Rumah yang nyaman adalah impian semua orang. Dalam bentuk apa pun tidak hanya soal penampilan. Tetapi, hal itu biasa menjadi acuan. Rumah yang indah selalu menjadi perhatian. Soal kebersihan dan kerapian biasanya menjadi topik utama. Namun, bagaimana jika hal itu berkebalikan?
Matahari belum sepenuhnya tidur. Masih ada waktu untuk orang menikmati sorenya. Apa lagi ditambah obrolan yang seru menjadi pelengkap sore yang cerah ini.
Seperti halnya dengan ibu-ibu yang tengah duduk santai di depan teras. Mereka bercerita tentang keangkeran dari sebuah rumah. Sebuah bangunan yang seharusnya layak berpenghuni, tetapi malah terbengkalai dan menjadi topik menarik bagi orang-orang. Ya, seperti itulah yang aku dengar.
"Mari, Bu!" Aku menegur ibu-ibu itu.
Dari jalanan yang kulewati aku memang bisa mendengar percakapan ibu-ibu itu. Karena jarak rumah dengan jalanan tidak terlalu jauh.
"Iya, Mbak! Habis dari mana?" tanya salah satu dari ibu-ibu itu, Santi.
"Beli bakso tadi disuruh sama Ibu," jawabku.
Setelah saling menyapa aku pun melanjutkan perjalanan. Jarak dari tempat beli bakso ke rumah tidak jauh. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, makanya aku cuma berjalan kaki.
Sepanjang mata memandang lingkunganku dipenuhi dengan pepohonan. Aku memang tinggal di desa, tetapi bisa dibilang desaku ini tidak terlalu tertinggal. Fasilitas-fasilitas umum sudah memadai dan jaringan internet juga tidak terlalu buruk.
Aku memasuki rumah setelah melepas alas kakiku. Melihat tidak ada orang di dalam rumah, lantas membuatku penasaran. Kalaupun ibu pergi, kenapa pintu rumah tidak ditutup?
Kupanggil ibuku dengan suara lantang, tetapi tidak ada sahutan. Kemudian, aku pergi ke dapur dan tidak melihat siapa-siapa di sana.
"Ke mana, sih, Ibu?"
Aku masih memegang kantong plastik berisi bakso yang kubeli tadi. Aku pun menaruh bakso itu di atas meja makan, lalu pergi menuju ke kamar.
***
Malam telah tiba, aku pun bersiap-siap untuk melaksanakan kewajibanku. Ransel yang selalu menjadi teman pagiku kuambil dari tempatnya. Namun, suara bising yang berasal dari luar kamar membuatku menghentikan aktivitas.
"Loh? Ada Bulik to?"
"Apa ini Bulik?"
Plastik hitam yang tergeletak di meja tamu membuatku penasaran dengan isinya.
"Itu soto dari Bude Sri," jawab bulik Rati.
"Wah! Tadi pas lewat depan rumahnya Mbah Wiyo tiba-tiba ada yang lewat," cerita bulik Rati pada ibuku.
"Langsung tak rem, untung gak jatuh," lanjut bulik Rati.
"Lihat apa?" tanyaku.
"Kayak kucing tapi cepet banget jadi agak gak jelas."
"Lin! Jemput adik ngaji, ya?"
Aku yang masih duduk langsung berdiri, lalu mengambil kunci motor yang tergeletak di meja dekat televisi.
Gerimis menjadi teman perjalananku. Mumpung belum deras ku percepat laju motor agar cepat sampai ke ujung desa.
Seperti biasanya aku selalu merinding ketika melewati rumah Mbah Wiyo, rumah kosong yang dekat dengan gapura desa. Setiap orang yang keluar masuk desa pasti melewatinya. Entahlah, apa yang terjadi dengan keluarga itu sampai meninggalkan rumah besar itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H