Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Melawan Hegemoni Ahok dalam Wacana Penggusuran Kampung Pulo

1 September 2015   15:29 Diperbarui: 1 September 2015   15:29 7837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="kiri ke kanan : Atika (moderator, LBH), Romo Sandyawan (Ciliwung Merdeka), Alldo Felix (LBH)"][/caption]

 

“Pola penggusuran yang dilakukan pemerintah tak banyak berubah pascareformasi 1998,” demikian disampaikan Sandyawan Sumardi dalam acara Diskusi Diponegoro “Kami Terusir, Mengungkap Penggusuran Paksa di Jakarta” yang diselenggarakan di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Senin 31 Agustus 2015 kemarin.

Romo Sandi, demikian ia biasa disapa, adalah Koordinator Komunitas Ciliwung Merdeka (CM), yang sudah mendampingi warga Kampung Pulo sejak 2009. Dalam diskusi kemarin, ia menyampaikan kronologis peristiwa penggusuran pekan lalu. Selain Romo Sandi, penanggap diskusi lainnya adalah pengacara publik dari LBH Jakarta, Alldo Felix.

Romo Sandi menyayangkan penggusuran yang dilakukan pemerintah diwarnai ricuh. “Ketika berharapan dengan pemerintah, warga tidak akan mungkin menang kalau menggunakan otot. Oleh karena itu sejak lama kami mencoba mencari alternatif gerakan yang berbeda,” ujar Romo.

Dengan gerakan partisipatif yang ia gagas, warga Kampung Pulo secara bersama-sama dibantu dengan sejumlah intelektual dari CM menyusun konsep pengembangan kawasan yang mereka harapkan. “Saat ini CM dibantu oleh 60 orang pakar dari berbagai bidang, mulai dari arsitektur, tata kota, sosiologi, antropologi, sampai ahli hidrologi yang merupakan pegawai Kerajaan Belanda,” kata Sandyawan. Sebelum konsep disusun, sudah dilakukan juga kajian historis, ekonomi dan sosial budaya di sana.

Kesulitannya justru pada membuka ruang dialog dengan pemerintah. “Kami sudah bersurat,  tapi sampai tiga bulan tidak dijawab. Padahal waktu Ahok datang ke kami saat masih jadi anggota DPR dulu tidak pakai surat-suratan. Begitu juga waktu ia bersama Jokowi meminta dukungan menjelang pilkada 2012 lalu. Kami sambut dengan hangat, dibuatkan teh manis dan singkong rebus oleh warga,” tutur pria jebolan Seminari Yogyakarta itu.

Akhirnya, Sandyawan memilih cara paling konvensional yaitu menjegat Ahok langsung di Balai Kota. Baru kemudian CM mendapat kesempatan beraudiensi dengan Sang Gubernur. Pada pertemuan pertama 24 Juli 2015, CM memaparkan konsep yang mereka buat. Ahok pun kesengsem. Ia setuju dengan gagasan itu dan berjanji akan menindaklanjutinya. Salah satu angin surga yang diberikan adalah tanah warga akan diukur untuk diganti sebesar 1,5 kali lipat dalam ‘Kampung Susun’ yang kelak dibangun di Kampung Pulo.

[caption caption="Contoh desain yang sudah dibuat Ciliwung Merdeka (sumber: Majalah Tempo edisi 31 Agustus - 6 September)"]

[/caption]

 

Camat dan Lurah ‘Bermain’?

Dasar lidah tak bertulang, janji itu cuma berumur kurang dari dua minggu. Pada pertemuan berikutnya tanggal 4 Agustus 2015, Ahok menganulir rencananya. Ia bersikukuh tetap akan merelokasi warga ke rumah susun yang dibangun pemerintah. Ahok bahkan menuding warga kampung pulo sebagai warga liar yang menduduki tanah negara.

Ahok mendapat masukan tersebut dari camat dan lurah. Padahal, berdasarkan penelusuran yang dilakukan warga dibantu CM ditemukan ratusan surat tanah, sebagian besar adalah verponding Indonesia. Sebaliknya, walaupun Ahok menyebutkan wilayah Kampung Pulo sebagai tanah negara, pihak Pemprov DKI Jakarta tak pernah menunjukkan bukti atas klaim tersebut.

Bagi yang ingin memahami persoalan ini dari perspektif hukum agraria, sila dibaca analisis dari Kompasianer lain di sini. Menanggapi masalah status tanah ini, Alldo Felix menyatakan, “Tidak ada yang namanya tanah negara, yang ada hanya pengelolaan. Kalau verponding sudah keluar, seharusnya tidak mungkin keluar Hak Pengelolaan Lahan.”

Sebagai media Darling, setiap pernyataan Ahok selalu mendapat porsi pemberitaan memadai. Termasuk soal warga liar penghuni lahan negara. Pemutarbalikan fakta juga terjadi akibat pernyataan camat dan lurah. Warga dituding menuntut ganti rugi uang. Padahal sebenarnya adalah ganti rugi lahan (di kampung susun yang akan dibangun).

Berdasarkan potongan-potongan fakta di atas, saya jadi suudzon dengan camat dan lurah. Jangan-jangan mereka ada main di sana. Kalau ganti rugi berupa uang, mereka bisa dapat ‘cipratan’. Sedangkan kalau kampung susun yang dibangun, mereka tak dapat untung apa-apa selain kerepotan karena harus memiliki data valid siapa saja yang kelak berhak kembali ke Kampung Pulo. Untuk diketahui, 1 dari 3 wilayah RW di Kampung Pulo memang cenderung ‘dekat’ dengan pihak kelurahan.

Kelakuan camat pada saat detik-detik menjelang eksekusi juga sangat provokatif. Kalau harus ada yang ditahan oleh kepolisian sebagai terduga provokator maka si camatlah orangnya.

 

Tak Mau Ada Politisasi

Ramainya pro dan kontra kasus ini membuat politisasi sulit dihindari. “Hampir setiap hari Habib Soleh (tokoh masyarakat di Kampung Pulo) didatangi orang-orang baik dari partai politik maupun ormas,” kata Romo Sandy. Namun, ia percaya Habib Soleh tidak akan terjebak oleh politisi pecundang yang sedang mencari panggung. Menurut Sandyawan, ia mengenal Habib Soleh sebagai tokoh yang sangat dihormati warga karena ketulusannya.

Penggusuran Kampung Pulo juga telah memantik munculnya gerakan “Lawan Ahok”. Kemunculan “Lawan Ahok” sekaligus menjadi tandingan bagi “Teman Ahok” yang sudah ada jauh lebih dulu sebagai gerakan mendukung politisi asal Belitung Timur itu apabila harus maju melalui jalur independen di Pilkada 2017.

“Kami tidak peduli kawan Ahok atau lawan Ahok. Kami nggak ada urusan dengan suksesi kepemimpinan di DKI, siapapun yang jadi gubernur bukan soal.Tolong jangan dipolitisasi. Ini adalah perjuangan atas harkat dan martabat kami,” begitu tegas seorang perwakilan warga yang menyampaikan testimoni.

 

Ahok dan Wacana Dominan

Selain tak ingin ada politisasi, warga juga kecewa dengan pemberitaan di media. “Saya berbeda pendapat dengan Romo Sandy. Jelas ada perbedaan antara penggusuran di zaman orde baru dengan sekarang. Dulu, korban penggusuran hanya ‘melawan’ pemerintah. Sedangkan sekarang kami juga diserang oleh kelas menengah dengan stigma-stigma negatif yang dilekatkan,” keluhnya.

Hal senada disampaikan Romo Sandy. “Media sepertinya sudah terkooptasi. Warga dituding tak tahu diri karena sudah disediakan rusun. Warga di sana walaupun mungkin tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi jelas mereka lebih tahu apa yang mereka butuhkan,” ujarnya.

Ia mengkritik cara pandang yang tidak mengedepankan empati. “Rusun bisa jadi solusi untuk tempat tidur. Tapi, warga di sana yang sebagian besar bekerja di sektor informal lebih butuh ruang untuk kerja (berproduksi), kalau tidur justru bisa di mana saja,” ia menambahkan.

Diakui atau tidak, Ahok telah berhasil menghegemoni wacana yang berkembang di publik. Konsekuensi dari wacana dominan itu adalah pandangan yang lebih luas jadi terhalang sehingga publik tidak memiliki alternatif dalam membaca suatu persoalan. Produksi wacana dominan ini didukung oleh media mainstream baik secara sadar karena kepentingan tertentu maupun cuma ikut-ikutan saja.

Untungnya sudah ada media sosial dan media alternatif berupa user generated content (termasuk Kompasiana di dalamnya) yang bisa memproduksi wacana tandingan. Pada akhirnya kembali kepada warga untuk cerdas dalam memilah informasi dan menyikapinya.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun