Bahagia memang banyak ragam dan bentuknya. Salah satunya adalah memiliki teman yang memberikan kontribusi positif bagi kita. Pun sebaliknya. Namun tak dapat dipungkiri, hal ini tak selalu berjalan mulus seperti biasanya. Alih- alih menikmati pertemanan yang sehat, kita kadang justru terjebak dalam circle pertemanan yang merugikan. Toxic Friendship gitu lah.Â
Tapi herannya, kadang sulit untuk bisa pergi atau melepas tipikal teman yang satu ini. Entah karena apa. Mungkin sama seperti bucin, dalam pertemanan juga ada pandangan seperti itu hingga kita tetap bertahan meski jelas- jelas terasa merugikan. Mari kita bahas, dari sudut pandang saya tapi. Jadi mohon maaf kalau ada yang tak sependapat ya.
Pertama, sama seperti cinta yang tak bersyarat, rasa sayang kepada teman pun muncul begitu saja. Kalau yang benar- benar teman yah. Bukan hanya sebatas memanfaatkan atau berteman atas dasar kebutuhan saja. Ketika saya menghadapi teman (yang sebagian besar lebih muda dari saya), tidak bisa serta-merta menyamakan cara kita bersikap dan berkomunikasi untuk semua orang.Â
Semua bergantung pada tipikalnya, entah itu manja, atau mungkin cuek. Bisa jadi cemburuan, atau bahkan datar- datar saja. Salah satu hal yang musti diperhatikan agar kita tidak tersiksa dalam kemungkinan toxic friendship adalah sabar.Â
Selain itu, berusahalah untuk nggak baperan dan membuat segala sesuatu terasa rumit bin kepikiran. Katakanlah sesuatu yang benar adalah benar dan sesuatu yang salah adalah salah. Karena, melakukan pembenaran terhadap segala kemauan teman adalah kesalahan besar yang menggiring menuju gerbang utama ke-toxic-an yang hakiki.
Sepertinya sudah sangat banyak orang yang mengerti apa itu toxic friend dan berbagai cirinya. Yang intinya adalah, dia selalu memandang semua hal dari sudut pandangnya sendiri, menuntut untuk diprioritaskan,mengekang, atau bahkan menyulitkan kita untuk bisa membuka komunikasi dengan orang lain dan tidak mau tau dengan kesulitan yang kita hadapi.Â
Sulit memang. Rasanya ingin pergi tapi tak bisa. Bertahanpun jadi menyiksa. Tapi kalau memang sudah benar- benar sayang, apalagi menganggap sudah seperti saudara sendiri, bukan hal yang tak mungkin untuk kita dapat mengarahkannya berubah sedikit demi sedikit. Bukan berubah sesuai dengan kemauan kita, namun berubah agar dia juga mau mengerti atas kondisi orang lain dan mengikis sisi egosentris.
Yaaaaaaaap. Panjang perjalanan memang. Apalagi jika tipikal teman kita satu ini sulit diatur. Namun jika memang dia menunjukkan kemauannya untuk berubah meski sedikit- demi sedikit, ada baiknya kita lanjutkan perjalanan demi kebaikan.Â
Namun kalau sudah sepenuhnya dia tidak pernah mendengarkan saran yang kita sampaikan dalam jangka waktu di luar toleransi, memang ada baiknya kita mundur teratur, mengurangi porsi, atau bahkan enyah dengan tiba- tiba dari hadapannya.Â
Biasanya dengan pengalaman, seseorang lebih mudah tersadar dan berubah. Mungkin saja dengan kita yang tiba- tiba lenyap, akan mengingatkannya pada sebuah statement "kalau sudah tiada baru terasa..."
Jadi intinya, menurut saya membimbing toxic friend ke 'jalan yang lurus' jauh lebih penting dan humanis daripada menggunakan sudut pandang ke-aku-an lalu meninggalkannya karena alasan tidak mau repot dan terbebani. Membuatnya sadar dan mau berubah tentunya lebih bermanfaat daripada pergi begitu saja seolah membiarkan sikapnya yang bukan tidak mungkin dapat terulang lagi kepada teman- temannya yang lain.Â
Toh seorang teman yang tulus seharusnya mengerti bahwa nasihat dan saran, bahkan cekcok dan perbedaan pendapat dalam pertemanan adalah hal wajar demi kebaikan.Â
Namun di sisi lain, bukan berarti kita juga mengabaikan diri kita demi 'menyelamatkan' orang lain. Jika memang sudah tidak bisa ditolerir dan semua semakin memburuk tak terkendali, enyah saja lah. Let them go. Masih ada hati dan jiwa yang lebih layak diperjuangkan: Diri Sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H