Di akhir bulan Februari lalu, tiba-tiba saja terlintas di pikiran saya untuk mengalihkan tabungan dari bank konvensional ke bank Syariah. Kebetulan kartu ATM saya di bank tersebut sudah akan kadaluwarsa. Sejujurnya, keputusan saya saat itu bukan dilandasi alasan religius. Saya hanya nggak mau ribet lantaran buku tabungan saya di bank tersebut sudah hilang.
Menabung sekaligus beribadah (foto: akun twitter @BNISyariah
Tanpa banyak pikir panjang, saya langsung menguras habis sisa saldo di rekening tersebut mumpung ATM masih bisa digunakan. Di hari yang sama, saya menyambangi kantor cabang BNI Syariah. Sekali lagi, saya juga tidak punya alasan mengapa memilih BNI Syariah. Saya tidak sempat mencari tahu apalagi membandingkan bank-bank Syariah lainnya. Semua terjadi begitu cepat.
Dibantu seorang petugas customer service, saya akhirnya membuka rekening dan menjadi nasabah BNI Syariah. Mbak CS itu dengan sabar menerangkan satu per satu ketentuan mengenai bank Syariah. Di antaranya yang saya ingat adalah soal bagi hasil (mudarabah), yang memastikan bahwa tidak ada riba dalam mekanisme ini.
Selebihnya, fasilitas yang diberikan tidak jauh berbeda dengan bank konvensional. Bahkan, saya yang sebelumnya tidak familiar dengan mobile banking (M-Banking), sekarang jadi sangat mengandalkan fitur tersebut karena pada hari itu juga saya mengunduh dan mengaktifkan BNI M-Banking. Sedangkan untuk ATM, saya bisa menggunakan seluruh ATM BNI (konvensional) dan jaringan ATM Bersama, LINK dan Prima.
Selanjutnya saya menyetorkan uang yang tadi diambil dari ATM ke teller. Sampai di sini, pelayanan yang diberikan hampir sama dengan SOP bank-bank konvensional lain. Begitu transaksi beres dan buku rekening dikembalikan, dengan ramah disertai senyuman petugas teller itu berujar, “Terima kasih Bapak, transaksinya sudah selesai. Semoga tabungannya berkah ya Pak.”
Kalimat singkat itu membuat saya menyadari satu hal : tak ada yang lebih penting dari keberkahan. Alangkah beruntungnya nasabah jika di setiap transaksinya selalu disertai doa seperti ini. Saya jadi terbayang betapa selama ini saya mengabaikan soal keberkahan ini. Walaupun bunga bank yang saya dapat tidak pernah lebih besar dari biaya yang dikeluarkan (alias tekor), tetap saja dalam perbankan konvensional ada mekanisme yang disebut riba.
“Aamiin, terima kasih ya Mbak,” jawab saya setelah sempat tertegun beberapa detik.
Sebelum meninggalkan kantor bank tersebut, pandangan saya tertambat pada sebuah poster. Ada gambar Ka’bah yang dijadikan ilustrasi untuk salah satu produk yang ditawarkan BNI Syariah. Alih-alih pulang, saya malah duduk lagi di bangku customer service dan minta informasi soal tabungan haji dan umroh. Kebetulan saya memang ada niat untuk berangkat umroh. Alhamdulillah sebagian rezeki juga sudah saya sisihkan.
Gayung pun bersambut. Ternyata kantor cabang BNI Syariah tempat saya membuka rekening bekerja sama dengan salah satu perusahaan travel umroh yang cukup beken di Jakarta. Mbak CS itu menawarkan saya untuk membantu menghubungkan dengan marketing umroh. Saya juga diberikan brosur terbaru dari perusahaan travel tersebut. Cukup banyak paket yang ditawarkan, harganya variatif tergantung fasilitas yang akan jamaah dapatkan.
Karena harus mengurus paspor, visa, dan berbagai kebutuhan lainnya saya memilih untuk berangkat tanggal 25 April. Ada waktu sekitar dua bulan untuk persiapan. Selain mempersiapkan kebutuhan dokumen dan logistik, saya juga harus siap secara lahir dan batin.
Karena harus mengurus paspor, visa, dan berbagai kebutuhan lainnya saya memilih untuk berangkat tanggal 25 April. Ada waktu sekitar dua bulan untuk persiapan. Selain mempersiapkan kebutuhan dokumen dan logistik, saya juga harus siap secara lahir dan batin. Selama persiapan dokumen dan administrasi, saya beberapa kali menggunakan fasilitas mobile banking untuk keperluan transfer dana ke perusahaan travel. Selain untuk transfer dan cek saldo, saya juga terkadang memanfaatkan fitur pembelian pulsa melalui m-banking. Masih banyak sebetulnya fitur lain yang belum saya maksimalkan.
Perjalanan yang Ditunggu-Tunggu
Hari yang dinanti-nantikan akhirnya datang juga. Senin, 25 April 2016 saya bersama bapak dan ibu mertua berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah umroh. Kami tentu sangat antusias. Rasanya tidak menyangka kesempatan untuk berkunjung ke Baitullah sudah di depan mata. Perjalanan panjang dimulai sore hari itu tepat pukul 18.45 WIB. Dengan menggunakan Qatar Airways, kami harus transit dulu di Doha sebelum melanjutkan penerbangan ke Jeddah. Selasa (26/4) subuh kami mendarat dengan selamat di bandar udara King Abdul Aziz, Jeddah. Proses imigrasi yang biasanya menjadi 'ujian' kesabaran jamaah haji dan umroh kami lalui tanpa hambatan berarti.
Selanjutnya, kami harus menempuh perjalanan darat menggunakan bus menuju Madinah. Kota yang dijuluki Al Munawaroh (yang bercahaya) itu berjarak sekitar 450 km dari Jeddah. Berkat jalan bebas hambatan yang benar-benar bebas hambatan, jarak yang terbilang jauh itu dapat kami tempuh dalam waktu lima jam. Selama di Madinah, kami menginap di Hotel Al Eiman Taibah dengan jarak kurang lebih 250 meter dari Masjid Nabawi. Malam itu juga kami langsung berziarah ke makam Rasulullah SAW, Sayiddina Abu Bakar dan Sayyidina Umar ibn Khattab. Atas izin Allah juga kami berkesempatan melakukan sholat sunnah di Raudhah, satu bagian dari Masjid Nabawi yang diyakini sebagai tempat mustajab (dikabulkannya do'a).
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “antara rumahku dan mimbarku adalah taman (raudhah) dari taman-taman surga” (H.R At Tirmidzi, Ahmad dan Muslim).
Keesokan harinya, Rabu 27 April 2016, kami menziarahi beberapa lokasi di sekitaran kota Madinah seperti Masjid Quba, Masjid Khomsah, Pemakaman Baqi, Jabal Uhud, dan kebun korma. Meski judulnya kunjungan ke kebun kurma, kebanyakan jamaah justru asyik berbelanja di toko yang ada di depannya. Berbagai jenis kurma dan makanan kecil lainnya dijual di sini. Kebanyakan pegawai toko adalah orang Indonesia, jadi suasananya hampir mirip lah dengan pasar-pasar di Indonesia. Hebatnya lagi, di sini juga menerima mata uang rupiah sebagai alat tukar.
Meski banyak lokasi yang dikunjungi (ataupun hanya dilewati), tepat menjelang dzuhur kami sudah kembali ke hotel. Sehingga elama di Madinah bisa memaksimalkan waktu untuk beribadah di Masjid Nabawi yang pahalanya seribu kali lipat dibanding masjid-masjid lainnya.
Hari Kamis, 28 April 2016, selepas sholat dzuhur dan makan siang kami bergegas untuk melanjutkan perjalanan spiritual ini ke Mekkah. Karena akan langsung melakukan rangkaian ibadah umroh (tawaf, sa'i dan tahallul), maka kami sudah menggunakan kain ihrom sejak dari hotel. Walaupun tiba di Mekkah sekitar jam 10 malam, tidak menyurutkan langkah jamaah untuk berumroh. Jam 23.30, jamaah meninggalkan hotel Dar El Aiman Grand berjalan kaki menuju Masjidil Haram yang jaraknya sekitar 700 meter.
Karena malam Jum'at, Masjidil Haram saat itu ramai sekali. "Warga lokal juga banyak yang melakukan umroh di malam Jum'at," kata Ustad Hafiz, muthowif yang mendampingi kami. Melihat begitu banyak orang, saya langsung memasrahkan diri saja pada Allah semoga diberikan kelancaran hingga selesai. Atas izin dan karunia-Nya, saya, bapak dan ibu mertua, serta semua jamaah lain akhirnya bisa menyelesaikan rangkaian umroh sekitar pukul 03.00 dinihari. Lantaran fisik begitu lelah, kami memutuskan untuk beristirahat dan sholat subuh di hotel.
Namun, jam 09.30 waktu setempat saya dan bapak mertua sudah berangkat kembali ke Masjidil Haram untuk menunaikan sholat Jum'at. Sebetulnya waktu sholat Jum'at di sana sama juga dengan di Indonesia, sekitar jam 12 siang. Akan tetapi, jika tidak berangkat dari pagi kami bisa tidak kebagian tempat dan akses masuk pun keburu ditutup. Berangkat lebih awal juga bukan sebuah kerugian, karena kami sempat melakukan thawaf sunnah terlebih dahulu.
Hari Sabtu (29/4), kami diajak berkeliling kota Mekkah untuk melihat Jabal Tsur, Arafah, Muzdalifah, Mina dan Jabal Nur. Kami juga dijadwalkan untuk melakukan umroh satu kali lagi. Puji syukur pada Allah, umroh kedua juga berhasil kami lewati tanpa rintangan berarti. Kalau kaki terasa pegal dan betis kencang ya wajar lah.. hehe
Keesokan harinya, para muthowif mengajak kami untuk sholat sunah di Hijir Ismail dan berdoa di depan Mulatazam. Alhamdulillah, Allah berikan kami kesempatan untuk melaksanakan itu semua. Saat kening dan bibir ini menciium kiswah (kain pelindung Ka'bah) di sisi Hijr Ismail, air mata pun tertumpah. Penyesalan atas segala dosa yang diperbuat teriring harapan agar diberikan ampunan oleh Allah SWT. Saya juga sempat sekali lagi mencium Ka'bah dari sudut (rukun) Yamani. Pada saat itu, sedang ada sedikit pekerjaan renovasi di sekitar Hajar Aswad dan Multazam dan diberi garis pembatas, maka kami pun berdoa dari pinggir batasan tersebut.
Satu pekan berada di dua Tanah Suci terasa amat singkat. Senin (2/5) dinihari, kami sudah harus tawaf wada (perpisahan) di Ka'bah. Sungguh kami berharap untuk bisa memenuhi kembali panggilan-Nya. Hari itu juga kami meninggalkan Mekkah dan menuju Jeddah. Sempat menjalani city tour ke sekitaran Laut Merah dan pusat kota Jeddah, perjalanan berakhir di King Abdul Aziz Airport.
Seperti perjalanan pergi, dalam kepulangan ini kami juga transit di Doha lantaran menggunakan Qatar Airways. Bedanya, transit kali ini lebih lama mencapai lima jam. Andaikan siang hari pasti lebih seru. Namun, di malam hari pun bandar udara Hamad International tetap memukau. Kemegahan dan fasilitas yang ditawarkan benar-benar sempurna. Salah satunya adalah ruang relaksasi dengan kursi yang didesain agar pengunjung bisa beristirahat dengan nyaman. Selain itu, ada juga fasilitas komputer iMac yang bebas digunakan. Sementara pengunjung yang menggunakan gawai, mendapat akses wifi secara cuma-cuma.
Saat berkeliling di Hamad International Airport, saya sempat tergiur juga melihat barang-barang di jejeran toko duty free. Masalahnya saya tidak punya uang Qatar Riyal ataupun US Dollar. Tersisa sedikit Saudi Riyal dan Rupiah. Saya lantas ingat bahwa kartu ATM BNI Syariah yang saya punya pun bisa digunakan untuk melakukan transaksi tunai maupun debit.Di sini saya membuktikan bahwa perbankan syariah SAMA BAGUSNYA, SAMA LENGKAPNYA, dan SAMA MODERNNYA.
Perjalanan umroh mungkin sudah bukan barang mewah bagi banyak orang di Indonesia. Bahkan, ada yang sudah berangkat berkali-kali. Sedangkan bagi saya, ini merupakan momen istimewa. Rasanya seperti mimpi yang menjadi nyata. Saya sangat yakin bahwa panggilan Allah yang membuat saya bisa berangkat ke sana. Segala sesuatunya seperti dimudahkan oleh Allah. Mulai dari pendaftaran melalui bank, pengurusan paspor, hingga keberangkatan. Selama di Madinah dan Mekkah juga kami diberikan kesehatan. Makanan di hotel tempat kami menginap juga sangat pas dengan selera. Perjalanan ini menjadi kesempatan pertama saya keluar negeri, kali pertama mengunjungi Baitullah, kali pertama menggunakan tiga pesawat berbadan lebar (Airbus A-330 seri 200, Boeing 777-200 dan Boeing 787-9 Dreamliner).
Tak ada daya dan upaya selain dari-Nya yang membuat semua ini terwujud. Semoga ini menjadi pertanda keberkahan yang Allah berikan kepada saya dan keluarga, atas langkah kecil saya mengalihkan tabungan ke bank syariah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H