Mohon tunggu...
T Hindarto
T Hindarto Mohon Tunggu... -

Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

MERENUNGKAN KEMBALI KEMERDEKAAN KITA

17 Agustus 2014   19:11 Diperbarui: 15 Mei 2016   09:48 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408252058929400283

Di sinilah kita kembali menemukan momentum untuk melanjutkan amaran Bung Karno yang disebut dengan “Revolusi Mental” yang kemudian menuai kontroversi akhir-akhir ini saat Joko Widodo menuliskan artikel mengenai konsepsi revolusi mental yang kemudian dituding sebagai karya plagiasi artikel Romo Benny[16].

Pada tanggal 17 Agustus 1962 silam, Presiden Soekarno menyampaikan pidato pada Hari Proklamasi dengan tema, “Tahun Kemenangan”. Pada saat itulah muncul pernyataan “revolusi belum selesai” dan “revolusi mental”. Saya kutipkan pidato tersebut sbb: “Kita juga dapat menamakan tahun 1949-1950 satu Tahun Kemenangan. Kita juga tidak dapat menyangkalnya dan tidak seorangpun mau menyangkalnya. Akan tetapi dapat segera saya tambahkan di sini, bahwa kemenangan tahun 1949 itu adalah satu kemenangan dari Revolusi phisik semata-mata, dan satu kemenangan yang kita peroleh dengan babak-belur, dédél-duwél, babak-bundas.

Revolusi kita pada waktu itu belum meliputi Revolusi Mental. Belum berpijak kepada Manipol-USDEK! Revolusi kita pada waktu itu belum merupakan benar-benar satu Revolusi Multicomplex, yang meliputi Revolusi phisik, Revolusi mental, Revolusi sosial-ekonomis, Revolusi kebudayaan. Revolusi kita pada waktu itu boleh dikatakan semata-mata ditujukan kepada mengusir kekuasaan Belanda dari Indonesia. Maka sesudah kekuasaan Belanda terusir, sesudah khususnya kekuasaan politik Belanda lenyap dari bumi Indonesia, menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang tidak mempunyai pegangan yang tertentu. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang oleh seorang fihak Belanda dinamakan "Een Revolutie op drift". Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang tanpa arah. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang penuh dengan dualisme. Menjadilah Revolusi kita satu Revolusi yang tubuhnya bolong-bolong dan dimasuki kompromis-kompromis dan penyeléwéngan-penyeléwéngan. Hampir-hampir saja kemenangan 1949 itu merupakan satu Kemenangan Bohong, satu Pyrrhus-overwinning, satu kemenangan sementara, satu kemenangan satu hari yang merupakan satu permulaan daripada Keruntuhan Total!”[17]

Bahkan jauh sebelumnya Pada Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956 Bung Karno sudah menyinggung-nyinggung istilah “Revolusi Mental” dengan menghubungkan tiga fase revolusi bangsa. Yudi Latif dalam artikelnya menuliskan, “Dua fase telah dilalui secara berhasil dan satu fase lagi menghadang sebagai tantangan. Indonesia telah melewati taraf physical revolution (1945-1949) dan taraf survival (1950-1955). Lantas ia menandaskan, ”Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan mental investment[18].

Darimana proses Revolusi Mental dimulai? Pertama, keluarga. Keluarga harus menjadi tempat penanaman nilai-nilai tentang keadilan, kejujuran, keberanian, kepahlawanan, kesetiakawanan, kearifan, kasih dan pengampunan. Jika setiap rumah tangga menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran maka akan terbentuk mental-mental yang menjauhi dan takut terhadap korupsi. Kedua, sekolah. Sekolah bukan hanya pabrik penghasil sumber daya bagi kepentingan pasar. Sekolah bukan lembaga formal pencerdasan intelektual belaka melainkan menjadi salah satu soko guru pembangunan mental menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaulat serta kompetitif. Jika kedua institusi ini memaksimalkan tugasnya menanamkan nilai-nilai yang membentuk mentalitas produktif dan konstruktif serta menjauhi sikap koruptif, maka tercapailah apa yang pernah digelorakan oleh Bung Karno dengan Tri Saktinya yaitu: Berdaulat secara politik, Berdikari secara ekonomi serta Berkepribadian dalam kebudayaan.

Kesenjangan sosial, kemiskinan struktural, ketidakadilan sosial yang tidak diatasi secara maksimal hanya akan menyuburkan benih-benih perlawanan dan pemberontakkan terhadap sistem yang terus menerus digelorakan oleh kelompok-kelompok radikal dan fundamentalisme agama. Kelompok-kelompok ini akan memainkan isyu tersebut menjadi kekuatan perjuangan mereka untuk merekrut banyak orang yang mengalami kesenjangan sosial, kemiskinan struktural, serta ketidakadilan sosial. Pada akhirnya nasionalisme dan keamanan nasional akan mengalami ancaman serius[19].

Di hari sakral ini, dimana bangsa dan seluruh rakyat Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan, marilah kita bersama-sama merenungkan kembali makna kemerdekaan yang telah diproklamirkan 69 tahun lalu. Persoalan-persoalan serius yang masih tersisa menjadi pekerjaan rumah bersama antara pemerintah dan seluruh elemen masyarakat Indonesia. Semua orde pemerintahan yang telah bekerja dan berganti-ganti telah mengupayakan “penyempurnaan masyarakat di seberangnya jembatan emas kemerdekaan” – meminjam istilah Bung Karno. Marilah kita bersama menjadi generasi baru yang terus menerus merevolusi mental dan tindakan kita untuk mencapai Indonesia sejahtera, berdaulat dan bermartabat serta berpengaruh pada percaturan dunia internasional sebagaimana ketika negeri ini bernama Nusantara.

Merdeka!


End Notes

[1]Daoed  Joesoef, Indonesia Tanah Airku, Kompas, 15 Agustus 2014, hal 6


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun