Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ketika PNS Jakarta Dipaksa Gunakan Kendaraan Umum

14 Januari 2019   10:17 Diperbarui: 15 Januari 2019   01:48 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangkapan layar SE Sekda Nomor 72 Tahun 2018 (dokpri)
Tangkapan layar SE Sekda Nomor 72 Tahun 2018 (dokpri)
Sejujurnya saya pribadi sudah mulai tumbuh kesadaran untuk mulai beralih dari kendaraan pribadi. Setidaknya sejak 2017 lalu saya mengurangi frekuensi membawa mobil ke kantor, menjadi hanya dua atau tiga kali dalam satu pekan.

Untuk berangkat kerja saya memanfaatkan kombinasi ojek daring, bus pengumpan dan bus Transjakarta. Konsekuensinya saya memag harus berangkat lebih pagi, sekitar pukul 05.30 dari rumah. 

Saya tidak ikut bus jemputan di pagi hari karena harus lebih pagi lagi, yaitu pukul 05.20 di titik kumpul (atau sekitar pukul 05.00 berangkat dari rumah).

Sedangkan saat pulang sore hari, saya bisa memanfaatkan keberadaan bus jemputan pegawai. Tentu saja syaratnya adalah saya harus pulang tepat waktu, pukul 16.00. 

Apabila ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan alias lembur, berarti saya tidak bisa ikut bus jemputan. Saya pribadi tidak pernah menolak pekerjaan di 'jam-jam kritis' dengan alasan mengejar bus jemputan.

Sejak operasional bus jemputan pegawai digeser ke malam hari, harus diakui saya jadi kembali lebih sering menggunakan mobil pribadi. Dalam seminggu, belum tentu sekali saya menggunakan kendaraan umum.

Saya bisa paham bahwa dua kebijakan Pak Gubernur di atas bertujuan memaksa PNS DKI Jakarta untuk beralih ke transportasi publik. Posisi Balai Kota memang cukup strategis dan mudah diakses berbagai moda transportasi. Semoga saja sasaran yang diharapkan benar-benar tercapai.

Bagi pegawai biasa seperti saya, tarif parkir berlangganan Rp 550 ribu per bulan cukup terasa memberatkan. Akan tetapi, untuk para pejabat struktural yang setiap bulannya menerima tunjangan transportasi, rasanya kenaikan tarif parkir bulanan tidak signifikan. 

Para pejabat mungkin akan tetap membawa mobil ke kantor. Kalau begitu, maka kebijakan yang diambil Pak Gubernur terancam tidak akan menemui sasaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun