Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Surat Terbuka untuk Pak Erick Thohir

13 September 2024   11:22 Diperbarui: 13 September 2024   11:25 52922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: FB Erick Thohir, dengan editan penulis

Salam Olahraga, Pak Erick Thohir. Saya adalah seorang pencinta sepak bola nasional. Sudah lama saya mau menuliskan surat ini, tapi banyak pertimbangan yang membuat saya menundanya.

Terus terang saya mengambil pilihan yang berisiko kali ini. Siapa saja yang memberi saran atau masukan untuk tim nasional Indonesia saat ini berpotensi dirundung netizen. Bung Tommy Welly sudah kenyang betul. Belum lama ini, Pak Peter Gontha pun mengalaminya.

Saya tidak bermaksud mencari sensasi lewat tulisan ini. Saya percaya, kita semua memiliki kecintaan yang sama akan negeri ini. Sudut pandang yang berbeda tidak semestinya membuat kita bermusuhan.

Netizen juga kerap melakukan ad hominem terhadap pengkritik timnas. Kalau ditanya dulu ke mana saja nggak pernah mengkritik PSSI? Anda salah. Belasan tahun lalu saya aktif menulis di sejumlah media olah raga, terutama saat terjadi dualisme dan politisasi PSSI sekitar 2011-2014.

Setelah itu memang saya tidak pernah menulis lagi. Kenapa? Karena sejujurnya saya sudah kehilangan harapan terhadap PSSI. Menurut saya PSSI semakin nggak jelas sejak dipimpin La Nyala Mattaliti (2015-2016), Edy Rahmayadi (2016-2019), Joko Driyono (Januari-Maret 2019), Iwan Budianto (Maret-November 2019), sampai Mochamad Iriawan (November 2019-Februari 2023).

Harapan muncul ketika Pak Erick memutuskan bersedia dicalonkan dan kemudian terpilih menjadi Ketua Umum PSSI. Saya mengikuti rekam jejak Bapak sejak masih jadi pengurus Perbasi, sampai kemudian membeli dan memimpin beberapa klub sepak bola di luar negeri.

Belum genap dua tahun memimpin PSSI, sudah banyak gebrakan yang bapak lakukan. Jika dulu kita sering mendengar timnas PSSI, di bawah kepemimpinan Bapak jenama yang menonjol justru Timnas Indonesia atau Timnas Garuda. That's cool.

Bapak kemudian memilih pengurus yang profesional untuk sama-sama membenahi PSSI. Bapak juga memfasilitasi segala macam kebutuhan timnas dan permintaan pelatih Shin Tae-yong. Salah satunya soal naturalisasi pemain.

Bicara naturalisasi sebetulnya bukan barang baru. Di awal republik ini berdiri, ada sejumlah pemain eks Hindia Belanda yang enggan kembali ke kampung halamannya dan memilih memperkuat Indonesia. Nama-nama seperti Boelard van Tuyl, Pieterseen, Van den Berg, Pesch, dan Nol van der Vin jelas bukan orang asli Indonesia.

Keran naturalisasi kembali terbuka sejak 2010. Diawali Christian Gonzalez yang memang sudah lama bermain di Liga Indonesia serta memiliki istri pribumi. Kemudian Irfan Bachdim yang bermain di Belanda tetapi orang tuanya berasal dari Indonesia. Selanjutnya negara asal pemain naturalisasi semakin beragam, bahkan ada yang dari Afrika dan Eropa Timur seperti Bio Paulin, Greg Nwokolo, Victor Igbonefo sampai Ilija Spasojevic.

Terus bedanya apa dengan sekarang? Naturalisasi saat ini sangat masif. Bahkan, Shin Tae-yong bisa saja menurunkan starting eleven yang isinya pemain naturalisasi semua. Mereka tersebar mulai dari kiper, bek, gelandang sampai striker. Daftarnya adalah Maarten Paes, Calvin Verdonk, Jay Idzes, Sandy Walsh, Shayne Pattynama, Justin Hubner, Ivar Jenner, Thom Haye, Nathan Tjoe-A-On, Rafael Struick, dan Ragnar Oratmangoen.

Dusta kalau ada yang mengatakan pemain naturalisasi tak memberi dampak. Jelas sekali permainan timnas Indonesia lebih menarik ditonton. Dari sisi hasil pertandingan sejauh ini pun cukup oke, walaupun belum ada prestasi prestisius.

Sebetulnya, timnas Indonesia pun pernah tampil memikat tanpa pemain naturalisasi. Masih teringat jelas di benak saya ketika kita menjadi tuan rumah Piala Asia tahun 2007. Di bawah asuhan pelatih Ivan Kolev, Indonesia menumbangkan Bahrain 2-1, dan hanya kalah tipis dari Arab Saudi (1-2) serta Korea Selatan (0-1).

Ya, Indonesia memang tidak lolos fase grup. Namun, kita kalah dengan kepala tegak lewat perjuangan heroik. Secara permainan pun tidak kalah kelas. Hasil itu didapat melalui persiapan matang dan tempaan keras Kolev.

Pelatih yang sama juga mempersembahkan kemenangan pertama Indonesia di Piala Asia, dalam edisi sebelumnya (2004). Kala itu, Garuda mengalahkan Qatar dengan skor 2-1. Sementara kiper kita saat itu, Hendro Kartiko, banyak menuai pujian dan disebut-sebut sebagai Fabien Barthez-nya Asia.

Saya tidak anti naturalisasi. Hanya saja, alangkah baiknya jika kita kebijakan itu tidak diobral dan menjadi jalan pintas. Sungguh hasilnya nyata, tapi itu untuk jangka pendek saja. Tidak ada jaminan prestasi Indonesia di masa depan akan semakin cemerlang kalau hanya mengandalkan kebijakan instan ini.

Naturalisasi bukan sesuatu yang haram di kancah sepak bola. Negara-negara besar pun pernah melakukannya. Antara lain Portugal (Deco), Jerman (Gerald Asamoah, Mesut Ozil, dkk.), Italia (Jorginho). Inggris dan Prancis malah banyak sekali diperkuat pemain yang berasal dari imigran.

Namun, jangan lupakan bahwa negara-negara tersebut juga memiliki kompetisi (liga) yang sehat dan berkualitas. Pemain-pemain sekelas Zinedine Zidane, Karim Benzema, hingga Kylian Mbappe adalah hasil pembinaan klub di kompetisi Ligue 1. Tidak heran kalau dari waktu ke waktu timnas Prancis bisa eksis di percaturan sepak bola elite Eropa bahkan dunia.

Saya tidak berusaha menegasikan upaya-upaya Pak Erick membenahi aspek pembinaan usia muda dan kompetisi. Justru karena itu kita harus memperhatikan bagaimana kelanjutan dari perbaikan dua aspek tersebut.

Prestasi timnas junior kita belakangan kian ciamik. Timnas U-19 sukses menjuarai Piala ASEAN U-19 Boys Championship, Juli lalu. Tangan dingin pelatih Indra Sjafri mengantarkan Donny Tri Pamungkas cs meraih prestasi tersebut.

Di timnya hanya ada dua pemain 'cabutan' yakni Jens Raven dan Welber Jardim. Selebihnya adalah penggawa muda dari klub-klub lokal. Bisa dibayangkan bagaimana semangat para pemain ini akan tergerus jika kelak beranjak ke usia senior mereka tersisih oleh pemain naturalisasi.

Jadi, apa yang harus dilakukan? Silakan lanjutkan naturalisasi, tetapi tidak kemudian memborong hingga belasan pemain. Yang juga penting dilakukan adalah memastikan pembinaan pemain muda kita semakin baik, pun demikian dengan kompetisi.

Dengan jejaringnya yang luas, mudah rasanya bagi Pak Erick untuk menyiapkan cetak biru pengembangan prestasi sepak bola nasional. Kita bisa lakukan studi tiru di negara-negara yang cukup bagus dalam pembinaan pemain junior seperti Belanda, Jerman dan Spanyol. Kalau perlu, contek kurikulumnya dan bajak pelatih-pelatihnya untuk melakukan knowledge transfer ke pelatih dan klub di Indonesia.

Sehingga keinginan untuk tampil di Piala Dunia bukanlah sekadar mimpi di siang bolong. Lebih dari itu, kita berharap bukan cuma sekali tampil di Piala Dunia tetapi bisa berkesinambungan. Saya percaya hari itu akan tiba.

Tidak akan mudah, dan mungkin butuh waktu lama. Namun, pasti bisa jika Pak Erick sungguh-sungguh menginginkan masa depan yang lebih baik untuk timnas, bukan sekadar kepentingan jangka pendek. Tetap semangat, Pak Erick.

Gambir, 13 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun