“Ho oh!”
“Baiklah. Nanti Iva tanya ayah dan mama aja, ya? It’s time to sleep!”
“Iya, aku juga sudah mengantuk berat, nih!”
“Selamat tidur Pinky. Jangan lupa berdoa! Sampai jumpa besok. Semoga besok menjadi hari yang lebih ceria.”
Itulah lembar halaman pertama yang singkat yang berhasil Iva tulis. Hari-hari berikutnya pasti lebih banyak keseruan.
Iva mengenal Katsujiro Ueno ketika ada acara di sekolahnya. Waktu itu, Iva masih kelas 4 SD. Sensei Ueno, asli berkebangsan Jepang, tapi sangat mahir berbahasa Indonesia. Sebutan Sensei berarti guru. Ia berasal dari daerah yang bernama Tochigi. Ternyata ia adalah pelatih tenaga kerja Indonesia yang berada di sana. Ia juga aktif di Perkumpulan Persahabatan Indonesia-Tochigi.
Iva tidak mengerti apa maksud Sensei Ueno, tapi sejak itulah Iva suka menulis. Menulis baginya sudah menjadi kegiatan wajib sehari-hari. Walalupun begitu, ia tidak menjadikannya beban seperti tugas sekolah. Iva menyukai sosok Sensei Ueno. Ia dekat dengan anak-anak. Ia disukai hampir semua teman di sekolahnya. Baginya, ia adalah guru, teman, sahabat, dan bapak. Pertemuannya dengan Sensei Ueno berlanjut di media sosial dengan didampingi ayah kadang mama Iva. Ayah dan mama Iva sangat mendukungnya.
Komunikasi yang dilakukan Iva dengan Sensei Ueno terbiasa melalui surat. Memang agak lama menunggu balasan karena memang jarak dan biaya. Mengapa melalui surat? Bukankah lebih cepat melalui email? Tentu Iva mempunyai alasan. Penantian Iva sungguh ia nikmati dan terasa berharga. Ia bersabar menunggu balasan suratnya karena ia menyukai perangko Jepang. Ia suka mengumpulkannya dan Sensei Ueno tidak keberatan dengan membalas surat Iva juga melalui pos.
Selain nasehat-nasehat itu, Iva pernah juga meminta Sensei memotret bunga Sakura untuknya. Iva memohon kepadanya agar mengirimkan hasil cetak bertanda tangan Sensei di belakang foto Sakura. Sensei Ueno lagi-lagi tidak berkeberatan atas permintaan Iva. Iva juga tahu menunggu balasan Sensei akan lama, tapi Iva sudah bisa belajar sabar menunggu. Menunggu tidak lagi membosankan untuk hal-hal yang berharga baginya.
“Iva, bukankah Jepang dulu pernah menjajah kita?” Pinky bertanya dengan wajah agak kecut. “Mengapa Iva malah berteman dengan penjajah?”
“Pinky, itu masalalu bangsa kita. Saat ini kita telah berbaikan dengan semua bangsa di dunia, jadi kita tidak boleh menyimpan kebencian. Kita harus memaafkan. Kata Gusdur, kita harus memaafkan, tapi tidak boleh melupakan!”
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!