Menurut dongeng yang sering kita dengar, Bandung Bondowoso bisa membangun seribu candi dalam satu malam. Di era kiwari, 'keajaiban' itu berwujud pagar laut dengan panjang mencapai 30 kilometer. Tentu tidak dibangun satu malam, tetapi selama proses itu nyaris tidak ada yang bersuara. Seperti biasa, ketika beritanya sudah viral, baru semua heboh.
Satu per satu kejutan berikutnya menyusul. Bagaimana mungkin ada Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHGB), bahkan Sertipikat Hak Milik (SHM) di areal laut. Belakangan, salah satu pengembang diduga sebagai 'pemilik' lahan yang belum ada tersebut.
Tulisan ini tidak akan panjang lebar mengulas soal pagar laut dan pengelolaan kawasan pesisir. Saya justru akan membedah soal bank tanah. Apa benang merahnya antara pagar laut dan bank tanah? Perebutan ruang.
Mengenal Bank Tanah
Sebelumnya, mari kita berkenalan dengan bank tanah. Bank Tanah adalah suatu lembaga yang menyediakan tanah untuk keperluan pembangunan, sekaligus bertindak selaku pengendali harga tanah.
Ada banyak variasi pengertian dari bank tanah. Evans (2004), mengedepankan upaya penyediaan tanah bagi pembangunan baik oleh perusahaan, pemerintah daerah atau pusat serta lembaga lainnya. Definisi dari Evans ini yang relevan dengan kondisi di tanah air, karena praktik land banking selama ini justru banyak dilaksanakan pihak swasta.
Tanah merupakan barang langka. Jumlahnya tidak mungkin bertambah, kecuali dengan reklamasi misalnya. Sedangkan permintaannya selalu meningkat seiring pertumbuhan populasi. Makanya, tanah kerap dipandang sebagai investasi.
Salah satu fenomena khas abad 21 di belahan dunia manapun adalah urbanisasi. Tidak melulu merupakan perpindahan orang dari desa ke kota, tapi bisa juga dimaknai proses mengkota alias menjadi kota.
Ilustrasi paling mudah adalah daerah aglomerasi di sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sekitar 20-30 tahun lalu, lahan di sekitar ICE BSD itu masih desa didominasi lahan kosong --sebagian di antaranya barangkali lahan produktif milik warga---dengan sedikit penghuni. Namun, lihat hari ini sudah jadi apa.
Perkembangan kawasan ini pun terus bergeser semakin ke barat seperti Cisauk, Tenjo, bahkan Parung. Menariknya, peran dominan di balik urban sprawl ini adalah para pengembang properti alih-alih pemerintah.
Bumi Serpong Damai (BSD) adalah pionir pengembangan kawasan di barat Jakarta ini. Sedikit demi sedikit mereka melakukan pembebasan lahan, sampai akhirnya menjadi sebuah kota mandiri. Bagaimana nasib para pemilik lahan terdahulu di kawasan ini sekarang?