korupsi ini terjadi secara mulus dan terselubung. Selain korupsi, kolusi juga mewarnai rezim Orde Baru. Kolusi adalah kerjasama antara pihak-pihak tertentu untuk mencapai keuntungan bersama, terutama yang melibatkan kepentingan pribadi atau kelompok. Pada masa itu, kolusi terjadi antara para pejabat pemerintah, kalangan bisnis, dan militer dalam merumuskan kebijakan serta mengalokasikan sumber daya negara. Kebijakan dipermainkan demi keuntungan segelintir orang dengan dalih pembangunan ekonomi. Praktik nepotisme atau pemberian keuntungan kepada keluarga dan kroni juga masif terjadi di lingkaran Soeharto. Ia dikenal memberikan posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan bisnis kepada kerabat dan keluarga dekatnya tanpa mempertimbangkan kualifikasi yang dimiliki. Bahkan, keluarga dan kroni-kroninya memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan negara. Budaya KKN yang merajalela ini pada akhirnya membawa ketidak adilan, diskriminasi, dan penurunan kesejahteraan masyarakat luas. Menjelang akhir 1990-an, gelombang protes mahasiswa dan demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi dan penghapusan KKN. Gejolak politik dan ekonomi ini akhirnya mengakhiri kekuasaan otoritarian Soeharto setelah memimpin selama lebih dari tiga dekade. Kekuasaan yang hampir absolut itu diraihnya dengan menindas dan melanggar.
Salah satu kunci utama Soeharto dalam mempertahankan kekuasaan adalah dengan menerapkan konsep dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Dalam konsep ini, militer tidak hanya berperan di bidang pertahanan dan keamanan, tetapi juga terlibat dalam kehidupan sosial dan politik. Hal ini memperkuat peran militer dalam pemerintahan Orde Baru dan membantu Soeharto mengamankan kekuasaannya.
Pada akhirnya, setelah memimpin lebih dari tiga dekade, kepemimpinan Soeharto berakhir pada 1998 diiringi gelombang protes besar yang tak tertahankan lagi. Ia mengundurkan diri akibat krisis yang melanda Indonesia kala itu. Namun, sosoknya yang otoriter menyisakan banyak kontroversi di antara pendukung dan penentangnya. Di satu sisi, ia dianggap berjasa karena mampu membangun ekonomi dan kemakmuran Indonesia. Namun di sisi lain, kekuasaan yang hampir absolut itu diraihnya dengan menindas dan melanggar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H