Mohon tunggu...
Shesar
Shesar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemuja Pramoedya

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kalem Aja, Vakansilah

14 Januari 2016   20:29 Diperbarui: 14 Januari 2016   20:29 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Taman Nasional Tangkoko (gambar: mongabay.com)"][/caption]

“Hah?!” Diri kaget saat mendengat atasan menyampaikan sebuah informasi. Bukan tentang ledakan bom di Sarinah. Percakapan itu terjadi pukul 08.30, sekitar dua jam sebelum ledakan. Pembikin kaget adalah saat beliau bilang bulan depan pemerintah menargetkan 200.000 kunjungan dari Tiongkok.

Tengok rekam jejak berikut dan kau akan paham. Untuk pertama kali dalam sejarah, kunjungan dari Tiongkok menyentuh angka 1 juta. Itu catatan  per November lalu. Catatan bulanan tertingginya ada pada Februari kemarin, 137.181 kunjungan. Itu juga rekor yang layak dicatat MURI. Maka untuk mencapai angka 200.000 itu, perlu ada kenaikan sebanyak lebih kurang separuhnya. Lima puluh persen.

Remeh? Kalau perekonomian kita tumbuh sebesar itu, maka kau yang kini tengah membaca tulisan ini, bisa seenaknya membeli PS4 tanpa pusing mikir kapan gimnya bisa dibajak. Makan di warteg bakal susah karena warungnya sudah naik tahta jadi kafe. Dan segala kemakmuran lain yang belum aku dan kau bayangkan.

Belum sempat obrolan itu kutuangkan jadi siaran pers, ada undangan rapat. Di tengah rapat itulah menyeruak kabar ledakan bom. Dan menguaplah pembicaraan di rapat dari kepala.

“Selamat tinggal target 200.000 tadi. Au revoir. Sayonara,” bisikan kecil di kepala.

Mau tak mau, suka tak suka yang namanya bencana macam ini selalu jadi force majeure di sektor pariwisata. Bom Bali jilid I dan II jadi pelajaran. Tak cuma letusan artifisial, yang alami pun berdampak. Sebut satu, gunung yang batuk. Baik kering maupun berdahak lava.

Tunggu. Kok ruang rapat ini selo saja? Padahal ada beberapa orang yang sadar kalau di Sarinah ada bom dan bedil-bedilan. Dan jarak Sarinah itu ya cuma 5 menit ngonthel dan 15 menit mlampah dari kantor. Tapi suara-suara di ruang rapat masih saja bicara soal bagaimana agar tidak dapat rapor merah alias disclaimer.

Semua kalem. Seolah di luar tidak ada apa-apa. Burung masih terbang. Bus Transjakarta masih jalan. Petugas kebersihan di Monas masih leyeh-leyeh selepas sapu sana-sini. Diri heran.

Padahal mau khawatir ya sah-sah saja. Kan Jakarta itu pintu masuk utama wisman, ditemani Batam dan Bali. Dari 8,7 juta kunjungan sampai November tuh 2,1 juta masuk dari Soekarno-Hatta, lalu 3,5 juta dari Ngurah Rai. Wajar kalau cemas-cemas ndak sedap wisman takut ke Jakarta.

Tapi rupanya memang orang Indonesia ini selo sekali. Dalam kasus ini, Jakarta.

Hampir tiap pagi, pos polisi Sarinah itu selalu dirilewati kala ngonthel ataupun naik bus menuju kantor. Pulang pun lewat sana. Dan sore ini pun lewat lagi, usai jalanan dibuka polisi. Lihat apa di sana? Mas-mas penjaja kopi keliling yang sebagian besar ngocek Medure itu jualan di sana. Kupikir foto bapak jualan sate yang ada di Path itu dobol-dobolan. Ternyata betulan. Dalam rupa mas-mas jualan kopi, juga minuman saset lain. Bahkan ada yang memoto seorang tentara membeli dari bapak-bapak cangcimen. Warbyasa selo.

Selain tagar #KamiTidakTakut, ada pula #IndonesiaWorthIt dari pegiat halan-halan. Maksudnya berkabar ke dunia luar bahwa Indonesia oke-oke saja. Indonesia rapapa (oke ini aneh, tapi kaidah basa Jawanya emang gitu, bukan rapopo).

Makjang. Matur nuwun mase.

Dan memang harus begitu. Nggak kaget kalau negara lain bikin travel warning atau lebih halusnya travel advice. Jangan dulu datang ke Indonesia, nggak aman mas-mbak. Apalagi yang kena Jakarta. Simboknya negara.

Maka sudah betul bahwa untuk mengembalikan kepercayaan wisman adalah dengan pengalihan isu. Alihkan saja perhatian mereka dengan terus mencekoki dengan keindahan Wakatobi, Raja Ampat, Pulau Komodo, maupun Pulau Morotai.

Ingatan manusia memang lebih besar kapasitasnya dari hard disk tercanggih saat ini. Tapi tidak ada yang kemampuannya sampai 100%. Maka ingatan tadi bisa ditumpuk dengan yang bagus-bagus sampai tenggelam dan lupa.

Ya seperti sekarang. Banyak orang yang mungkin sedikit lupa sama serutup kopi yang membunuh Mirna. Hari ini ada sidang Jero Wacik. Juga dengan peringatan Malari besok. Nah, maka seharusnya tidak susah untuk membikin para (calon) wisman kalem dan tidak membatalkan niat vakansi ke Indonesia.

Pemerintah dan industri bekerja seperti biasa. Kalem weh. Tapi tetap paralel dengan meningkatkan keamanan dan kewaspadaan. Agresif menyerang gawang lawan tapi lupa menjaga gawang sendiri adalah sebuah aksi dungu. Dibantu masyarakat yang membantu berseru, klop sudah.

Menteri Pariwisata pun sudah kalem dan bilang masa pemulihan bisa tuntas dalam seminggu. Jauh lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan jomblowan untuk memikat jomblowati.

Mampir saja ke Morotai bro. Ngaso sebentar lae di Toba. Cobalah kau tengok orang melompati Batu di Nias. Sudah lihat sendiri sapi beradu lari di Madura? Belanjakan tabunganmu untuk berbasah-basahan di Raja Ampat, maka kau tak akan menyesal. Lihat itu kadal terbesar di bumi mencuri ikan yang dijemur penduduk Labuan Bajo, tak ada itu kau jumpai di tanahmu.

©Shesar_Andri

Jakarta, 14 Januari 2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun