Gubernur Anies sejak kampanye lalu pernah menyampaikan bahwa Ia ingin mengedepankan kepemimpinan berbasis gerakan (movement based leadership). Dalam konsep tersebut, gubernur bukanlah Superman yang akan menyelesaikan berbagai persoalan di kota seorang diri. Gubernur sebagai kepala daerah justru akan mendorong semua stakeholders untuk terlibat.
Harus diakui bahwa pemberdayaan masyarakat yang selama ini dijalankan Pemprov DKI Jakarta belum berhasil. Keberadaan RT/RW maupun LMK ternyata tidak meningkatkan civic engagement warga. Mengapa hal tersebut terjadi? Civil society akan kuat manakala partisipasi itu tumbuh dan berkembang dari warganya sendiri.Â
Sedangkan lembaga kemasyarakatan yang ada saat ini selalu diinisiasi oleh Pemerintah, bahkan di satu fase waktu pernah menjadi alat kontrol negara. Lembaga kemasyarakatan yang ada seringkali justru membuat warga lain (selain pengurus lembaga tersebut) tidak memiliki akses terhadap program dan kegiatan pemerintah. Setiap ada kegiatan, selalu RT/RW, LMK, PKK, Karang Taruna dan FKDM yang dilibatkan. Sementara masih banyak kelompok warga yang tidak berafiliasi dengan salah satu dari lembaga tersebut. Kemungkinannya bisa dua. Pertama, warga setempat benar-benar apatis. Kedua, pihak kelurahan kurang kreatif dalam upaya menjangkau warga.
Ada cerita menarik saat dilakukan diskusi kelompok terarah (FGD) membahas soal RT/RW. Peserta diskusi dari kelompok RT/RW umumnya satu suara menyoal independensi lembaga mereka. Perwakilan kelurahan dalam panitia pemilihan RT/RW dan kewenangan kelurahan untuk menonaktifkan Pengurus RT/RW adalah dua hal yang paling dikritik. Menurut mereka, dua hal tersebut tidak sejalan dengan semangat indepensi dari lembaga kemasyarakatan itu sendiri. Padahal, kalau mau konsisten bicara menjaga independensi, RT/RW seharusnya tidak menerima uang operasional dari pemerintah (daerah).
Di sinilah letak paradoks soal RT/RW. Di satu sisi mereka adalah lembaga kemasyarakatan, yang dipilih dari, oleh, dan untuk masyarakat. Tapi, di sisi lain RT/RW juga dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam urusan administrasi kependudukan dan pemberdayaan masyarakat.
Meneruskan atau menghentikan kekeliruan?
Kalau mau jujur, pemberian uang penyelenggaraan tugas dan fungsi RT/RW itu punya cacat bawaan. Sejarah awalnya sangat erat dengan nuansa politis. Adalah janji politik Sutiyoso jelang pemilihan gubernur periode 2002-2007 yang jadi latar belakang keluarnya uang insentif untuk RT/RW. Perhatikan juga siklus lima tahunan kenaikan uang operasional RT/RW pada 2008, 2013 (dan mungkin 2018).
Kalau memang itu yang dimaksud, maka pemberian uang kepada RT/RW menyalahi ketentuan. Karena bantuan sosial dan/atau hibah tidak boleh diberikan secara terus menerus. Sedangkan RT/RW sudah menerima "bantuan" tersebut secara rutin yang dianggarkan di APBD dalam 15 tahun terakhir.
Gubernur Anies sekarang mendapat momentum yang pas. Apakah kekeliruan yang terjadi masih akan dilanjutkan atau dihentikan? Jika semangat gerakan yang ingin dikedepankan, RT/RW sebaiknya didorong menjadi lembaga kemasyarakatan murni yang mandiri.