Kedua, pemerintahan daerah di Jakarta diperlakukan sama dengan daerah lain. Berarti, kota/kabupaten di Jakarta akan menjadi daerah otonom. Pilihan ini sejujurnya yang paling berisiko.Â
Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya kalau walikota/bupati di Jakarta tidak sejalan dengan gubernur. Belum lagi potensi perbedaan kebijakan antara satu kota dengan kota lain di Jakarta.
Ketiga, Jakarta ditetapkan sebagai satu kota yang cuma dipimpin seorang wali kota. Menilik sejarah, sampai tahun 1959 Jakarta juga masih berstatus sebagai kotapraja bagian dari provinsi Jawa Barat.
Dengan luas wilayah yang 'cuma' sekitar 660 km2 --tidak beda jauh dibandingkan dengan Pulau Samosir di tengah Danau Toba---Jakarta lebih pantas disebut kota alih-alih provinsi. Hanya saja, ruang lingkup kewenangan wali kota tidak sebanding dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi Jakarta.
Kedudukan provinsi ditambah status daerah khusus ibu kota yang melekat saat ini saja tidak cukup untuk membantu Jakarta menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Apalagi kalau Jakarta cuma dipimpin seorang wali kota, layaknya Bogor, Tangerang atau Bekasi.
Dengan melihat berbagai konsekuensi, maka kajian soal pemindahan ibu kota hendaknya tidak hanya fokus pada pemilihan calon ibu kota baru. Nasib Jakarta kelak juga harus menjadi perhatian.Â
Bagaimana pengaturan yang ideal bagi kota ini perlu dipikirkan masak-masak. Jangan sampai timbul kesan 'habis manis sepah dibuang' bagi calon mantan ibu kota ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H