Mohon tunggu...
Syafril Hernendi
Syafril Hernendi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Living Life to Your Fullest

Personal Development Speaker | Email: syafril@syafrilhernendi.com | FB: /syafrilhernendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagia Selamanya dalam Cinta adalah Omong Kosong

22 Desember 2020   09:45 Diperbarui: 22 Desember 2020   09:46 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alih-alih berharap berbahagia selamanya, mungkin kita harus mulai mengubah harapan menjadi bahagia sekarang dan terus berproses untuk bahagia.

Semua yang terkait dengan cinta terlihat begitu menyenangkan.

Saling menggenggam tangan. Memiliki seseorang yang dirindukan. Menjelajahi dunia bersama. Bercanda. Saling memahami. Menghabiskan waktu bersama.

Bahagia selamanya.

Benarkah? Tidak selalu.

Di balik selubung cinta yang nampak serba mulus, biasanya terdapat lapisan kasar berbatu tajam saat kita mulai mengulitinya.

Lapisan ini tidak kelihatan di permukaan, sehingga menipu banyak orang yang memiliki harapan tak realistis tentang cinta.

Banyak orang beranggapan memiliki hubungan cinta sempurna bisa diraih dengan sekedar menemukan orang yang tepat.

Jauh dari itu. Menemukan seseorang baru menjadi langkah awal.

Sama seperti kesuksesan dalam bidang apapun, kesuksesan dalam hubungan romantis juga membutuhkan proses, dedikasi, serta upaya bersama.

Itu sebab, ujug-ujug bahagia selamanya adalah omong kosong yang bisa menyesatkan.

Kita harus memahami realitas tentang apa yang diperlukan untuk membangun hubungan berkelanjutan yang sehat.

Jangan percaya dengan kisah cinta di film Disney atau drama Korea yang hanya berdasar cerita dramatisasi dan tidak menginjak dunia nyata.

Lantas mengapa banyak orang memiliki pandangan tidak realistis terhadap cinta?

Ada berbagai sebab. Namun antara lain karena dorongan cinta biasanya mulai hadir saat seseorang masih berusia belia.

Ketidakmatangan emosi dan kurangnya pemahaman, membuat mereka lebih mengutamakan perasaan saat mulai menjalin hubungan dengan seseorang.

Cinta pada pandangan pertama, begitulah kita sering menyebutnya.

Namun seiring usia bertambah, seiring lapisan kasar dan tajam mulai terlihat, sebagian orang mulai mempertanyakan hubungan dengan pasangannya.

Muncul tindakan membandingkan. Mulai berpikir kalau dia tidak bahagia. Bahkan mulai mempertimbangkan mengakhiri hubungan.

Disinilah kita perlu berhenti beranggapan bahagia selamanya dalam cinta bisa diraih semudah itu.

Mungkin kita merasa telah menemukan pasangan yang benar-benar sempurna. Selamat. Tapi mesti diingat, tidak berarti semuanya akan selalu baik-baik saja dengan sendirinya.

Bahagia membutuhkan upaya. Banyak upaya bersama.

Alih-alih berharap berbahagia selamanya, mungkin kita harus mulai mengubah harapan menjadi bahagia sekarang dan terus berproses untuk bahagia.

Terdengar tidak terlalu romantis, tapi itulah realitanya.

Cinta adalah proses pembelajaran berkelanjutan. Artinya, tidak terdapat garis finish.

Usia yang bertambah, pandangan hidup berubah, kedewasaan juga berubah, menuntut kita melakukan penyesuaian.

Prosesnya akan terlihat seperti ini:

1. Menemukan cinta.
2. Membangun kepercayaan.
3. Tetap menjadi diri sendiri.
4. Memiliki harapan realistis.
5. Keintiman yang bertambah.
6. Mulai dari no. 2 lagi.

Hubungan cinta yang sesungguhnya selalu berada dalam keadaan “under construction” (selalu dibangun). Tidak ada akhirnya.

Kita perlu meluangkan sumber daya (waktu , energi), mengamati, mengevaluasi, mengambil tanggung jawab, merawat, dan melakukan semua yang diperlukan.

Mencintai seseorang jangan dimaknai seperti menemukan harta karun, melainkan seperti bertanam padi.

Mendapatkan panen yang baik membutuhkan proses dan kerja keras. Proses yang harus diulang setiap musim tanam agar lumbung (cinta) tidak kosong.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun