Mohon tunggu...
S Herianto
S Herianto Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Katanya orang-orang, saya penulis, fotografer, designer grafis, dan suka IT. Bisa jadi. Tulisan saya juga ada di www.cocokpedia.net

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesan Si Pemandi Jenazah

8 April 2017   22:16 Diperbarui: 9 April 2017   06:00 23579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya orang-orang tertentu yang mau melakukannya. Hanya sedikit orang yang bersedia. Dan, Raga Patmilah salah seorang yang dengan rela hati menjadi pemandi mayat. Entah telah berapa orang yang ia sentuh dan gosok kulitnya. Ia dengan sabar dan tatak hatinya berhadapan dengan sekantong daging yang dulu disebut sebagai manusia semasa hidupnya. Karena penasaran, mengenai seperti apa keadaan manusia setelah ditinggalkan ruhnya, aku pun menanyainya dengan semangat.

“Sudah berapa lama Ibu menjadi pemandi mayat?”
 “Entahlah, Nak. Saya tidak begitu menghitungnya. Yang jelas setelah suami saya meninggal, saya sangat berkeinginan menjadi orang yang mengabdi kepada masyarakat. Bermanfaat bagi banyak orang.”

“Bagaimana awalnya Ibu hingga menjadi pemandi mayat? Apakah tidak takut atau jijik?”

“Awalnya saya tidak berpikiran akan menjadi pemandi mayat. Awalnya saya hanya ikut ajakan seorang teman untuk menemaninya memandikan mayat. Setelah teman itu meninggal, akhirnya saya yang menggantikannya.”

Ia menghela nafas sebentar kemudian melanjutkan kisahnya. “Ketika pertama kali ikut seorang teman, waktu saya di belakangnya memperhatikan bagaimana ia memandikan mayat, saya merasa ada yang menghalangi pandangan. Mata seperti tampak kabur, tapi saat saya pertama kali memandikan mayat sendirian, pandangan saya tampak jernih dan terang.”

“Mengapa bisa begitu?”

“Entahlah, mungkin si mayat malu dilihat beramai-ramai,” katanya sambil tertawa ringan.

“Bolehkah saya tahu, apa sebenarnya yang menjadi ciri-ciri seseorang itu telah meninggal?”

“Boleh saja, Nak. Toh, itu adalah titik akhirnya kita. Kita semua akan merasakannya tepat pada waktu yang telah Tuhan tentukan.” Dia mengubah arah pandangnya seperti sedang melirik ke arah langit kemudian melanjutkan. “Akhir kehidupan seorang manusia tidak ditakdirkan sama. Berbeda antara satu dengan yang lain. Ada yang meninggal dengan wajar, ada pula yang tidak wajar. Ada yang tersenyum, ada yang tampak sedih, dan ada yang tampak ketakutan. Terlihat sekali dari mata dan raut mukanya. Sepertinya itu bergantung amal perbuatannya ketika ia masih hidup.”

“Terus apa yang menjadi ciri fisik seseorang yang telah mati, Bu?”

“Manusia yang telah mati fisiknya berubah. Ia akan tampak sedikit memanjang tubuhnya. Kulitnya ketika disentuh gemerisik. Dagunya terasa kasar dan pori-porinya menganga. Hidung tampak seperti ditarik ke dahi. Matanya tenggelam. Permukaan hidungnya berkeringat ketika baru meninggal. Daun telinganya ketarik kulit dan urat leher. Otot pada leher kaku. Dan, maaf, buah pelirnya seperti tertelan.”

Aku mendengarkannya dengan seksama sambil mencatatnya di alam pikir. Kemudian Raga Patmi melanjutkan. “Satu rahasia lagi, ketika dijilat kulitnya terasa hambar. Tidak lagi asin seperti  ketika masih hidup.”

“Hmm, mengapa bisa begitu ya, Bu?”

“Entahlah, itu sepertinya pertanda kehidupan sudah berakhir. Kehidupan fisik kita telah sirna.”

Aku jadi teringat sebuah film asing berjudul Castaway on The Moon. Tokoh utama yang tersesat seorang diri di sebuah pulau kecil, membuat makanan dan menggarami makanannya dengan keringat yang mengucur dari tubuhnya. Tetesan keringatnya diamankan dalam botol kecil. Ketika memasak diteteskanlah keringatnya. Berarti benar, keringat memang asin. Bisa dibuat penggati garam untuk mendapatkan cita rasa asin.

