Aku hanya akan sedikit menulis opini yang ingin kuungkapkan. Tentang sebuah kekhawatiran mengenai rasa kemanusiaan yang saat ini sudah mulai terkikis di hati para manusianya itu sendiri. Sebelumnya, mari simak lirik lagu berikut:
Selama ini, Kunanti
Yang kuberikan datang berbalik
Tak kunjung pulang
Apa pun yang terbilang
Di daftar pamrihku seorang
Telah kusadar hidup bukanlah
Perihal mengambil yang kau tebar
Sedikit air yang kupunya
Milikmu juga bersama
Bisakah kita tetap memberi
Walau tak suci?
Bisakah terus mengobati
Walau membiru?
Cukup besar 'tuk mengampuni
'Tuk mengasihi
Tanpa memperhitungkan masa yang lalu
Walau kering
Bisakah kita tetap membasuh?
Kita bergerak dan bersuara
Berjalan jauh, tumbuh bersama
Sempatkan pulang ke beranda
'Tuk mencatat hidup dan harganya
Mengering sumurku
Terisi kembali
Kutemukan
Makna hidupku di siniÂ
Aku rasa Hindia menciptakan 'Membasuh' ini dengan makna sejujur- jujurnya. Agar semua yang mendengarnya memahami, bahwa tidak perlu menjadi manusia paling bahagia untuk dapat mengobati luka manusia yang lainnya.
Bahwa tak perlu menjadi manusia paling kaya untuk dapat berbagi dengan manusia yang lainnya. Bahwa, tak perlu menjadi manusia yang paling bersih untuk bisa berbuat dan bertutur tentang hal baik untuk sesama manusia.
Hidup juga bukan sekedar memperhitungkan untung- rugi sesama manusia. Bukan hanya berniat memberi untuk mendapatkan balasan lebih banyak. Bukan berniat merangkul hanya untuk mendapatkan apresiasi dan pengakuan menjadi orang baik. Bukan berempati untuk dianggap menjadi seorang pahlawan. Bukan pula berbuat baik hanya karena balas budi dari masa lalu yang harus ditebus lunas.
Pernahkah merasa lelah saat seolah orang- orang datang dan pergi silih berganti hanya saat membutuhkanmu saja? Pernahkah merasa marah saat kita membutuhkan orang lain untuk menguatkan, justru kita merasa sendirian dan merasa semakin lelah? Pernahkah, merasa bukan menjadi prioritas orang lain saat kita sudah berusaha mati- matian jadi yang terbaik untuknya?
Mungkin akan terasa menyakitkan saat kita memojokkan diri seperti demikian. Bahkan mungkin, saat terasa begitu lelah, tak terasa air mata menetes tanpa bisa kita bendung. Sendiri. Sambil membolak- balikkan apa yang kita fikirkan. Merasa berada di titik terendah. Merasa sudah terlalu lelah untuk berbuat baik untuk orang lain. Sudah terlalu banyak rasa yang dikorbankan untuk 'mengisi' jiwa orang lain hingga nyaris tak ada yang tersisa.
Tapi, bukankah selalu ada rasa yang sulit dijelaskan saat kita berbuat baik? Selalu ada rasa bahagia saat melihat senyum teman yang baru saja usai berbagi kisah rapuhnya dengan kita? Selalu ada rasa hangat saat peluk kita bisa meredakan tangis seseorang? Selalu ada bahagia seakan ada satu bunga cantik mekar di dada tiap kita bisa menjadi orang yang berperan untuk bahagianya orang lain?
Memang, ego kita kadang merenggut sisi manusia kita itu sendiri. Saat kondisi lelah, saat kondisi terpuruk. Tapi, terlalu banyak senyuman indah yang sayang untuk kita lewatkan. Dari orang- orang di sekitar kita, dari teman- teman terdekat, dari keluarga, bahkan kadang dari orang- orang tak terduga.Â
Memang, seringkali mereka tidak selalu ada. Alasannya? sama. Sama seperti kita yang sesekali lelah dengan kehidupan ini.
Tapi, yakinlah, mereka yang terbaik akan selalu kembali. Bukan karena merasa harus membayar daftar pamrih yang mereka dapat darimu. Bukan karena ingin mengambil kebaikan yang mereka tebar padamu.
Tapi karena merasa, bahwa jiwa mereka juga kembali terisi saat berbuat kebaikan. Sekecil apapun.Â
Jadi, masihkah kita tanpa sengaja membuat daftar pamrih saat berbuat baik untuk orang lain?
3 April 2020
Enchip
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H