Penjabat Gubernur (Pj.) DKI Jakarta Teguh Setyabudi dituding 'bermain politik' menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang tinggal dua minggu lagi. Sejumlah pendengung (buzzer) menuduh Teguh memanfaatkan jabatannya untuk pemenangan pasangan calon tertentu.
Dua indikasi yang disampaikan buzzer adalah penggantian Sekretaris Daerah dan pelantikan sejumlah pejabat (termasuk lurah dan camat) beberapa hari lalu. Namanya juga buzzer, sudah biasa asbun alias asal bunyi.
Camat dan lurah yang dimutasi konon diskenariokan untuk memperlancar distribusi bantuan sosial (bansos) sebagai instrumen pemenangan paslon. Logikanya jelas nggak nyambung. Dengan waktu tersisa yang kurang dari dua pekan, camat dan lurah jelas butuh waktu lebih lama untuk memahami wilayah. Kalau memang camat dan lurah ditugaskan untuk menjadi timses bayangan, justru mereka seharusnya tidak dimutasi karena sudah mengenal wilayahnya dengan baik.
Sebagai informasi, Selasa (12/11) kemarin, Pj. Gubernur Teguh memang melantik 305 orang dalam jabatan administrator pengawas, dan ketua subkelompok. Apa mungkin Pj. Gubernur berani mengambil keputusan serampangan yang jelas membahayakan dirinya? Tentu tidak.
Dalih yang disampaikan para pendengung, kepala daerah dilarang melakukan pergantian pejabat enam bulan sebelum pilkada. Hal ini tercantum dalam Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.Â
Memang betul, tetapi jika dibaca secara utuh sebetulnya jelas ada klausul bahwa pergantian pejabat bisa dilakukan dengan terlebih dulu mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri. Sebagai Pj. Gubernur, ada juga ketentuan lain yakni rekomendasi dari Badan Kepegawaian Negara. Itu semua sudah dilakukan sebelum pelantikan kemarin.
Kok bisa, sementara Teguh baru dilantik sebagai Pj. Gubernur saja di tanggal 18 Oktober? Ya bisa, karena proses itu sudah dilakukan sejak Pj. Gubernur sebelumnya. "Proses pelantikan sudah mengalami proses yang lama, sejak Agustus lalu. Jadi, bukan suatu proses yang instan. Saya melakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan kewenangan. Tidak ada faktor like and dislike, tidak ada faktor transaksional," tegas Teguh sebagaimana dilansir beritajakarta.id.
Pj. Gubernur Teguh berani mengambil keputusan segera melakukan pelantikan karena banyak sekali jabatan yang kosong di Pemprov DKI Jakarta, terutama di wilayah (kecamatan dan kelurahan). Kekosongan jabatan itu tentu berdampak pada pelayanan publik yang tidak optimal. Banyak pejabat yang terpaksa rangkap jabatan sebagai Pelaksana Tugas (Plt.). Alih-alih dicurigai, Teguh selayaknya mendapatkan apresiasi.
Rekam jejak Teguh juga membuktikan bahwa ia adalah birokrat karier spesialis Pj. Gubernur di daerah yang akan menyelenggarakan pilkada. Sebelum menjabat di Jakarta, ia pernah diberi amanah serupa di Sulawesi Tenggara (2018) dan Kalimantan Utara (2020).
Sulawesi Tenggara adalah daerah yang menantang secara geografis (daratan, pegunungan, lautan) dan demografis penduduknya terutama dalam hal etnis (Buton, Tolaki, Bugis, Muna). Selama menjabat sebagai Pj. Gubernur, Teguh mengunjungi seluruh (17 kabupaten/kota) yang ada.