Gubernur Anies Baswedan kembali mengeluarkan kebijakan yang kurang populis bagi PNS Pemprov DKI Jakarta, khususnya yang bekerja di lingkungan Balai Kota.Â
Para PNS kini tidak bisa lagi menikmati subsidi parkir. Akibatnya, tarif langganan parkir melonjak hingga delapan kali lipat. Sasaran akhir kebijakan ini adalah beralihnya para PNS dari kendaraan pribadi ke transportasi publik.
Selama ini PNS DKI Jakarta (termasuk saya) memang cukup dimanjakan dengan murahnya tarif berlangganan di Lapangan Parkir IRTI Monas. Saya cuma mengeluarkan Rp 66 ribu untuk satu mobil per bulan.Â
Bandingkan jika saya harus bayar parkir dengan hitungan jam. Dalam satu hari saja bisa sekitar Rp 30 ribu. Tarif berlangganan motor lebih murah lagi, yaitu Rp 22 ribu per motor per bulan.
Masa-masa indah itu sudah berakhir. Mengutip berita dari Kompas.com, per 15 Januari nanti tarif di atas sudah tidak berlaku lagi. Artinya bulan depan saya harus merogoh kocek Rp 550 ribu per bulan kalau masih mau berlangganan parkir mobil.Â
Hanya sedikit selisihnya jika dibandingkan apabila saya membayar tarif parkir harian. Sedangkan rekan-rekan dengan kendaraan roda dua harus menyiapkan Rp 352 ribu per bulan.
Bukan cuma menaikkan tarif berlangganan di lapangan parkir IRTI Monas, gubernur juga akan melarang PNS parkir di area gedung DPRD Provinsi DKI Jakarta. Selama ini mayoritas PNS yang membawa motor memarkirkan kendaraannya di basement gedung DPRD.
Ini menjadi kabar buruk kedua bagi saya dalam tiga bulan terakhir. Sebelumnya, gubernur juga mengubah jam operasional bus jemputan pegawai.Â
Semula, bus jemputan sudah stand by di depan Balai Kota beberapa menit sebelum pukul 16.00. Konon ada pejabat yang memberi masukan ke gubernur soal fenomena yang disebut 'pulang cepat' ini.Â
Padahal, sejatinya tidak ada yang salah kalau pegawai pulang pukul 16.00 mengingat jam kerja tersebut sudah ditetapkan. Bagi saya, pulang cepat itu seandainya meninggalkan kantor sebelum waktu bekerja selesai.
Namun kebijakan baru (melalui Surat Edaran Sekda Nomor 72 Tahun 2018), bus jemputan dijadwalkan pukul 19.00 (per 19 November) dan selanjutnya pukul 20.00Â (per 3 Desember). Alasannya, bus jemputan digeser ke malam hari sebagai bentuk insentif bagi pegawai yang lembur.
Untuk berangkat kerja saya memanfaatkan kombinasi ojek daring, bus pengumpan dan bus Transjakarta. Konsekuensinya saya memag harus berangkat lebih pagi, sekitar pukul 05.30 dari rumah.Â
Saya tidak ikut bus jemputan di pagi hari karena harus lebih pagi lagi, yaitu pukul 05.20 di titik kumpul (atau sekitar pukul 05.00 berangkat dari rumah).
Sedangkan saat pulang sore hari, saya bisa memanfaatkan keberadaan bus jemputan pegawai. Tentu saja syaratnya adalah saya harus pulang tepat waktu, pukul 16.00.Â
Apabila ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan alias lembur, berarti saya tidak bisa ikut bus jemputan. Saya pribadi tidak pernah menolak pekerjaan di 'jam-jam kritis' dengan alasan mengejar bus jemputan.
Sejak operasional bus jemputan pegawai digeser ke malam hari, harus diakui saya jadi kembali lebih sering menggunakan mobil pribadi. Dalam seminggu, belum tentu sekali saya menggunakan kendaraan umum.
Saya bisa paham bahwa dua kebijakan Pak Gubernur di atas bertujuan memaksa PNS DKI Jakarta untuk beralih ke transportasi publik. Posisi Balai Kota memang cukup strategis dan mudah diakses berbagai moda transportasi. Semoga saja sasaran yang diharapkan benar-benar tercapai.
Bagi pegawai biasa seperti saya, tarif parkir berlangganan Rp 550 ribu per bulan cukup terasa memberatkan. Akan tetapi, untuk para pejabat struktural yang setiap bulannya menerima tunjangan transportasi, rasanya kenaikan tarif parkir bulanan tidak signifikan.Â
Para pejabat mungkin akan tetap membawa mobil ke kantor. Kalau begitu, maka kebijakan yang diambil Pak Gubernur terancam tidak akan menemui sasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H