“Apa lagi ciri-ciri orang mati Bu, selain yang Ibu sebutkan tadi? Apakah tidak ada perasaan takut atau jijik?” rasa penasaranku tambah menggila.

“Yang saya sebutkan tadi itu sudah ciri yang utama, yang dialami hampir semua orang. Selebihnya hanya berbeda keadaan. Ada yang dalam keadaan sehat ketika meninggal, ada pula yang membawa sakitnya hingga meninggal. Sebenarnya sakit atau apa pun alasannya hingga ia meninggal hanya sebuah jalan. Sebenarnya sudah tiba waktunya harus kembali kepada Tuhan. Malaikat maut sudah memegang catatan siapa yang harus dicabut nyawanya, jam berapa, ketika sedang apa, dan di mananya. Sakit, kecelakaan, dan sebagainya hanya pengalihan agar malaikat maut tidak disebut sebagai penyebab. Lucu. Ketika Adik tanya mengapa si Fulan meninggal, maka kerabat dan tetangganya akan bilang ‘karena sakit, karena jantung, karena kecelakaan, dan sebagainya,’ jadi ada keadaan yang bisa disalahkan.” Raga Patmi tertawa.

Masih sambil tersenyum, Raga Patmi meneruskan, “Karena jantung? Ya iyalah, kan jantungnya berhenti. Karena jantungnya tidak berdetak lagi pasti mati!” tertawanya bertambah keras. Aku  yang mendengarkannya merinding.

“Kembali ke keadaan mayat, saya bilang tadi keadaannya beda-beda. Ada yang masih mulus utuh, ada yang digerogoti ulat. Ada yang tersenyum, ada yang menakutkan wajah dan matanya. Ada yang telentang biasa, ada yang meringkuk, ada yang sujud, ada yang miring. Macam-macam. Yang digerogoti ulat kebanyakan karena membawa penyakit kencing manis basah sehingga ketika dimandikan berbau amis. Ada yang mengeluarkan cairan tidak henti-hentinya dari kemaluannya, ada pula yang keluar kotoran dari duburnya. Ada yang mengeluarkan bau yang sedang dari tubuhnya, ada pula yang mengeluarkan bau darah dan bangkai. Yang paling parah ketika harus memandikan korban kecelakaan parah atau korban ledakan petasan. Kita seperti sedang mencuci potongan-potongan daging ayam.” Kembali Raga Patmi tertawa renyah.”

“Sejak pertama kali saya memandikan mayat, saya tidak takut atau jijik. Sepulang dari memandikan mayat saya juga tidak terpikirkan bagaimana wajah mayat bahkan dalam tidur pun ia tidak berani hadir. Mungkin malu, karena sayalah yang memandikannya. Jadi untuk menampakkan dalam mimpi saya, atau melintas dalam pikiran saya, ia enggan.”

“Ketika baru meninggal ada keadaan mayat dengan mata terbuka dan terpejam. Kalau terbuka, kita rapatkan kelopak matanya dengan mengusap wajahnya. Ada  yang menganga mulutnya, ada yang tertutup rapat. Untuk yang mulut menganga, kita siasati dengan mengikatnya dengan kain melingkari wajahnya hingga mulutnya terkatup rapat.”

“Ada yang meninggal dengan wajah berseri-seri ada pula yang meninggal dalam keadaan sedih, bahkan ada yang mengeluarkan air dari matanya tak henti-henti. Ada pula yang meninggal dengan wajah seperti ketakutan bahkan lebih legam dari sewaktu ia hidup.”

Aku benar-benar takut menghadapi mautku sendiri. Betapa malunya jika keadaan-keadaan yang tidak indah terjadi dengan tubuhku ketika aku meninggal dan dimandikan sanak saudara dan keluarga besarku, terutama anak-anakku.

“Hampir semua orang merasa takut keadaan tidak baik ketika ia meninggal. Jangan takut, sekali lagi jangan takut, Anakku. Beranilah mati! Beranilah mati, dengan catatan memperbesar kerinduan kita akan pertemuan dengan Tuhan yang Maha Pengampun dan Maha Kasih. Semakin besar rasa rindu itu, semakin semangat untuk hidup dan semakin berani menghadap maut, karena kematian adalah titik awal pertemuan kita denganNya. Sepertinya kita harus kerja sungguh-sungguh untuk mepersiapkan kematian kita.”

Aku terdiam. Kalimatnya terlalu berat. Kusimpan dalam-dalam pesannya.

“Apakah dicabutnya kehidupan kita itu sakit?”

“Sangat sakit, Anakku. Begitu menurut keterangan. Makanya, saya memandikan mayat sangat hati-hati dan bersikap lembut. Air tidak boleh terlalu panas atau terlalu dingin. Menggosoknya ketika memandikan juga tidak boleh terlalu kasar. Karena dicabutnya nyawa itu, sakit yang paling ringan seperti disobeknya seluruh kulit kambing sekali hentak dalam keadaan hidup.”

Gambaran yang sangat mengerikan. Aku tak bisa berkata-kata. Aku tambah terdiam. Aku tak bisa bertanya apa-apa lagi. Badanku terasa lemas. Otot-ototku terasa lunglai. Bibirku pun kehilangan gerak. Akalku mendadak buntu. Hatiku terasa sakit. Dalam hati aku bertanya, apakah aku orang yang paling berdosa di dunia ini? Akankah dosa-dosaku yang tak terhingga besar dan banyak ini akan Tuhan ampuni dengan kemahakasihNya? Kalau bukan Dia, kepada siapa lagi tempat memohon ampun dan perlindungan ketika menghadapi maut? Apakah aku termasuk orang yang Dia abaikan sehingga tak terbersit setitik pun cahaya di hatiku untuk melulu merindukanNya? Apakah kematianku kelak memiliki keadaan yang setidaknya wajar?

Pikiran-pikiran mengerikan mencengkram perasaanku. Keringat dingin mengembun di dahiku. Raga Patmi sepertinya meneruskan omongannya, tapi aku telah kehilangan fokus. Bukan tidak lagi menarik, tapi aku mulai memikirkan keadaanku sendiri.

“Anakku,” ia menepuk pundakku. Menarikku kembali berbincang.

“Semua orang memiliki dosanya masing-masing. Tidak ada orang yang bersih dari dosa, kecuali yang telah ditetapkan Tuhan. Paling tidak, pengakuan kita bahwa kita menyadari sebagai pendosa saja telah bisa mengantarkan kita kepada pengampunanNya. Jangan berburuk sangka kepada Tuhan. Seluas apa pun dosa kita memenuhi semesta, masih lebih luas pengampunan dan rahmatNya. Yakinlah!”

“Tapi, ....”

“Ssst!” ia menghentikanku melanjutkan kalimatku. “Rindukan Dia, maka Ia akan lebih rindu kepadaMu. Melangkahlah ke arahNya, walaupun dengan merangkak. Pasti Ia akan datang kepadaMu dalam kecepatan berlari menolongmu, mengentasmu, dan memberi petunjuk kepada meniti jalan ke arahNya!”

“Iya, Bu, terima kasih banyak.”

Sebenarnya sejak tadi aku menyimpan pertanyaan. Menurutku waktunya sangat tepat dan sangat relevan. Sebaiknya kutanyakan sekarang. Siapa tahu, bisa membantuku berjaga-jaga menghadapi keadaan tak terduga.

“Bu, bolehkah saya bertanya untuk terakhir kalinya?”

“Silakan, Nak. Mumpung saya juga bersemangat. Kalau ibu tidak bisa menjawab pertanyaanmu tolong jangan kecewa hati, ya?”

“Iya, Bu, tidak apa-apa!”

“Apa yang ingin kamu tanyakan?”

“Apakah ada tanda-tanda seseorang akan meninggal? Kalau tanda itu ada, paling tidak bisa buat saya berjaga-jaga setiap saat.”

“Ada, Anakku. Mari sini, mendekat!”

Ia membisikkan kalimat demi kalimat dengan sangat jelas sehingga tanpa harus mengulangnya. Aku berusaha mengingat-ingatnya dengan baik tanpa dicatat. Satu, dua, tiga kalimat yang ia minta aku mengingatnya sepanjang menjalani hidup. Dan di akhir bisakannya, ia mengatakan dengan suara tidak lagi berbisik.

“Jangan pertanyakan MENGAPA? Lakukan saja untuk berjaga-jaga. Semoga selamat!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun