Karena rakyat merasa adanya negara dan pemerintah saat ini sangat merepotkan rakyat, selalu membuat rakyat susah, salah satu rakyat kampung Indonesia berteraik: “Ayo, Belanda, datang lagi ke kampung Indonesia, gabung dengan Inggris, Jepang, Amerika, campur Arab dan Cina, daripada kami harus berperang sesaudara! Ayo, datang ke mari lagi, jangan sungkan! Biar kami tumpahkan kemarahan kami yang telah kami simpan di dada. Ayo, datanglah!”
“Bapak, Bapak, bangun!” Isteri Badrul menggoyang badan suami. Badrul terbangun, tapi karena masih tengah malam, ia pun tertidur lagi. Isterinya memaksakan tidur pula.
“Kami sudah kehilangan segalanya, di kampung Indonesia ini! Kami sudah kehilangan jati diri! Kami sudah tidak tahu lagi apakah kami ini termasuk bangsa Garuda atau hanyalah burung Gereja! Kami sudah tidak mengenali diri apakah kami bangsa yang besar atau kecil. Kami tak paham dan tak sadar apakah kami bangsa yang merdeka atau terjajah. Kami juga tidak paham apakah kami negeri tertua atau atau negeri yang masih usia remaja. Bahkan, kami sudah tidak mampu memilih pimpinan kampung Indonesia sehingga kami tidak peduli pemimpin kami itu lahir dari rahim bangsa apa. Dan, kami hanya mampu berteriak di kamar mandi untuk mencetuskan revolusi ini karena pemerintah kampung Indonesia anti rakyat anti pelayan rakyat. Mending jajah kami lagi, datanglah sekutu, datanglah komunis, kepunglah, ajak Amerika, Arab, Jepang dan seluruh bangsa di dunia! Mending kami berperang melawan kalian daripada kami harus saling menumpahkan darah sesama warga kampung Indonesia. Ayo, datanglah!!!”
“Pak, Bapak, bangun! Sadar!!” sang isteri terganggu lagi dengan racaunya Badrul.
“He eh, iya, Bu, maaf!” isteri Badrul kembali memaksakan diri berusaha tidur. Lagi-lagi lebih dulu Badrul yang melanjutkan orasi revolusinya.
Di depan Badrul berdiri berjubel rakyat kampung Indonesia. Begitu pula di belakang dan samping Badrul, penuh manusia. Badrul dengan mata nanar, otot leher yang menonjol, dan air liur yang deras, kembali melanjutkan orasi revolusinya.
“Dengan kondisi yang genting dan mendesak ini, kami suarakan teruntuk Mahkamah Agung, kami beri waktu tidak lebih dari tiga hari setelah hari ini, segera layangkan surat anulir terhadap undang-undang atau peraturan yang anti rakyat kepada pemimpin kampung Indonesia. SE-GE-RA!!!. Kalau tidak, kami tidak akan bertanggung jawab jika kami tidak bisa mengendalikan diri!”
Semua tertegun menyimak orasi revolusi Badrul. Suaranya yang tanpa alat pengeras terdengar hingga sejauh-jauhnya. Badrul seperti sedang membakar-bakar peluru. Meletup-letupkan girah dan semangat mereka yang mendengarkannya. Mereka yang datang mendengarkan orasinya datang dari bergai penjuru kampung Indonesia. Berbagai agama. Berbagai suku. Berbagai idiologi. Berbagai kalangan. Setelah mendengarkan orasi Badrul, badan mereka panas. Panas yang hebat, laki-laki dan perempuan semua merasakan panas yang hebat. Rasa-rasanya seperti ingin mencabik-cabik bajunya sendiri. Dalam pikiran Badrul, waktu itu sebenarnya waktu yang tepat untuk membakar kampung Indonesia.
Tapi, yang terjadi adalah tidak terjadi apa-apa. Badrul sangat kecewa. Tiga hari waktu yang ditetapkan oleh Badrul di depan rakyat kampung Indonesia kepada Mahkamah Agung, tidak ditepati. Tidak dilayani. Tidak ada tanda-tanda apa pun, Mahkamah Agung melakukan sesuatu yang berarti. Badrul mengumumkan orasi keduanya yang segera dilancarkannya pada hari ke tujuh minggu pertama bulan mendatang.
Warga kampung Indonesia kembali menyiapkan diri melakukan perjalanan menuju lapangan Banteng , tempat Badrul berorasi yang pertama. Tiba hari yang ditentukan, rakyat kampung Indonesia berduyun-duyun berdatangan memadati lapangan Banteng. Badrul sudah siap sehari sebelumnya di tempat itu. Muncullah Badrul mendekati podium besar. Kali ini dia akan menggunakan pengeras suara agar terdengar ke manca negara. Ia pun membuka orasinya dengan SALAM REVOLUSI.
“Sudara-sudara, waktu yang diberikan kepada mahkamah agung telah terlewat sia-sia. Suara kita tidak didengar. Suara kita diabaikan padahal kita yang memberi pekerjaan kepada mereka. Mereka kita yang memberi makan. Mereka telah berkhianat!”
“Sudara-sudara, sesuai dengan janji kita, kita akan melakukan rencana kedua. Kita akan meminta bantu para pemimpin media massa. Pemimpin media massalah yang membuat sejarah kampung Indonesia. Merekalah yang mampu memberikan tekanan revolusi yang kita suarakan. Merekalah yang membuat , mencetak, dan mengumumkan nama-nama para pahlawan bahkan membuat pahlawan dadakan. Kita akan datangi mereka. Kita sudah siapkan konsep negara dan konsep pemerintahan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang murni dan asli. Bukan undang-undang yang telah dikebiri, bukan pula Pancasila yang berlambangkan burung gereja. Kita bagi yang hadir kali ini menjadi lima kelompok besar. Pada hitungan ketiga, bentuklah yang hadir hari ini, di depan, di samping, dan belakang saya ini, menjadi lima bagian. Satu, dua, tiga!”
Terbagilah hadirin menjadi lima kelompok besar yang imbang tanpa ragu. Kemudian Badrul menyebarkan kepada lima kelompok tersebut lembaran-lembaran yang berisi konsep revolusi kampung Indonesia Baru. “Bagaimana pun caranya, konsep revolusi yang Sudara-Sudara pegang harus sampai ke alamat. Ketika sudah sampai ke tujuan dan menemui para pimpinan media, Sudara-Sudara wajib menunggu hingga ada jawaban resmi dari pihak media. Apa pun jawaban mereka nanti, kita akan putuskan langkah berikutnya di sini, pada hari ini! Bukan besok! HARI INI!!!”
Menyebarlah mereka segera dengan patuh. Badrul seperti Gajah Mada atau Bung Tomo ketika mengusir Inggris dari Surabaya. Ia juga seperti Soekarno, ketika pidato ‘Ganyang Malaysia.’ Ia juga seperti Sudirman. Ia seperti macan yang kelaparan. Ia seperti rajanya setan atau iblis. Ia seperti induk ayam betina yang anak-anaknya terancam bahaya. Ia seperti beruang yang terluka. Ia seperti apa saja yang mampu meledak atau menerkam tiba-tiba.
Luar biasa sekali kharismanya. Jumlah yang hadir untuk mendengarkan orasi revolusi Badrul lebih besar daripada aksi damai 411 dan 212. 412 dan 212 jika dijumlahkan pun masih jauh lebih besar jemaah Badrul. Karena mungkin mahkamah agung menganggap Badrul gila, tidak ada pengaruh apa-apa jika mahkamah agung mengabaikan orasi Badrul. Pemerintah setempat atau pusat juga tidak banyak yang menganggapnya itu merupakan ancaman serius bagi kelanggengan kekuasaannya. Biar saja. Nanti kalau sudah capek pasti berhenti dengan sendirinya, pikir mereka.
Tapi tidak demikian halnya dengan watak Badrul, selama niat revolusi telah mambakar jiwanya, pantang baginya membunuh api yang sudah membesar dan siap menjadi petir yang luar biasa dahsyat. Ia adalah Gajah Mada, ia adalah Soekarno, ia adalah Bung Tomo, dan ia adalah Sudirman. Badrul adalah seperti mereka yang memiliki kehormatan.
Usaha isteri Badrul untuk tidur gagal semalaman. Ia tidak bisa tidur dengan kondisi kasur berguncang. Dalam tidur, suaminya tampak sesekali kejang, meracau, menerjang-nerjang, mengepal-ngepalkan tangannya. Sesekali mendengkur keras. Benar-benar situasi yang tak nyaman. Isterinya benar-benar merasa terganggung haknya. Tapi, mau pindah ke mana lagi? Anaknya dengan Badrul sudah memenuhi rumah. Padahal pagi-pagil sekali ia harus bangun menyiapkan anak-anaknya siap bersekolah. Setelah itu ke pasar, berbelanja semua keperluan warung sotonya dan tak lupa membuatkan suaminya secangkir kopi panas serta rokok harus ada. Kalau tidak, maka rumah itu akan ramai dan bising.
Kembali ke perjalanan Badrul. Lima kelompok yang telah dibaginya menyatakan gagal memperoleh jawaban kata sepakat dari para pemimpin media. Badrul pun marah. “Dasar kapitalis! Sudah cukup, Sudara-Sudara! Orasi ini telah cukup. Kita telah cukup terbakar jiwa dan raga kita dengan situasi seperti ini. Waktu kita lancarkan jalan akhir!” Badrul berhenti bersuara. Suasana menjadi senyap tiba-tiba. Mereka yang menunggu suara Badrul saling toleh menoleh, penasaran suara apa yang akan diledakkan oleh Badrul.
Semenit telah lewat. Badrul tetap berdiri di podiumnya. Seperti malam Lailatul Qadar. Alam terasa berhenti beraktivitas. Udara tak mau menjadi angin. Daun-daun enggan melambai. Suara satwa yang biasanya berzikir pun terdiam. Nafas-nafas mereka tertahan, menanti. Apakah gerangan yang akan dicetuskan oleh Badrul? Suara hati mereka seragam bertanya. Waktu sudah lewat menit ke dua, ke tiga, dan ke lima. Tepat pada menit ke tujuh, terdengar suara mik menyala mendenging.
“Sudara-Sudara, sebagai akhir dari kebuntuan langkah kita, maka tepat malam ini, saya umumkan bahwa saya telah memiliki data akurat mengenai siapa-siapa yang paling bertanggung jawab atas tidak amannya kampung Indonesia ini.; tidak amannya nyawa rakyat kampung Indonesia ini; tidak amannya martabat bangsa kampung Indonesia ini; dan tidak amannya harta rakyat kampung Indonesia ini. Dengan ini pula saya sampaikan kepada Sudara-Sudara bahwa malam ini pula telah hadir bersama kita para dukun sakti dari seluruh pelosok kampung Indonesia dan beberapa impor dari pedalaman negara-negara di dunia. Malam ini, Selasa Kliwon, kita akan memberikan kepercayaan kepada para dukun sakti tersebut untuk menyantet secara massal nama-nama yang ada pada lembaran yang saya pegang ini. Setuju?”
“Setuju!!!”
Byuuur! Badrul terbangun terkaget-kaget. Keringatnya yang panas bercampur dengan siraman seember air hadiah dari isterinya. Badrul tidak protes dengan nasib dirinya. Dia hanya diam. Kesadarannya belum pulih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H