Ahok mendapat masukan tersebut dari camat dan lurah. Padahal, berdasarkan penelusuran yang dilakukan warga dibantu CM ditemukan ratusan surat tanah, sebagian besar adalah verponding Indonesia. Sebaliknya, walaupun Ahok menyebutkan wilayah Kampung Pulo sebagai tanah negara, pihak Pemprov DKI Jakarta tak pernah menunjukkan bukti atas klaim tersebut.
Bagi yang ingin memahami persoalan ini dari perspektif hukum agraria, sila dibaca analisis dari Kompasianer lain di sini. Menanggapi masalah status tanah ini, Alldo Felix menyatakan, “Tidak ada yang namanya tanah negara, yang ada hanya pengelolaan. Kalau verponding sudah keluar, seharusnya tidak mungkin keluar Hak Pengelolaan Lahan.”
Sebagai media Darling, setiap pernyataan Ahok selalu mendapat porsi pemberitaan memadai. Termasuk soal warga liar penghuni lahan negara. Pemutarbalikan fakta juga terjadi akibat pernyataan camat dan lurah. Warga dituding menuntut ganti rugi uang. Padahal sebenarnya adalah ganti rugi lahan (di kampung susun yang akan dibangun).
Berdasarkan potongan-potongan fakta di atas, saya jadi suudzon dengan camat dan lurah. Jangan-jangan mereka ada main di sana. Kalau ganti rugi berupa uang, mereka bisa dapat ‘cipratan’. Sedangkan kalau kampung susun yang dibangun, mereka tak dapat untung apa-apa selain kerepotan karena harus memiliki data valid siapa saja yang kelak berhak kembali ke Kampung Pulo. Untuk diketahui, 1 dari 3 wilayah RW di Kampung Pulo memang cenderung ‘dekat’ dengan pihak kelurahan.
Kelakuan camat pada saat detik-detik menjelang eksekusi juga sangat provokatif. Kalau harus ada yang ditahan oleh kepolisian sebagai terduga provokator maka si camatlah orangnya.
Tak Mau Ada Politisasi
Ramainya pro dan kontra kasus ini membuat politisasi sulit dihindari. “Hampir setiap hari Habib Soleh (tokoh masyarakat di Kampung Pulo) didatangi orang-orang baik dari partai politik maupun ormas,” kata Romo Sandy. Namun, ia percaya Habib Soleh tidak akan terjebak oleh politisi pecundang yang sedang mencari panggung. Menurut Sandyawan, ia mengenal Habib Soleh sebagai tokoh yang sangat dihormati warga karena ketulusannya.
Penggusuran Kampung Pulo juga telah memantik munculnya gerakan “Lawan Ahok”. Kemunculan “Lawan Ahok” sekaligus menjadi tandingan bagi “Teman Ahok” yang sudah ada jauh lebih dulu sebagai gerakan mendukung politisi asal Belitung Timur itu apabila harus maju melalui jalur independen di Pilkada 2017.
“Kami tidak peduli kawan Ahok atau lawan Ahok. Kami nggak ada urusan dengan suksesi kepemimpinan di DKI, siapapun yang jadi gubernur bukan soal.Tolong jangan dipolitisasi. Ini adalah perjuangan atas harkat dan martabat kami,” begitu tegas seorang perwakilan warga yang menyampaikan testimoni.
Ahok dan Wacana Dominan
Selain tak ingin ada politisasi, warga juga kecewa dengan pemberitaan di media. “Saya berbeda pendapat dengan Romo Sandy. Jelas ada perbedaan antara penggusuran di zaman orde baru dengan sekarang. Dulu, korban penggusuran hanya ‘melawan’ pemerintah. Sedangkan sekarang kami juga diserang oleh kelas menengah dengan stigma-stigma negatif yang dilekatkan,” keluhnya.