Mohon tunggu...
Shiela MuflikhahAthiyallah
Shiela MuflikhahAthiyallah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidikan Multimedia - Universitas Pendidikan Indonesia

Writing is one of my hobby

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Krisis Pendidikan Karakter dan Moral Siswa-Siswi di Indonesia

7 Desember 2022   11:00 Diperbarui: 7 Desember 2022   11:08 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KRISIS PENDIDIKAN KARAKTER DAN MORAL SISWA-SISWI DI INDONESIA

Oleh: Shiela Muflikhah Athiyallah

Menurut Undang - Undang Dasar Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan pada umumnya dibagi menjadi empat tahapan yaitu prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengan, perguruan tinggi seperti universitas ataupun magang. Pendidikan dilaksanan melalui berbagai proses diantaranya adalah secara formal, informal, maupun non formal.

Dampak globalisasi yang terjadi di abad 21 ini tidak dipungkiri membawa banyak pengaruh baik terhadap kehidupan masyarakat khususnya bagi pelajar. Dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, pelajar dapat lebih mudah dalam mengakses informasi dan sumber-sumber pembelajaran sehingga hal tersebut memudahkan mereka dalam mendukung kegiatan belajar. Para pendidik pun menjadi lebih mudah dalam meningkatkan kemampuannya dala mendidik murid-muridnya. Pendidik dapat memanfaatkan kemajuan teknlogi dengan baik untuk mengakses atau mencari apa saja tren pembelajaran di dunia bahkan mencari referensi pendidikan dari negara-negara maju.

Namun, bila dilihat lebih spesifik lagi dengan adanya kemajuan teknologi tersebut ternyata juga membawa murid dan pendidik melupakan pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan pendidikan keberlanjutan yang tidak akan pernah berakhir selama manusia masih hidup di bumi ini.  Fondasi bangsa ini akan tetap kuat jika perkembangan jiwa, mental, dan karakter anak-anak terus di jaga. Keluarga merupakan tempat sosialisasi utama seorang anak untuk menguatkan fondasi pendidikan karakter dirinya sendiri, apabila sosialisasi di keluarganya sudah baik maka karakter seorang anak diluar rumah pun berkemugkinan baik juga.

Pedidikan karakter sendiri merupakan upaya yang dirancang dan diimplementasikan secara sistematik untuk menanamkan nilai-nilai perilaku anak didik yang berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama, budaya dan adat istiadat (Gunawan dalam Khoiriyah, 2016). Pendidikan karakter ini bertujuan untuk membentuk karakter, mengembangkan karakter, dan menumbuhkan akhlak yang mulia.

Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Pasal 3 Tahun 2017 dirumuskan bahwa ada 18 nilai penguatan pendidikan karakter bangsa yang diharapkan dapat disampaikan kepada peserta didik yaitu diantaranya : 1) religius, 2) jujur, 3) toleransi, 4) kerja keras, 5) kreatif, 6) mandiri, 7) demokratis, 8) disiplin, 9) bersahabat, 10) rasa ingin tahu, 11) menghaargai prestasi, 12) gemar membaca, 13) semangat kebangsaan, 14) cinta tanah air, 15) cinta damai, 16) peduli lingkungan, 17) peduli sosial, 18) tanggunng jawab.

Menurut Foerster (Muslich 2011:127) ada empat ciri dasar pendidikan karakter yaitu keteraturan interior yang merupakan nilai yang menjadi pedoman normatif suatu perilaku, koherensi yang memberi keberanian atau sikap dimana seseorang teguh pada prinsipnya dan tidak mudahterkecoh oleh situasi baru, otonomi atau sifat independen, serta yang terakhir adalah keteguhan dan kesetiaan.Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memetakan seberapa besar kebutuhan pendidikan karakter sesuai dengan jenjang, jenis, dan jalur pendidikan.

Grafik tersebut adalah grafik penidikan komperehensif. Menurut dokumen resmi PBB, pendidikan komperehensif diarahkan untuk perkembangan pribadi serta menguatkan hak-hak dan kebebasan sehingga orang-orang yang bersifat otonom dan bermartabat dengan jiwa kebebasan rakyat dapat dilatih lebih. Singkatnya, pendidikan komperehensif itu sendiri yaitu pendidikan yang tidak hanya memfokuskan kepada nilai akademik tetapi juga fokus terhadap perkembangan kognitif, emosional atau sosial sehingga siswa dapat mengetahui bagaimana eksistensinya berfungsi di semua bidang kehidupan.

