Sebuah kalimat tanya yang menduduki klasemen tertinggi kategori kalimat basa-basi paling sering ditanyakan kepada para kepala dua dan kepala tiga di Indonesia. Terutama pada momen-momen tertentu seperti lebaran, kumpul keluarga, atau bahkan pas nemenin orang tua belanja dan ga sengaja ketemu temen lamanya.
Anehnya, justru orang-orang yang menanyakan hal ini seringkali bukanlah orang yang dekat secara personal. Orang yang justru 'numpang lewat sesaat' tapi malah kepo seakan-akan sok paling tau tentang kehidupan.
Small talk (basa-basi) sekadar untuk mencairkan suasana memang hal yang sangat lekat dengan masyarakat Indonesia. Seperti tradisi rasa kekeluargaan dan bounding yang erat pula antar keluarga atau teman.
Namun, menanyakan hal ini di saat yang tidak tepat, ditambah intonasi yang seakan menyindir, plus... Menanyakannya di depan orang banyak, lengkap sudah jadi malapetaka. Sama juga, dengan pertanyaan "kapan punya anak? Pasti mamahnya udah ga sabar mau nimang cucu tuh".
Begitu pula dengan "Kok anakmu kurus banget? Padahal ayah dan bundanya gemuk ya?". Atau, "Gemuk banget. Gaada niatan buat diet apa?". Lalu diakhiri dengan tertawa kecil yang seolah-olah lucu.
Pertanyaannya, mengapa kalimat-kalimat semacam itu kadang mengalir begitu saja tanpa bisa direm? Padahal si penanya juga sering kali menyadari bahwa apa yang ditanyakan sebenarnya nggak perlu-perlu amat ditanyakan.
Menurut saya, salah satu latar belakangnya adalah, sang penanya ingin mengafirmasi dirinya bahwa dia bernasib lebih baik dari orang yang ditanya.
Misalnya, ketika kerabat bertanya "Kapan kamu nikah? Belum ada calonnya ya?" disambung dengan "Dulu tante seumuran kamu udah punya anak dua,lho". Tarrraaaaaaaaa. Iya tante. Iya. Situ hebat emang. Bisa cepet dapet jodoh. Salut lah.
Selain itu, manusia gaakan bisa lepas dari lingkungan sosialnya (Human Behaviour in the Social Environment). Termasuk hal-hal yang berkaitan dengan harga diri. Yang mana, harga diri terbentuk ketika membandingkannya dengan orang lain. Dalam social comparison theory, saat membandingkan diri dengan yang lebih rendah, maka akan terbentuk harga diri yang tinggi.
Begitu pula sebaliknya. Seperti, seseorang yang menanyakan "kapan punya anak?" Karena memang sudah memiliki buah hati saat seumuran dengan orang yang ditanya. Atau menanyakan "Anakmu dikasih susu formula ya? ASImu gak cukup emang?" Karena tidak merasakan bagaimana susahnya saat produksi ASI tidak mencukupi walau sudah berusaha pake booster apapun.
Basa-basi yang tadinya diharapkan dapat menghangatkan suasana, bisa jadi justru bikin nggak mood dan jadi kaku.
Selain itu, dampak pertanyaan semacam itu juga bisa berkepanjangan pada orang yang ditanya. Bisa jadi, menimbulkan stress atau lebih parahnya jadi membenci diri sendiri dan membandingkan dengan nasib orang lain yang tampak lebih baik. Karakter dan pola pikir seseorang tentunya berbeda-beda. Kita tidak pernah tahu, apa yang sesungguhnya terjadi pada orang lain. Bisa jadi pertanyaan semacam itu yang menurut kita hanya basa-basi, menjadi beban berat yang diderita orang lain.
Namun demikian, bukan berarti pertanyaan- pertanyaan semacam ini nggak boleh ditanyakan sama sekali. Kita yang harus bisa mengukur dan memilih, kepada siapa kita menanyakannya. Bukan karena basa-basi atau kepo.
Tapi karena benar-benar empati. Misalnya, mengingatkan teman yang terlalu fokus pada karir atau terlalu pilih-pilih. Buatlah obrolan mengalir dengan santai. Jika memang dia membuka topik pembicaraan tentang privasinya yang satu ini, berarti dia percaya pada kita.
Nah, tinggal cari celah yang tepat untuk menanyakan ini. Tentunya, dengan pilihan kalimat yang sesuai juga dengan karakter orang yang mau ditanya.
Ingat. Sopan-santun lebih penting dari sekadar basa-basi. Daripada menanyakan pertanyaan ngawur, mending diam dulu mengamati situasi. Jangan buru-buru. Grusa-grusu. Mau sok asik tapi malah nyebelin jatohnya. Gitu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H