Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) secara resmi mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden di pemilihan umum 2024 mendatang. Keputusan ini diumumkan Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri di Istana Batutulis, Bogor, Jumat (21/4).
Majunya Ganjar menyusul nama lain yang sudah lebih dulu dideklarasikan oleh Koalisi Perubahan (Partai Nasdem, PKS, dan Partai Demokrat) yaitu Anies Baswedan. Sementara Koalisi Indonesia Bersatu (Partai Golkar, PKK dan PAN) dan Koalisi Indonesia Raya (Partai Gerindra dan PKB) belum secara jelas menunjuk siapa jagoan mereka.
Situasi politik masih sangat dinamis. KIB dan KIR masih sangat mungkin bersatu. Pun demikian dengan PDIP yang boleh jadi membuka pintu kerja sama dengan partai/koalisi lain. Bahkan, bukan mustahil Ganjar dan Anies -yang sering dipersepsikan berseberangan---akan dipasangkan menjadi capres-cawapres. Sampai dengan penutupan pendaftaran di KPU pada November nanti semua masih bisa terjadi.
Tulisan kali ini saya batasi hanya pada dua kandidat, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Ada kesamaan di antara mereka berdua dengan saya, yaitu sebagai bagian dari Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA). Saya juga memiliki pengalaman yang cukup personal dengan keduanya. Cerita itu yang ingin saya bagikan.
Saya dan Mas Anies
Kita awali dari Anies Baswedan dulu ya. Urutan ini hanya berdasarkan alfabet lho ya, tidak menunjukkkan preferensi pilihan politik saya.
Mas Anies adalah mantan bos saya. Walaupun dipisahkan jenjang bagaikan bumi dan langit. Mas Anies sebagai gubernur, saya sebagai staf. Nyaris tidak ada interaksi yang sangat personal sebetulnya. Saya tentu mengenal dia, sebaliknya dia tak kenal saya.
Namun, ada beberapa momen di mana kami cukup dekat. Tentu karena alasan pekerjaan. Saya pernah diajak pimpinan saya waktu itu di Balai Kota untuk rapat khusus dengan Mas Anies di meja bundar di ruang kerjanya.
Di lain kesempatan, saya juga pernah diajak rapat khusus di rumah dinas Mas Anies di kawasan Lebak Bulus. Rumahnya cukup unik. Tidak ada pagar tinggi khas rumah orang kaya, meski juga tidak bisa dibilang sangat terbuka. Bukan di dalam cluster/kompleks perumahan, melainkan di permukiman warga biasa.
Jalan menuju rumahnya agak sulit dilalui dua mobil berpapasan. Oleh karena itu, kalau mau ke rumah Mas Anies kita harus parkir di lapangan yang berjarak sekitar 200-300 meter dari rumahnya. Masuk ke dalam rumahnya, tamu biasa akan diarahkan ke area publik berbentuk seperti pendopo/rumah joglo. Konon bangunan kayu ini berusia ratusan tahun.
Satu kenangan lain yang tidak saya lupakan adalah saat memasuki waktu magrib. Karena tamunya banyak, kami salat berjamaah di halaman belakang. Hamparan rumput hijau menjadi alas salat kami, selain sajadah kecil untuk bagian kepala. Membuat kita merasa menyatu dengan alam.
Lalu bagaimana penilaian saya tentang seorang Anies Baswedan. Sebelumnya disclaimer dulu, penilaian ini pastinya subyektif. Semua orang tahu, Anies adalah seorang cendekiawan. Ia mantan rektor Universitas Paramadina. Cara kerjanya sangat sistematis dan berlandaskan teori atau basis argumen yang jelas.
Persoalan apakah kebijakannya sudah bagus semua atau tidak, itu saya kembalikan kepada sidang pembaca dan khalayak sekalian.
Saya dan Mas Ganjar
Pertama kali saya mengenal Ganjar Pranowo adalah waktu masih di Bulaksumur (baca: Kampus UGM). Dalam satu seminar, saya cukup terpukau dengan salah satu narasumber saat itu. Dialah Mas Ganjar.
Kesempatan langka datang saat saya sudah bekerja sebagai wartawan muda di Harian Merdeka sekitar tahun 2008. Seingat saya waktu itu Merdeka masih simulasi untuk cetak edisi ujicoba, belum terbit di pasaran. Saya masih berpindah-pindah desk, karena belum diizinkan untuk ke desk olahraga sebagaimana saya minta.
Tantangan demi tantangan dihadapkan pada saya. Salah satunya adalah diminta menggarap rubrik gaya hidup, tapi menampilkan persona yang tidak biasa. Saya langsung mengajukan nama Mas Ganjar dan disetujui oleh redaktur.
Saya pun bergerak cepat mencari kontak beliau dan membuat janji. Saat itu Mas Ganjar masih menjadi anggota DPR-RI. Tidak terlalu rumit, akhirnya kami membuat janji di akhir pekan. Saya diundang datang ke rumah pribadinya waktu itu, di salah satu cluster di kawasan Cibubur.
Rumahnya memang di area permukiman cukup elite, tapi tidak juga mewah. Ukurannya pun biasa-biasa saja.
Sesuai waktu yang ditentukan, saya datang bersama seorang rekan fotografer. Dalam wawancara untuk kebutuhan koran waktu itu, saya tidak bertanya soal politik. Namun, lebih ke gaya hidup.
Dari situ saya tahu kalau Mas Ganjar penggemar musik-musik cadas. Kalau ada band rock yang konser di Jakarta, ia pasti sempatkan hadir. Ia juga mengoleksi sejumlah memorabilia musisi dan grup band. Hobinya itu juga ia tularkan ke anak semata wayangnya, Zidane.
Terus terang saya tersanjung dengan bagaimana cara Mas Ganjar -dan Mba Atiqoh, istrinya---memperlakukan saya, seorang wartawan kemaren sore. Di rumah itu saya merasakan kehangatan dan keakraban.
Mas Ganjar sangat kooperatif untuk kebutuhan liputan saya. Ia sampai mau berganti baju dan bergaya-gaya tertentu saat diminta fotografer. Sama sekali tak ada kesan jaga image alias jaim.Â
Selesai urusan pekerjaan, kami juga sempat berbincang seru soal politik. Tak terbayang di benak saya waktu itu, bahwa orang yang sedang saya ajak ngobrol kelak akan jadi Gubernur Jawa Tengah dan bahkan sekarang bakal calon presiden.
Demikian kisah saya dengan Mas Ganjar dan Mas Anies. Keduanya adalah putra terbaik Indonesia yang UGM persembahkan, seperti halnya Pak Jokowi. Insya Allah Indonesia akan semakin maju di bawah kepemimpinan salah satu dari mereka berdua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H