Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Masih Soal Dana RT/RW

12 Desember 2017   14:30 Diperbarui: 12 Desember 2017   20:54 4073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : www.beritajakarta.id

Gubernur Anies Baswedan sungguh beruntung. Bagaimana tidak, setiap kebijakannya selalu mendapat perhatian publik. Berbagai kritik seharusnya bisa menjadi masukan berharga bagi Pemprov DKI Jakarta. Termasuk dalam persoalan uang RT/RW.

Dalam satu kesempatan dialog dengan perwakilan anggota lembaga kemasyarakatan, salah satu peserta acara menyampaikan keluhan ke gubernur. Ia mempermasalahkan mekanisme pertanggungjawaban uang RT/RW, yang dianggap merepotkan serta membuat mereka berbohong.

Satu hal yang perlu diluruskan di sini, sebetulnya kalau mengacu pada aturan (Keputusan Gubernur Nomor 1197/2017) tak ada satu tahapan pun yang membuat RT/RW harus berbohong. Aturan tersebut hanya meminta agar Ketua RT/RW menyerahkan laporan pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai dasar penghitungan jumlah uang yang diterima dan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) penggunaan uang. Format LPJ itu sendiri hanya selembar kertas yang isinya memuat digunakan untuk apa saja uang tersebut.

sumber : SK Gubernur No.1197/2017
sumber : SK Gubernur No.1197/2017
Sama sekali tidak ada ketentuan bahwa LPJ tersebut harus disertai kuitansi apalagi faktur. Ketua RT/RW dimungkinkan untuk menuliskan apa adanya pengeluaran mereka, katakanlah beli gorengan dan kopi untuk kerja bakti. Jelas tidak mungkin ada kuitansi untuk pengeluaran semacam itu. Uang tersebut juga tidak harus habis digunakan karena dimungkinkan adanya saldo. Dan yang paling penting, LPJ ini diserahkan di bulan berikutnya setelah digunakan, bukan di awal sebagai dasar pemberian. Lalu di mana berbohongnya?

Ternyata masalahnya adalah implementasi di lapangan. Banyak kelurahan yang meminta SPJ (bukan LPJ penggunaan) lebih dulu sebelum uang tersebut ditransfer. Andai saja ini tidak terjadi, mungkin hanya soal laporan pelaksanaan tugas dan fungsi yang akan dikeluhkan RT/RW. Kalau soal laporan pelaksanaan tugas ini, dari pihak Pemprov DKI Jakarta sebetulnya bermaksud membuat mekanisme yang lebih berkeadilan antara RT/RW yang benar-benar bekerja dengan yang pasif.

Kembali ke acara dialog tadi, gubernur memberi respons yang kemudian menjadi perbincangan publik. Gubernur menyatakan bahwa di 2018 nanti RT/RW tidak perlu lagi membuat LPJ. Belakangan, pernyataan ini dikoreksi bahwa LPJ akan tetap ada namun mekanismenya yang diubah. Dalam rancangan kebijakan yang disusun, RT/RW tidak lagi menyerahkan secara rutin setiap bulan LPJ ke kelurahan. Namun, sebagai bentuk akuntabilitas, RT/RW harus melaporkan langsung ke warga di lingkungannya paling sedikit satu kali setiap semester.Laporan tersebut juga ditembuskan kepada kelurahan.

Usulan ini masih memicu perdebatan. Penyederhanaan LPJ ini dianggap membuka celah korupsi. Padahal, penyampaian LPJ ke kelurahan pun tidak mengeliminir kemungkinan korupsi. Bahkan pengawasan oleh kelurahan jauh lebih sulit. Wakil Gubernur Sandiaga menyebut LPJ di kelurahan hanya menjadi tumpukan yang tak bermakna. Sebagai ilustrasi, Kelurahan Penjaringan setiap bulan harus memelototi LPJ dari 236 RT dan 17 RW. Siapa yang menjamin setiap komponen yang dilaporkan oleh setiap RT dan RW dalam LPJ itu benar adanya?

Kita tentu sepakat kalau APBD adalah uang rakyat. Maka sepeser pun pengeluaran dari APBD harus dapat dipertanggungjawabkan. Mekanisme baru yang diusulkan justru mengembalikan hak warga untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari RT/RW di wilayahnya. Bahkan, yang wajib dilaporkan bukan cuma uang penyelenggaraan tugas dan fungsi yang diterima dari Pemprov DKI Jakarta (baca: APBD) tetapi juga uang swadaya atau iuran warga yang biasa dipungut oleh RT/RW. Oknum RT/RW yang nakal boleh jadi malah merasa dirugikan dengan rencana aturan baru ini. Bukan rahasia lagi kalau ada oknum RT/RW yang 'memainkan' celah kewenangan memungut swadaya warga.

Partisipasi warga

"Open government without participation is meaningless," kata Anies Baswedan saat menyampaikan pidato pembukaan HackJak 2017 di Balai Agung, Jumat (8/12). Pernyataan gubernur itu menyadarkan saya bahwa akuntabilitas dan partisipasi adalah dua prinsip penting yang tidak bisa berdiri sendiri dalam tata kelola pemerintahan yang baik.

Di atas sudah dijabarkan bahwa tidak tepat jika kita pesimistis duluan terhadap rencana perubahan mekanisme pertanggungjawaban uang RT/RW. Pertanyaannya, apakah kita pantas optimistis perubahan ini membawa ke arah yang lebih baik? Belum tentu. Ada prasyarat yang harus dipenuhi kalau ingin perubahan mekanisme berbanding lurus dengan perbaikan akuntabilitas.

