Berkembangnya peran aktor non-negara dalam dinamika politik global telah mengangkat isu penting tentang peran masyarakat sipil dalam tata kelola global. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa masyarakat sipil dapat memiliki dampak signifikan dalam hubungan internasional, terutama dalam pengaturan tata kelola global.
Sebelumnya, politik global didominasi oleh negara-negara, tetapi kini kelompok masyarakat sipil juga memiliki peran penting dalam tata kelola global. Jan Aart Scholte menyatakan bahwa kehadiran masyarakat sipil dalam tata kelola global dapat mendorong proses pengambilan keputusan yang tidak hanya mempertimbangkan kepentingan negara-negara, melainkan juga memperhatikan kepentingan masyarakat sipil (Scholte, 2002).
Berpegang pada pandangan para teoretisi di atas, civil society memiliki potensi untuk berperan dalam mengatasi tantangan global dalam konteks tata kelola. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan fenomena yang disebut sebagai "krisis pengungsi" di dunia. Joseph Besigye Bazirake mengutip data dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) yang mencatat bahwa pada tahun 2015, ada 65,3 juta orang yang menjadi pengungsi, jumlah tertinggi sejak Perang Dunia II. Angka yang sangat besar ini mencerminkan tingkat krisis kemanusiaan yang terjadi akibat masalah pengungsi (Bazirake, 2017).
Hingga akhir tahun 2016, sekitar 65,6 juta orang mengalami kesulitan hidup, termasuk pengungsi lintas batas dan pengungsi internal. Jumlah ini terus meningkat setiap tahun hingga 2018 (dikutip dari UNHCR, 2016). Timur Tengah tetap menjadi wilayah dengan jumlah pengungsi terbesar, di mana sekitar 5,6 persen dari seluruh populasi di wilayah ini terpaksa menjadi pengungsi.Â
Pada Maret 2018, konflik di Suriah saja menyebabkan sekitar 13,1 juta orang menjadi pengungsi, dan dari jumlah tersebut, sekitar 5,6 juta orang di antaranya menjadi pengungsi lintas batas. Selain itu, ada sekitar 700 ribu pengungsi asal Palestina yang tersebar di berbagai wilayah seperti Yordania, Lebanon, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Suriah (UNHCR, 2018).
Implikasi Humaniter bagi Negara Penerima
Krisis pengungsi Timur Tengah terjadi sebagai akibat dari berbagai konflik bersenjata di wilayah ini, termasuk perang saudara di Suriah, konflik Israel-Palestina, dan ketegangan politik di negara-negara seperti Irak dan Afghanistan. Lebih dari sekadar perpindahan manusia, krisis ini mencerminkan ketidakstabilan politik dan keamanan yang terjadi di Timur Tengah. Negara-negara penerima krisis pengungsi di Timur Tengah menghadapi tekanan ekonomi dan sosial yang signifikan. Jumlah pengungsi yang masuk menciptakan permintaan mendesak untuk layanan dasar seperti perumahan, pendidikan, dan layanan kesehatan.Â
Sumber daya yang terbatas dan ketidak mampuan untuk mengatasi kebutuhan ini dapat menyebabkan kemiskinan dan ketidak stabilan sosial di negara-negara penerima. Kedatangan sejumlah besar pengungsi juga dapat memicu konflik sosial dan etnis di negara-negara penerima. Persaingan atas sumber daya dan pekerjaan dapat menciptakan ketegangan antara kelompok etnis yang ada dan pengungsi yang baru datang. Konflik ini dapat mengganggu stabilitas internal negara-negara penerima dan mengancam keamanan mereka.Â
Krisis pengungsi Timur Tengah menciptakan kondisi kemanusiaan yang memprihatinkan bagi jutaan orang yang terlantar. Kurangnya perlindungan dan akses ke layanan dasar mengancam kehidupan dan kesejahteraan pengungsi. Hal ini menuntut respon humaniter yang cepat dan tanggap dari komunitas internasional.Â
Krisis pengungsi Timur Tengah telah menimbulkan beban kemanusiaan yang besar bagi negara-negara penerima. Jumlah pengungsi yang masuk secara tiba-tiba dan massal menempatkan tekanan besar pada infrastruktur dan sumber daya negara-negara tersebut. Ketersediaan makanan, tempat tinggal, air bersih, layanan kesehatan, dan pendidikan menjadi terbatas, mengakibatkan kondisi kritis bagi pengungsi yang mencari perlindungan. Ketika sejumlah besar pengungsi datang ke negara penerima, perbedaan budaya, agama, dan bahasa dapat menyebabkan ketegangan sosial dan integrasi yang kompleks.
Pengungsi sering kali menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal, dan masyarakat setempat juga mungkin menghadapi tantangan dalam menerima pengungsi sebagai bagian dari komunitas mereka. Pengungsi sering tinggal dalam kondisi yang kurang higienis dan padat, yang dapat menyebabkan krisis kesehatan dan penyebaran penyakit. Ketidakstabilan dan kurangnya akses ke layanan kesehatan yang memadai dapat memperburuk situasi dan mengancam kesejahteraan pengungsi dan masyarakat setempat.
Implikasi Politik bagi Negara-Negara Penerima
Kedatangan sejumlah besar pengungsi dapat menciptakan tekanan keamanan bagi negara-negara penerima. Perluasan wilayah dan ketidakstabilan internal negara asal pengungsi dapat memperumit upaya pemantauan dan penanganan potensi ancaman teroris atau kelompok bersenjata. Krisis pengungsi dapat menyebabkan gangguan diplomatik antara negara-negara penerima dan negara-negara asal pengungsi. Perbedaan pandangan dalam menangani krisis dapat memperburuk hubungan bilateral dan menghambat upaya kolaborasi dalam mencari solusi. Beberapa negara penerima dapat memanfaatkan krisis pengungsi untuk keuntungan politik.Â
Mereka dapat menggunakan isu pengungsi sebagai alat propaganda atau pemutarbalikan opini publik untuk memperkuat posisi politik mereka di tingkat nasional maupun internasional. Ketika negara-negara menerima sejumlah besar pengungsi, ini dapat menyebabkan ketegangan diplomatik dengan negara asal para pengungsi. Negara-negara asal bisa merasa tidak senang dengan langkah-langkah yang diambil oleh negara penerima dan merasa bahwa ini merupakan bentuk campur tangan dalam urusan dalam negeri mereka.Â
Penerimaan pengungsi dalam jumlah besar oleh satu negara dapat mempengaruhi dinamika keamanan dan politik di wilayah tersebut. Negara-negara tetangga mungkin merasa khawatir akan dampak pengungsi terhadap stabilitas regional dan bahkan meningkatkan ketegangan antara negara-negara tetangga. Penerimaan besar-besaran pengungsi dapat menyebabkan peningkatan sentimen anti-imigran di negara penerima. Ketakutan akan ekonomi terganggu dan identitas budaya yang berubah dapat memicu respons negatif dari sebagian masyarakat, yang mungkin merasa terancam oleh kehadiran pengungsi.
Analisis dari Perspektif Realisme
Perspektif realisme dalam hubungannya dengan krisis pengungsi Timur Tengah menyoroti peran kekuatan negara dalam menghadapi situasi ini. Teori realisme menekankan pada kepentingan nasional dan keamanan, serta kuasa dan persaingan antara negara-negara. Dalam konteks krisis pengungsi ini. Berdasarkan perspektif realisme, negara-negara penerima mungkin enggan melakukan intervensi militer di negara asal pengungsi. Alasan di balik hal ini adalah untuk menghindari konflik langsung dengan negara-negara di wilayah tersebut, yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional dan keamanan mereka.
Negara-negara penerima cenderung memprioritaskan kepentingan nasional mereka dalam menangani krisis pengungsi ini. Mereka mungkin membatasi jumlah pengungsi yang diterima agar tidak memberikan tekanan ekstra pada infrastruktur dan sumber daya mereka. Selain itu, mereka juga dapat mengamankan perbatasannya untuk mencegah pengungsi masuk secara tidak sah. Realisme menekankan pentingnya aliansi dan diplomasi antara negara-negara. Negara-negara penerima mungkin mencari dukungan dari negara-negara lain atau lembaga internasional untuk mengatasi krisis pengungsi.
Krisis pengungsi Timur Tengah juga dapat memicu kompetisi kekuatan regional di wilayah tersebut. Negara-negara dengan kepentingan yang berbeda-beda dapat berusaha memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat posisi mereka dan mempengaruhi perkembangan politik di negara-negara penerima. Perangkat realisme menyarankan bahwa negara-negara akan berusaha untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh mereka dalam persaingan geopolitik. Perspektif realisme menggarisbawahi bahwa ketidakstabilan di satu wilayah dapat menyebar dan mempengaruhi stabilitas di wilayah lain.Â
Krisis pengungsi Timur Tengah, yang telah menyebabkan pergerakan besar penduduk dan terganggunya keamanan, bisa menjadi pemicu ketidakstabilan regional yang lebih luas. Hal ini dapat menciptakan lingkaran setan, di mana ketidakstabilan di satu negara dapat menimbulkan dampak pada negara-negara tetangga dan sekitarnya. Dalam konteks krisis pengungsi ini, kekuatan global juga berperan dalam mengatasi krisis dan membantu negara-negara penerima. Negara-negara dengan kekuatan besar memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan dukungan kepada negara-negara yang menerima jumlah pengungsi yang besar.
Upaya Penyelesaian dari Perspektif Realisme
Dari perspektif realisme, upaya penyelesaian krisis pengungsi Timur Tengah akan cenderung mengutamakan kepentingan nasional dan keamanan negara-negara penerima. Beberapa langkah yang dapat diambil dalam menghadapi krisis ini adalah:
A. Diplomasi dan Negosiasi: Negara-negara penerima harus terlibat dalam diplomasi aktif dengan negara asal pengungsi untuk mencari solusi politik atas konflik yang menyebabkan krisis ini. Negosiasi politik yang berhasil dapat mengurangi aliran pengungsi dan membuka jalan bagi kembali pulang mereka ke negara asal.
B. Membangun Aliansi Regional dan Internasional: Negara-negara penerima perlu membangun aliansi regional dan internasional untuk mendukung upaya menangani krisis pengungsi. Kolaborasi dengan negara-negara lain dan lembaga-lembaga internasional dapat membantu dalam pemenuhan kebutuhan humaniter dan berbagi beban tanggung jawab.
C. Penguatan Kapasitas dan Infrastruktur: Negara-negara penerima harus meningkatkan kapasitas dan infrastruktur mereka untuk mengatasi beban pengungsi. Ini termasuk meningkatkan akses ke layanan kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal bagi pengungsi.
D. Program Pengembalian Sukarela: Dari perspektif realisme, negara-negara penerima dapat mendorong program pengembalian sukarela bagi pengungsi yang ingin kembali ke negara asal mereka setelah situasi di sana membaik.
E. Bantuan Kemanusiaan dan Dukungan Global: Negara-negara dengan kekuatan global harus memberikan bantuan kemanusiaan dan dukungan finansial kepada negara-negara penerima untuk membantu mengatasi krisis pengungsi ini.
Kesimpulannya, krisis pengungsi Timur Tengah memiliki implikasi humaniter dan politik yang kompleks bagi negara-negara penerima. Dalam perspektif realisme, negara-negara penerima akan berfokus pada kepentingan nasional dan keamanan, serta akan mencari dukungan dan aliansi regional dan internasional untuk mengatasi krisis ini. Diplomasi dan negosiasi politik dengan negara asal pengungsi menjadi kunci dalam mencari solusi jangka panjang.Â
Penguatan kapasitas dan infrastruktur negara-negara penerima juga penting untuk menghadapi beban pengungsi. Bantuan kemanusiaan dan dukungan finansial dari negara-negara dengan kekuatan global juga diperlukan untuk membantu mengatasi tantangan ini. Upaya kolaboratif dan berfokus pada penyelesaian akar masalah konflik di wilayah tersebut akan menjadi langkah-langkah penting dalam menangani krisis pengungsi Timur Tengah.
"Artikel ini sebagai salah satu syarat Tugas II Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional dengan Dosen Pengampu: Fadlan Muzakki, S.IP., M.Phil., LLM."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H