Grafik tersebut menjelaskan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka kebutuhan karakternya itu semakin besar, tetapi hal tersebut bukan berarti semakin tinggi penddidikan seseorang semakin sedikit kebutuhan pendidikan karakternya. Semakin kita bertambah dewasa dan bertambah tinggi pendidikannya, makakebutuhan akademik kita semakin besar. Semakin kita dewasa, semakin banyak beban dan tanggung jawab yang ditanggung. Semakin kita dewasa, semakin berkurang pula sikap kebergantungan kita kepada orang lain.

Sejalan dengan hal tersebut, maka sesuai dengan pengertian dari pendidikan komperehensif itu sendiri dengan kita bertambah dewasa maka kita semakin banyak belajar mengenai keberadaan kita dilingkungan masyarakat, oleh karena itu pendidikan karakter sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kebiasaan baik seseorang dalam menjalani hidupnya terutama di lingkungan masyarakat.Namun apakah di Indonesia sudah menerapkan pendidikan karakter di lembaga pendidikan dengan baik?

Jika dilihat dari berbagai sudut pandang, praktik pendidikan di Indonesia masih kurang dalam menerapkan pendidikan karakter. Dalam kapasitas pendidikan formal sendiri, pendidikannya cenderung berorientasi kepada hard skill atau pendidikan yang bersifat lebih mengembangkan kemampuan intelligence quotient (IQ). Di beberapa sekolah atau perguruan tinggi juga terkadang hasil belajar seorang murid hanya dilihat dari nilai hasil ujiannya, stigma 'Nilai Jelek Berarti Bodoh' sudah terlalu melekat di dalam otak masyarakat Indonesia.

Lulus tidaknya atau bagus tidaknya hasil ujian yang didapat selalu dijadikan acuan keberhasilan peserta didik dalam menjalani pembelajaran di sekolah. Jika seorang anak mendapatkan nilai yang rendah, pasti anak tersebut dilihat sebagai anak dengan kompetensi yang rendah, begitu pula sebaliknya. Hasil nilai ujian terkadang lebih diapresiasi ketimbang bagaimana proses seorang murid dalam mengerjakan ujian tersebut. Karena merasa guru dan orang sekitar lebih melihat hasilnya, maka tidak heran jika banyak murid yang rela melakukan kegiatan menyontek demi mendapatkan nilai yang tinggi.

Hal-hal kecil seperti kurangnya apresiasi dari guru terhadap proses belajar murid dapat memunculkan bibit-bibit krisis pendidikan karakter dan moral murid tersebut. Padahal peran guru sangatlah besar dan berpengaruh terhadap pembentukan karakter individu muridnya, karena guru merupakan orang tua murid di sekolah. Dengan sistem pendidikan yang hanya berfokus pada kemampuan IQ sudah terlihat jelas bahwa pendidikan di Indonesia kurang mengembangkan kemampuan soft skill yaitu emotional intelligence (EQ) dan spiritual intelligence (SQ), pendidikan di Indonesia kebanyakan hanya berorientasi pada aspek kognitif seorang murid.

Penanaman nilai-nilai karakter tidak bisa dilakukan secara instan karena penanaman nilai karakter perlu dilakukan melalui pendidikan yang kontinu atau berlanjut, jika dilakukan secara terpotong nilai-nilai baik karakter tidak akan tersampaikan hingga menjadi kebiasaan seorang murid. Dengan pendidikan karakter yang terus berlanjut maka nilai-nilai tersebut akan menjadi suatu kebiasaan sehingga tidak ada rasa keterpaksaan dalam karakter yang telah dipelajari tersebut.

Karakter pada dasarnya diperoleh melalui interaksi dengan orang tua, guru, teman, dan lingkungannya. Karakter juga dapat diperoleh dari hasil pembelajaran secara langsung ataupun melalui hasil pengamatan seseorang (Mardapi, 2017). Selain guru, peran orang tua dan keluarga juga sangat besar terhadap karakter anak. Bahkan bisa dikatakan keluarga maupun orang tua merupakan pendidikan karakter utama dan yang pertama bagi anak-anak.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penanaman nilai karakter perlu dilakukan secara kontinu. Maka dari itu orang tua tidaklah tanpa alasan dijadikan pendidikan karakter yang utama. Orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar dan bertahan lama terhadap pendidikan karakter anak karena hubungan orang tua dan anak akan terus berlanjut sepanjang hayat dan tidak dapat diputuskan oleh siapa pun. Orang tua yang mengajarkan nilai atau norma hukum moral dan etika mewujudkan seorang anak dengan karakter yang baik sehingga anak tersebut dapat mudah beradaptasi diberbagai lingkungan kehidupannya.

Terkadang peran guru dan orang tua tidaklah cukup untuk menanamkan pendidikan karakter dan moral yang baik terhadap seorang anak. Anak juga harus memiliki kesadaran dan pemahamannya sendiri seberapa penting nilai-nilai karakter baik untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Oleh karena itu perlunya pembiasaan pendidikan karakter sejak dini oleh keluarga adalah supaya anak paham akan norma-norma etika yang berlaku di kehidupan masyarakat.

Namun belakangan ini krisis moralitas anak muda Indonesia sedang berada di level yang menghawatirkan. Berbagai berita buruk tentang  pembullyan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan tersebar di seluruh media masa Indonesia, dan yang paling disayangkan kebanyakan pelaku dari kasus-kasus tersebut merupakan anak muda. Tawuran, pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, seperti sudah jadi hal yang lumrah dilakukan oleh anak-anak muda. Mereka fikir dengan melakukan hal-hal tersebut dapat membuat mereka lebih keren padahal sudah terlihat jelas hal-hal yang disebutkan tadi merupakan perilaku yang tidak terpuji dan melanggar norma hukum moral dan etika.

Ketimbang mencari akar permasalahan awal munculnya tindakan tidak terpuji anak-anak muda, lebih baik mencari solusi bagaimana mengatasi krisis moralitan tersebut. Salah satu cara untuk mengatasi atau bahkan mengurangi kenakalan remaja tersebut adalah dengan rajin mengimplementasikan pendidikan karakter. Lagi-lagi peran guru disini sangatlah penting. Terkadang memang banyak orang tua yang mengalami masalah keluarga dan gagal dalam mengajarkan atau menjaga mental serta sikap seorang anak sehingga berdampak kepada karakter yang buruk baik itu didalam rumah bahkan terbawa sampai keluar rumah. Jika seorang anak gagal mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari lingkup utama dan pertama yaitu keluarga, maka sekolah atau guru harus bisa memaksimalkan diri untuk memberikan hal tersebut. Karena apabila integrasi pendidikan karakter di rumah dan di sekolah gagal, maka krisis pendidikan karakter dan moralitas pun tidak terbendung.

Guru harus bisa mengimplementasikan pendidikan karakter dengan baik dan semaksimal mungkin terhadap siswa-siswinya. Tidak perlu pusing-pusing atau jauh-jauh mencari banyak pedoman tentang pendidikan karakter, pendidikan karakter khas Indonesia sendiri sudah tertanam dalam Pancasila. Lima sila dasar negara yang ada pada Pancasila sudah memiliki makna yang dalam untuk menciptakan karakter generasi bangsa yang baik. Lemahnya pemahaman anak muda terhadap nilai-nilai Pancasila mengakibatkan munculnya generasi dengan krisis moralitas dan identitas serta rentan akan penyimpangan SARA.

Sehingga untuk memberikan pemahaman lebih kepada anak-anak maupun anak muda pada pendidikan karakter, guru dan lembaga pendidikan hendaknya maksimal dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila kepada siswa-siswinya dan dibimbing secara kontinu supaya penanaman karakter baik dari lima sila Pancasila dapat menjadi kebiasaan baik bagi mereka. Implementasi integrasi pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan cara pembelajaran, budaya di sekolah, maupun ekstra kurikuler.

Pendidikan karakter ibarat tameng yang harus selalu dibawa setiap perang untuk menjaga diri dari lawan, karena pendidikan karakter sendiri merupakan salah satu alat perlindungan diri untuk menjaga dan menjamin kualitas hidup seseorang serta keberhasilan pergaulan seseorang dalam lingkungan masyarakat.Peserta didik diharapkan dapat menanamkan dan memahami dengan baik nilai-nilai moral serta karakter yang diterapkan sehingga tidak terjadi kesalah pahaman atau kekeliruan dalam megimplementasikan etika di lingkungan kehidupannya. Jika perlu, kerja sama antara orang tua dan lembaga pendidikan ditingkatkan lebih intens lagi sehingga pendidikan karakter seorang anak akan lebih cepat dicapai dan apabila hal tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka perilaku yang menyimpang serta krisis moralitas siswa-siswi di Indonesia pun dapat dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, S., 2015. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Mengatasi Krisis Moral di Sekolah. Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), pp. 57-59.

Harun, Z., 2013. Manajemen Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan Karakter, 4(3), pp. 302-307.

Iswantiningtyas, V. & Wulansari, W., 2018. Pentingnya Penilaian Pendidikan Karakter Anak Usia Dini. Proceedings of The ICECRS, 1(3), pp. 197-198.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun