Delapan pelatih dalam 30 tahun. Semuanya gagal mengembalikan kejayaan Liverpool. Sampai kemudian diakhiri oleh Jurgen Klopp. Juru latih asal Jerman yang paling klop untuk The Kop.
Antara Sejarah dan Kutukan
Tidak mudah jadi pendukung Liverpool. Mereka harus punya mental kuat. Tim pujaannya seolah kena kutukan. Sulit sekali jadi juara. Sampai-sampai seperti mitos.
Padahal, The Kop menyandang nama besar. Sejarahnya juga mentereng. Tapi, itu dulu. Tiga dekade terakhir dewi fortuna seolah menjauhi mereka, khususnya dalam perburuan gelar Premier League.
Sampai musim 1989/1990, Liverpool adalah penguasa mutlak Liga Inggris. Mereka mengoleksi 19 trofi. Jauh meninggalkan seteru utamanya, Manchester United yang kala itu baru tujuh kali mencicipi gelar prestisius.
Sejak itu, The Reds mulai gigit jari. Sementara MU terus gemilang. Bayangkan, sejak 1992/1993 sampai 2012/2013 klub asal kota Manchester ini 13 kali juara hingga akhirnya menyalip rekor Liverpool dengan 20 trofi.
Arsenal, Chelsea, dan Manchester City bergantian mengusik kedigdayaan The Red Devils, yang sekarang juga mulai mandek lantaran tujuh musim terakhir tak pernah juara Premier League.
Lalu, dimana The Reds? Sebetulnya tidak buruk-buruk amat. Dalam 30 tahun terakhir, cuma 12 kali mereka terlempar dari The Big Four. Selebihnya selalu berakhir di papan atas klasemen, antara peringkat dua sampai empat. Tercatat, lima kali tim dari Merseyside ini "nyaris" juara dengan menduduki posisi runner up.
Sepeninggal Kenny Dalglish di penghujung musim 1990/1991, Liverpool sudah dilatih delapan orang berbeda. King Kenny sendiri sempat kembali turun gunung pada 2011/2012. Tapi, ia gagal mengulangi prestasi yang ditorehkan di periode pertama (1985-1991) dengan koleksi 3 gelar juara domestik.
Suksesor Dalglish tak bisa sepenuhnya dibilang buruk. Gerard Houllier (1998-2004) misalnya, sempat mengusik ketenangan Sir Alex Ferguson. Liverpool menjadi penantang serius MU saat itu, selain Arsenal yang juga dilatih kompatriot Houllier dari Prancis, Arsene Wenger.
Rafael Benitez yang datang menggantikan Houllier pun tak bisa dipandang sebelah mata. Di musim perdananya, juru latih dari Spanyol ini sukses membawa The Reds merebut gelar Liga Champions. Mengulangi kejayaan di Eropa yang terakhir diraih 21 tahun sebelumnya.
Dua musim berselang, Liverpool kembali ke partai final kompetisi elite Benua Biru. Menghadapi lawan yang sama, AC Milan, Steven Gerrard dkk. harus puas jadi runner up. Benitez juga mempersembahkan masing-masing satu gelar Piala FA dan Piala Super Eropa.
Sayangnya, kesuksesan di ajang lain tidak berbanding lurus dengan di Premier League. Alih-alih membaik, justru semakin tertinggal. Sampai akhirnya di musim 2009/2010, Liverpool tercecer ke urutan tujuh klasemen akhir. Benitez pun harus mengucap adios dari Anfield.
Berikutnya, Roy Hodgson dan Dalglish yang mengisi kursi panas pada kurun 2010-2012 tak punya catatan yang oke. Posisi Liverpool tak jauh beranjak antara peringkat enam sampai delapan pada tiga musim itu.
Manajemen The Reds lantas berjudi dengan menunjuk Brendan Rodgers, pelatih yang kala itu baru berusia 39 tahun. Reputasinya pun tak terbilang istimewa. Karier profesionalnya baru berjalan empat musim di tiga klub semenjana, Watford, Reading dan Swansea City.
Musim perdana di Anfield dilalui Rodgers dengan biasa-biasa saja. Baru di 2013/2014 ia sempat menghidupkan asa Kopites. Sayangnya The Reds harus puas duduk di peringkat dua klasemen akhir Premier League. Semusim berselang, Liverpool kembali melorot ke urutan enam. Petualangan Rodgers pun berakhir di sini.
Era Klopp
Baru kemudian Klopp datang. Curriculum Vitae pelatih dari Jerman ini terbilang lumayan. Sebelumnya ia membawa Borussia Dortmund dua kali juara Bundesliga. Meski begitu ia bukan tipe pelatih yang suka sesumbar.
Di konferensi pers perkenalannya, Klopp menyebut dirinya "The Normal One" sebagai antitesis dari Jose Mourinho yang kerap mendaku diri sebagai "The Special One". Klopp juga menyatakan butuh waktu sekitar empat tahun untuk mendulang banyak trofi ke Anfield.
Musim debut Klopp juga tak istimewa. Cuma peringkat delapan Premier League. Musim berikutnya ada peningkatan jadi peringkat empat. Sentuhan tangan dingin Klopp mulai terlihat pada musim 2017/2018.Â
Ada dua pemain baru didatangkan yang di kemudian hari sangat mendongkrak performa The Reds, Mohamed Salah dan Virgil van Dijk.Â
Walau di Premier League masih mandek di peringkat empat, Liverpool sukses menembus final Liga Champions. Sayangnya mereka harus mengakui keunggulan Real Madrid di laga puncak. Tidak sedikit juga yang menyebut Loris Karius sang kiper sebagai biang kegagalan lantaran dua blundernya.
Untuk mengatasi persoalan di bawah mistar gawang, Liverpool mendatangkan Allison dengan mahar 72,5 juta euro. Selain Allison, turut bergabung juga dua gelandang baru, Naby Keita dan Fabinho. Keputusan ini terbukti tepat. The Kop melaju kembali ke final Liga Champions 2018/2019.
Kali ini Henderson cs. sukses mematahkan perlawanan sesama klub Inggris, Tottenham Hotspur. Skor 2-0 di laga final membuat The Reds meraih gelar Liga Champions keenam sepanjang sejarah. Di Premier League pun mereka nyaris juara, hanya kurang satu poin dari pemuncak klasemen Manchester City.
Di awal musim 2019/2020, banyak pengamat yang memprediksi Liverpool akan kembali menjadi penantang serius gelar Premier League. Kali ini tidak ada transfer heboh di awal musim. Gelar juara Super Eropa menjadi awal yang indah bagi The Reds.
Liverpool tampil amat konsisten musim ini. Mereka bisa mengunci gelar juara di pekan ke-33, saat liga masih menyisakan tujuh laga. Terbentang selisih 23 poin dengan City yang mengejar di urutan kedua. Kopites nyaris saja gigit jari andai Premier League berhenti lantaran Covid-19 tanpa menetapkan juara. Untungnya hal itu tak terjadi.
Well, sebetulnya apa sih rahasia Klopp yang akhirnya bisa membawa Liverpool mengakhiri puasa juara liga selama tiga dasawarsa?
Pertama, Klopp sukses membangun karakter kuat pada tim. Sebelum datang ke Anfield, Klopp sudah tenar dengan strategi gegenpressing yang ia usung di Borussia Dortmund. Para pemain dituntut untuk secepat mungkin merebut bola ketika serangan mereka dipatahkan lawan.
Strategi ini tak selalu berjalan mulus, apalagi ketika menghadapi lawan yang cenderung bertahan. Klopp dengan ciamik memadukan gegenpressing dengan gaya tradisional Inggris Raya, kick and rush. Keberadaan striker dengan kecepatan mumpuni seperti Mohamed Salah dan Sadio Mane menjadi berkah tersendiri.
Kick and rush 2.0 ala Klopp ini tidak melulu mengandalkan umpan silang dan striker jangkung sebagai tumpuan. Tetapi sekadar mengubah arah permainan, memanfaatkan lebar lapangan untuk selanjutnya membuka ruang permainan possesion ball kembali.
Kedua, kejelian Klopp dalam memanfaatkan bursa transfer. Pada transfer window pertamanya di musim panas 2016, mantan pelatih Dortmund itu menggaet Sadio Mane dan Georginio Wijnaldum.Â
Setahun berselang giliran Mohamed Salah, Andrew Robertson, dan Virgil van Dijk bergabung. Disusul oleh Naby Keita, Fabinho, dan Allison di tahun 2018.
Ia sempat disorot lantaran dianggap terlalu boros saat belanja pemain di musim 2017/2018. Total 145,9 juta pounds digelontorkan untuk memboyong Salah, Robertson, Alex Oxlade-Chamberlain, dan Van Dijk.Â
Meski begitu, secara finansial Liverpool tidak tekor-tekor amat karena mendapat 140,2 juta pounds dari penjualan Philippe Coutinho, Mamadou Sakho, dan Lucas Leiva.
Terbukti, pemain yang didatangkan Klopp semuanya klop dengan kebutuhan tim. Banderol mahal Van Dijk misalnya, yang menembus 85 juta euro, kini tak pernah diributkan lagi. Ia menjadi jaminan kokohnya pertahanan The Reds. Hal yang sama untuk Allison Becker yang menjadi kiper termahal sejagat dengan harga 72,5 juta euro.
Bukan cuma menebus penasaran kegagalan di Liga Champions 2017/18 dengan trofi 2018/2019, ia juga menorehkan rekor di musim debutnya di Premier League. Eks portiere AS Roma itu mencatat clean sheet sebanyak 21 kali, dan cuma kebobolan 22 gol dari 38 laga.Â
Musim ini pun ia masih menghadirkan ketenangan bagi para pemain berkat aksi-aksi penyelamatannya di bawah mistar.
Ketiga, konsistensi. Tidak banyak yang bisa dijelaskan, namun Klopp berhasil menghadirkan konsistensi musim ini. Ia tentu belajar banyak dari kesalahan musim lalu yang tergelincir di pekan-pekan akhir. Perpaduan semua faktor itu akhirnya menyudahi mimpi buruk Liverpudlian selama ini.
Well done, Klopp. Congratulations, Kopites.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H