Prasyarat mutlaknya adalah partisipasi warga. Jika selama ini sudah aktif komentar di media sosial, sekarang waktunya untuk mengonversi aktivitas itu di dunia nyata. Pastikan Anda menjaga interaksi dan komunikasi dengan sesama warga dan pengurus RT/RW, hadir di acara musyawarah, serta sepakati teknis pelaporan keuangan RT/RW di wilayah masing-masing.

Gubernur Anies sejak kampanye lalu pernah menyampaikan bahwa Ia ingin mengedepankan kepemimpinan berbasis gerakan (movement based leadership). Dalam konsep tersebut, gubernur bukanlah Superman yang akan menyelesaikan berbagai persoalan di kota seorang diri. Gubernur sebagai kepala daerah justru akan mendorong semua stakeholders untuk terlibat.

Harus diakui bahwa pemberdayaan masyarakat yang selama ini dijalankan Pemprov DKI Jakarta belum berhasil. Keberadaan RT/RW maupun LMK ternyata tidak meningkatkan civic engagement warga. Mengapa hal tersebut terjadi? Civil society akan kuat manakala partisipasi itu tumbuh dan berkembang dari warganya sendiri. 

Sedangkan lembaga kemasyarakatan yang ada saat ini selalu diinisiasi oleh Pemerintah, bahkan di satu fase waktu pernah menjadi alat kontrol negara. Lembaga kemasyarakatan yang ada seringkali justru membuat warga lain (selain pengurus lembaga tersebut) tidak memiliki akses terhadap program dan kegiatan pemerintah. Setiap ada kegiatan, selalu RT/RW, LMK, PKK, Karang Taruna dan FKDM yang dilibatkan. Sementara masih banyak kelompok warga yang tidak berafiliasi dengan salah satu dari lembaga tersebut. Kemungkinannya bisa dua. Pertama, warga setempat benar-benar apatis. Kedua, pihak kelurahan kurang kreatif dalam upaya menjangkau warga.

Ada cerita menarik saat dilakukan diskusi kelompok terarah (FGD) membahas soal RT/RW. Peserta diskusi dari kelompok RT/RW umumnya satu suara menyoal independensi lembaga mereka. Perwakilan kelurahan dalam panitia pemilihan RT/RW dan kewenangan kelurahan untuk menonaktifkan Pengurus RT/RW adalah dua hal yang paling dikritik. Menurut mereka, dua hal tersebut tidak sejalan dengan semangat indepensi dari lembaga kemasyarakatan itu sendiri. Padahal, kalau mau konsisten bicara menjaga independensi, RT/RW seharusnya tidak menerima uang operasional dari pemerintah (daerah).

Di sinilah letak paradoks soal RT/RW. Di satu sisi mereka adalah lembaga kemasyarakatan, yang dipilih dari, oleh, dan untuk masyarakat. Tapi, di sisi lain RT/RW juga dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam urusan administrasi kependudukan dan pemberdayaan masyarakat.

Meneruskan atau menghentikan kekeliruan?

Kalau mau jujur, pemberian uang penyelenggaraan tugas dan fungsi RT/RW itu punya cacat bawaan. Sejarah awalnya sangat erat dengan nuansa politis. Adalah janji politik Sutiyoso jelang pemilihan gubernur periode 2002-2007 yang jadi latar belakang keluarnya uang insentif untuk RT/RW. Perhatikan juga siklus lima tahunan kenaikan uang operasional RT/RW pada 2008, 2013 (dan mungkin 2018).

Dokpri
Dokpri
Lupakan dulu soal politik, mari bicara aspek legal formalnya. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan adalah acuan dasar dari lembaga kemasyarakatan termasuk RT/RW. Pasal 29 Permendagri tersebut menyebutkan bahwa sumber pendanaan lembaga kemasyarakatan kelurahan berasal dari : a). swadaya masyarakat; b). bantuan dari Anggaran Pemerintah kelurahan; c). bantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota; dan d). bantuan lain yang sah dan mengikat.

sumber : Permendagri No.5/2007
sumber : Permendagri No.5/2007
Pendanaan lembaga kemasyarakatan kelurahan berbeda dengan lembaga kemasyarakatan desa, yang pada poin c secara tegas memuat APBD Kabupaten/Kota dan/atau ABPD Provinsi. Dibutuhkan penafsiran dari Kementerian Dalam Negeri mengapa ada pembedaan pada pasal 28 dan pasal 29. Adanya nomenklatur "bantuan" di poin c pasal 29 juga apakah merujuk pada bantuan sosial dan/atau hibah sebagaimana diatur dalam pedoman pengelolaan keuangan daerah?

Kalau memang itu yang dimaksud, maka pemberian uang kepada RT/RW menyalahi ketentuan. Karena bantuan sosial dan/atau hibah tidak boleh diberikan secara terus menerus. Sedangkan RT/RW sudah menerima "bantuan" tersebut secara rutin yang dianggarkan di APBD dalam 15 tahun terakhir.

Gubernur Anies sekarang mendapat momentum yang pas. Apakah kekeliruan yang terjadi masih akan dilanjutkan atau dihentikan? Jika semangat gerakan yang ingin dikedepankan, RT/RW sebaiknya didorong menjadi lembaga kemasyarakatan murni yang mandiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun