Untuk berangkat kerja saya memanfaatkan kombinasi ojek daring, bus pengumpan dan bus Transjakarta. Konsekuensinya saya memag harus berangkat lebih pagi, sekitar pukul 05.30 dari rumah.Â
Saya tidak ikut bus jemputan di pagi hari karena harus lebih pagi lagi, yaitu pukul 05.20 di titik kumpul (atau sekitar pukul 05.00 berangkat dari rumah).
Sedangkan saat pulang sore hari, saya bisa memanfaatkan keberadaan bus jemputan pegawai. Tentu saja syaratnya adalah saya harus pulang tepat waktu, pukul 16.00.Â
Apabila ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan alias lembur, berarti saya tidak bisa ikut bus jemputan. Saya pribadi tidak pernah menolak pekerjaan di 'jam-jam kritis' dengan alasan mengejar bus jemputan.
Sejak operasional bus jemputan pegawai digeser ke malam hari, harus diakui saya jadi kembali lebih sering menggunakan mobil pribadi. Dalam seminggu, belum tentu sekali saya menggunakan kendaraan umum.
Saya bisa paham bahwa dua kebijakan Pak Gubernur di atas bertujuan memaksa PNS DKI Jakarta untuk beralih ke transportasi publik. Posisi Balai Kota memang cukup strategis dan mudah diakses berbagai moda transportasi. Semoga saja sasaran yang diharapkan benar-benar tercapai.
Bagi pegawai biasa seperti saya, tarif parkir berlangganan Rp 550 ribu per bulan cukup terasa memberatkan. Akan tetapi, untuk para pejabat struktural yang setiap bulannya menerima tunjangan transportasi, rasanya kenaikan tarif parkir bulanan tidak signifikan.Â
Para pejabat mungkin akan tetap membawa mobil ke kantor. Kalau begitu, maka kebijakan yang diambil Pak Gubernur terancam tidak akan menemui sasaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H