Terus bedanya apa dengan sekarang? Naturalisasi saat ini sangat masif. Bahkan, Shin Tae-yong bisa saja menurunkan starting eleven yang isinya pemain naturalisasi semua. Mereka tersebar mulai dari kiper, bek, gelandang sampai striker. Daftarnya adalah Maarten Paes, Calvin Verdonk, Jay Idzes, Sandy Walsh, Shayne Pattynama, Justin Hubner, Ivar Jenner, Thom Haye, Nathan Tjoe-A-On, Rafael Struick, dan Ragnar Oratmangoen.
Dusta kalau ada yang mengatakan pemain naturalisasi tak memberi dampak. Jelas sekali permainan timnas Indonesia lebih menarik ditonton. Dari sisi hasil pertandingan sejauh ini pun cukup oke, walaupun belum ada prestasi prestisius.
Sebetulnya, timnas Indonesia pun pernah tampil memikat tanpa pemain naturalisasi. Masih teringat jelas di benak saya ketika kita menjadi tuan rumah Piala Asia tahun 2007. Di bawah asuhan pelatih Ivan Kolev, Indonesia menumbangkan Bahrain 2-1, dan hanya kalah tipis dari Arab Saudi (1-2) serta Korea Selatan (0-1).
Ya, Indonesia memang tidak lolos fase grup. Namun, kita kalah dengan kepala tegak lewat perjuangan heroik. Secara permainan pun tidak kalah kelas. Hasil itu didapat melalui persiapan matang dan tempaan keras Kolev.
Pelatih yang sama juga mempersembahkan kemenangan pertama Indonesia di Piala Asia, dalam edisi sebelumnya (2004). Kala itu, Garuda mengalahkan Qatar dengan skor 2-1. Sementara kiper kita saat itu, Hendro Kartiko, banyak menuai pujian dan disebut-sebut sebagai Fabien Barthez-nya Asia.
Saya tidak anti naturalisasi. Hanya saja, alangkah baiknya jika kita kebijakan itu tidak diobral dan menjadi jalan pintas. Sungguh hasilnya nyata, tapi itu untuk jangka pendek saja. Tidak ada jaminan prestasi Indonesia di masa depan akan semakin cemerlang kalau hanya mengandalkan kebijakan instan ini.
Naturalisasi bukan sesuatu yang haram di kancah sepak bola. Negara-negara besar pun pernah melakukannya. Antara lain Portugal (Deco), Jerman (Gerald Asamoah, Mesut Ozil, dkk.), Italia (Jorginho). Inggris dan Prancis malah banyak sekali diperkuat pemain yang berasal dari imigran.
Namun, jangan lupakan bahwa negara-negara tersebut juga memiliki kompetisi (liga) yang sehat dan berkualitas. Pemain-pemain sekelas Zinedine Zidane, Karim Benzema, hingga Kylian Mbappe adalah hasil pembinaan klub di kompetisi Ligue 1. Tidak heran kalau dari waktu ke waktu timnas Prancis bisa eksis di percaturan sepak bola elite Eropa bahkan dunia.
Saya tidak berusaha menegasikan upaya-upaya Pak Erick membenahi aspek pembinaan usia muda dan kompetisi. Justru karena itu kita harus memperhatikan bagaimana kelanjutan dari perbaikan dua aspek tersebut.
Prestasi timnas junior kita belakangan kian ciamik. Timnas U-19 sukses menjuarai Piala ASEAN U-19 Boys Championship, Juli lalu. Tangan dingin pelatih Indra Sjafri mengantarkan Donny Tri Pamungkas cs meraih prestasi tersebut.
Di timnya hanya ada dua pemain 'cabutan' yakni Jens Raven dan Welber Jardim. Selebihnya adalah penggawa muda dari klub-klub lokal. Bisa dibayangkan bagaimana semangat para pemain ini akan tergerus jika kelak beranjak ke usia senior mereka tersisih oleh pemain naturalisasi.