Mohon tunggu...
S Herianto
S Herianto Mohon Tunggu... Penulis dan editor

S. Herianto, lahir di Sumenep, 7 Maret 1974. Sehari-hari bekerja sebagai guru. Berdomisili di Sumenep, rumah tinggal di Malang. Sangat hobi menulis dan fotografi. Aktif dalam kominutas Kata Bintang. Juga sebagai editor beberapa buku. Beberapa cerpen dimuat di media cetak Ceria Remaja, Aneka YES, Anita, dan Malang Pos. Salah satu cerpen dimuat dalam antologi cerpen pendek “Graffiti Imaji,” YMS, Jakarta, 2002. Serta satu antologi cerpen hasil kolaborasi berjudul “Ritual Senja,” Al Fath, Sumenep, 2014; salah satu cerpen dimuat dalam Antologi Cerpen “Fantasi Kami,” Sahabat PMP, 2017; penyunting Buku Cerita Rakyat Sumenep: “Mutiara Yang Terserak,” Rumah Literasi Sumenep, 2018; dan Penulis Buku Cerita Anak Inspiratif: “Iva & Pinky,” Abida Mahra, 2018; Me and My Student, Divapress, Yogyakarta, 2008; Kitab Pentigraf 2, Delima, Malang, 2018, Antologi Puisi 1000 Guru Asean Menulis Puisi, Rumah Seni Asnur, 2018, dan Laskar Lempung, Kekata Publisher, 2018, 333 Syair Untuk Presiden, Zenawa, 2019; dan Catatan Harian Terakhir Jesica, Kunfayakun, 2019 dan Peradaban Kerajaan Fauna, Masmedia, 2020.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Iva dan Pinky (Bagian 1)

17 November 2021   22:09 Diperbarui: 17 November 2021   22:40 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku Harian Hadiah Katsujiro Ueno

Iva mulai mencoba mencatat semua kejadian dengan baik. Ia mencatatnya pada buku harian hadiah Katsujiro Ueno untuknya. Buku harian itu ia beri judul Taman Rahasia. Ia tulis judul itu di bagian sampul dalam besar-besar. Di halaman pertama catatan itu Iva menuliskan:

Pada halaman pertama, kukenalkan buku harian ini sebagai buku istimewa. Buku pemberian warga negara Jepang yang bernama lengkap Katsujiro Ueno. Menurutnya dengan mengisi buku harian ini, aku dapat melihat berbagai perubahan diri selama sepuluh tahun ke depan. Menurutnya, dengan mengisi buku harian ini, aku akan mengetahui siapa diriku yang sebenarnya. Buku harian ini harus diisi dengan tiga hal.

Pertama, menulis kekeliruan dan kesalahanku di hari itu. Kedua, menuliskan perasaan yang dialami hari itu, baik yang menyenangkan atau pun menyedihkan. Ketiga, apa yang harus kulakukan untuk mewujudkan cita-cita dalam sepuluh tahun ke depan.

Aku tidak begitu mengerti apa sebenarnya maksud perkataan Katsujiro Ueno, tapi sebaiknya kutulis saja. Tak ada salahnya kutulis. Suatu hari pasti aku dapat memahaminya. Satu hal lagi yang ia katakan, dalam satu halaman buku harian, aku akan dapat melihat apa yang akan aku lakukan sepuluh tahun ke depan pada hari dan tahun yang berbeda. Lagi-lagi aku tidak paham apa maksudnya. 

“Kamu tidak harus mengerti dan paham sekarang. Tulis saja! Atau bincangkanlah dengan orangtuamu ketika waktumu senggang. Ingat, tulis tiga hal!” Ia mengakhirinya saat memberikan hadiah buku harian dengan judul sampul luar Diary for 10 Years.

Terima kasih, Bapak Katsujiro Ueno!

Iva pun selesai menuliskan catatannya di buku harian. Ia mengajak Pinky berbincang. Pinky adalah si cantik mungil yang berambut panjang dan berbaju serba pink. Ia berbagi cerita tentang ‘Diary for 10 Years.

“Pinky, kamu paham tidak maksud kalimat dengan mengisi buku harian, aku dapat melihat berbagai perubahan diriku dalam sepuluh tahun ke depan?”

Pinky terlihat garuk-garuk kepala. “Menurutku itu ucapan orang dewasa, Iva. Hanya orang dewasa yang bisa mengerti!”

“Iyakah?”

“Ho oh!”

“Baiklah. Nanti Iva tanya ayah dan mama aja, ya? It’s time to sleep!”

“Iya, aku juga sudah mengantuk berat, nih!”

“Selamat tidur Pinky. Jangan lupa berdoa! Sampai jumpa besok. Semoga besok menjadi hari yang lebih ceria.”

Itulah lembar halaman pertama yang singkat yang berhasil Iva tulis. Hari-hari berikutnya pasti lebih banyak keseruan.

Iva mengenal Katsujiro Ueno ketika ada acara di sekolahnya. Waktu itu, Iva masih kelas 4 SD. Sensei Ueno, asli berkebangsan Jepang, tapi sangat mahir berbahasa Indonesia. Sebutan Sensei berarti guru. Ia berasal dari daerah yang bernama Tochigi. Ternyata ia adalah pelatih tenaga kerja Indonesia yang berada di sana. Ia juga aktif di Perkumpulan Persahabatan Indonesia-Tochigi.

Iva tidak mengerti apa maksud Sensei  Ueno, tapi sejak itulah Iva suka menulis. Menulis baginya sudah menjadi kegiatan wajib sehari-hari. Walalupun begitu, ia tidak menjadikannya beban seperti tugas sekolah. Iva menyukai sosok Sensei Ueno. Ia dekat dengan anak-anak. Ia disukai hampir semua teman di sekolahnya. Baginya, ia adalah guru, teman, sahabat, dan bapak. Pertemuannya dengan Sensei Ueno berlanjut di media sosial dengan didampingi ayah kadang mama Iva. Ayah dan mama Iva sangat mendukungnya.

Komunikasi yang dilakukan Iva dengan Sensei Ueno terbiasa melalui surat. Memang agak lama menunggu balasan karena memang jarak dan biaya. Mengapa melalui surat? Bukankah lebih cepat melalui email? Tentu Iva mempunyai alasan. Penantian Iva sungguh ia nikmati dan terasa berharga. Ia bersabar menunggu balasan suratnya karena ia menyukai perangko Jepang. Ia suka mengumpulkannya dan Sensei Ueno tidak keberatan dengan membalas surat Iva juga melalui pos.

Selain nasehat-nasehat itu, Iva pernah juga meminta Sensei memotret bunga Sakura untuknya. Iva memohon kepadanya agar mengirimkan hasil cetak bertanda tangan Sensei di belakang foto Sakura. Sensei Ueno lagi-lagi tidak berkeberatan atas permintaan Iva. Iva juga tahu menunggu balasan Sensei akan lama, tapi Iva sudah bisa belajar sabar menunggu. Menunggu tidak lagi membosankan untuk hal-hal yang berharga baginya.

“Iva, bukankah Jepang dulu pernah menjajah kita?” Pinky bertanya dengan wajah agak kecut. “Mengapa Iva malah berteman dengan penjajah?”

“Pinky, itu masalalu bangsa kita. Saat ini kita telah berbaikan dengan semua bangsa di dunia, jadi kita tidak boleh menyimpan kebencian. Kita harus memaafkan. Kata Gusdur, kita harus memaafkan, tapi tidak boleh melupakan!”

(Cerita ini secara lengkap dapat dibaca di buku Iva & Pinky versi flip5html pada tautan: IVA & PINKY)

“Maksudnya?”

“Ya kita harus memaafkan semua, tapi kita tak boleh melupakannya karena itu bagian dari sejarah yang diajarkan di sekolah.”

“O, begitu ya?”

“Iya, harus begitu!”

“Baiklah!”

“Banyak lho, tenaga kerja kita di sana yang sukses! Semua itu karena mereka diperlakukan dengan baik oleh bangsa Jepang!”

“Iya, iya!”

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun