Mohon tunggu...
T Hindarto
T Hindarto Mohon Tunggu... -

Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

MERENUNGKAN KEMBALI KEMERDEKAAN KITA

17 Agustus 2014   19:11 Diperbarui: 15 Mei 2016   09:48 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408252058929400283

Kemerdekaan yang berhasil direbut dan diproklamasikan Soekarno dan Hatta sebagai wakil bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 terhadap pemerintahan Jepang yang sedang lemah akibat peledakkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, merupakan momentum dan jembatan emas menuju kemakmuran rakyat setelah mengalami kemerdekaan.  Kita diingatkan oleh pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 ketika Soekarno berkata,“Saudara-saudara, apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun '33 saya telah menulis risalah yang bernama 'Mencapai Indonesia merdeka'. Maka didalam risalah tahun'33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, polietieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan didalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat”[4].

Faktanya, kemerdekaan dan kekayaan alam yang berhasil dikuasai negara sebagai representasi rakyat Indonesia, belum dapat mendatangkan kesejahteraan secara menyeluruh bagi rakyat Indonesia.

Hari ini, bangsa Indonesia sudah genap memasuki 69 tahun kemerdekaan. Gegap gempita berbagai ritual dan perayaan mulai dari perayaan kenegaraan berupa upacara penaikkan bendera hingga tepuk sorak dan tawa sukaria lomba-lomba di tiap-tiap lingkungan rumah masyarakat kita. Namun apa yang pernah diperjuangkan Soekarno dalam artikel-artikel yang dibuatnya sejak tahun 1920-an semakin jauh dari idealita dan cita-cita. Beliau memberikan pernyataan profetik, “Dan sjarat jang pertama untuk menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme? Sjarat jang pertama ialah: kita harus merdeka. Kita harus merdeka agar supaja kita bisa leluasa bertjantjut-tali-wanda menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme[5].

Kapitalisme disatu sisi memang memberikan keuntungan bagi dunia karena melaluinyalah kita dapat melihat kemajuan dan peradaban, pembangunan gedung-gedung, pengembangan pendidikan, perkembangan teknologi dan informasi. Alm DR. J. Verkuyl mengatakan, “Tetapi barang siapa hendak menjusun daftar-daftar dosa kapitalisme, hendaklah djangan lupa, bahwa sekalipun banyak tjajat dan kekurangan sistem itu, namun dia dipakai untuk memperkembangkan kemungkinan-kemungkinan ekonomi dalam alam jang didjadikan (Tuhan) ini[6].

Namun kapitalisme tetap mengandung sejumlah dosa dan kelemahan. DR. J. Verkuyl mencatat ada enam dosa Kapitalisme yaitu: (1) Terjadinya Mamonisme atau pemberhalaan uang dan modal (2) Pemusatan kekuasaan pada pemegang modal besar (3) Memberikan keuntungan pada orang-orang yang berkuasa dibidang ekonomi (4) Orientasi berpusat bukan pada apa yang diproduksi melainkan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari apa yang diproduksi sekalipun yang diproduksi tidak memiliki kualitas (5) Mencari untung dengan tanpa bekerja cukup dengan mempermainkan saham yang dimiliki pemodal besar dalam suatu perusahaan (6) Pencemaran kerja yaitu upah buruh tidak setimpal dengan pekerjaan yang dilakukannya[7]. Ir. Soekarno menyitir pendapat Brailsford yang dengan sinis mengritik pernyataan bahwa Kapitalisme mendatangkan keuntungan dengan mengatakan, “Anugerah-anugerah pendidikan, kemadjuan dan aturan-aturan bagus jang ia bawa itu hanjalah rontokan-rontokan sahadja dari ia punya keasjikan tjari rezeki jang angkara-murka itu?[8]

Kapitalisme tidak berhasil ditundukkan. Apa yang diistilahkan Bung Karno dengan “stelsel kapitalisme dan imperalisme” nyatanya semakin menjadi-jadi. Dalam sebuah ulasan dikatakan, “Kita jangan cepat merasa besar kepala, gemuruh pembangunan ekonomi Indonesia memang mengesankan, bayangkan ketika ekonomi AS dan Eropa sedang terhuyung-huyung, ekonomi Indonesia justru tumbuh 6,3 persen, Tak hanya itu, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia nyaris mencapai Rp 8000 trilyun. Inflasi ditekan rendah hingga 4,3 persen. Hanya dalam delapan tahun, pendapatan perkapita telah meningkat dari USD1.110 (2004) menjadi USD3.500 (2012), tapi sebuah ironi besar juga menghampar di hadapan kita. Gini Rasio, yang mengukur tingkat kesenjangan pendapatan, juga meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir: dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2011).

Bersamaan dengan itu, kekayaan atau kue ekonomi makin terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Tahun 2012 lalu Forbes melansir kekayaan para Taipan Indonesia. Dikatakan, harta 40 orang terkaya mencapai Rp 850 Triliun atau setara dengan 10 persen PDB kita. Perkumpulan Prakarsa menyimpulkan, kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin. Sementara kekayaan 43 ribu orang terkaya di Indonesia setara akumulasi kepemilikan 60% penduduk atau 140 juta orang. Konsentrasi kekayaan itu juga termasuk penguasaan tanah. Indeks Gini kepemilikan tanah juga meningkat tajam: dari 0,50 (1983) menjadi 0,72 (2003). Konsentrasi kepemilikan aset juga meningkat: 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset di tanah air. Artinya, aset nasional bangsa ini hanya dikangkangi oleh 440 ribu orang.

Model pembangunan ekonomi sekarang juga menciptakan kesenjangan pembangunan antar daerah. Kawasan barat Indonesia (Jawa dan Sumatera) menguasai 82 persen PDB nasional, sedangkan kawasan timur (Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara dan Maluku) hanya menguasai 18 persen”[9].Stelsel kapitalisme yang ditandai oleh kepemilikkan modal besar pada sekelompok orang semakin menjadi-jadi.

Angka kemiskinan memang berhasil diturunkan dari 32,53 juta jiwa atau 14,15% (2009) menjadi 28,28 juta jiwa atau 11,25%, namun kesenjangan sosial cenderung melebar. Rasio gini tahun 2009 sebesar 0,37% dan meningkat menjadi 0,41% tahun 2012[10].

Para petani tetap merugi dan tidak kunjung mengalami peningkatan ekonomi karena impor pangan masih tetap tinggi. “Badan Pusat Statistik mencatat nilai impor produk pertanian melonjak 346% atau empat kali lipat, selama periode 2003-2013. Laju pertumbuhan impor tersebut jauh melampaui laju pertumbuhan penduduk selama satu dekade. Faktor penyebabnya adalah menyusutnya lahan pertanian dari 5 juta hektare menjadi 26 juta hektare selama kurun waktu 10 tahun”,demikian Editorial Media Indonesia menuliskan[11]. Mengapa lahan pertanian semakin menyusut? Karena petani menjual lahan pertanian dan berubah menjadi lahan industri dan perumahan yang digerakkan oleh kekuatan pemodal besar. Petani menjual lahan pertanian dan beralih profesi menjadi buruh, berdagang karena hasil dari pertanian tidak memberi keuntungan secara signifikan sebagaimana dikatakan oleh Iswadi, “Kurang menariknya pendapatan yang diperoleh dari usaha padi dan palawija telah memacu penurunan jumlah rumah tangga usaha produksi bahan makanan pokok tersebut”[12]

Kemerdekaan hanya akan mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, hanya jika kita tidak semata-mata mengandalkan kekayaan sumber daya alam yang ada di laut dan daratan belaka. Jiwa-jiwa bangsa yang telah mengalami kemerdekaan dengan mental mengabdi bagi negeri, mental melayani kepentingan orang banyak, mental membangun kejayaan bangsa, merekalah yang akan mampu mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Bagaimana akan terjadi kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia jika para wakil rakyat dan pemimpin daerah yang memiliki kekuasaan legitimatif terhadap sumber-sumber daya alam di darat dan di lautan, justru melegalkan dan melestarikan mental koruptif? Sejak diberlakukannya sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung, telah tercatat dari 504 kepala daerah, ada 304 kepala daerah tersangkut kasus korupsi[13]. Sejak tahun 2005 tercatat telah terlibat sebanyak 3.169 kasus korupsi dilakukan oleh anggota DPRD[14]. Kitapun masih teringat hangatnya berita dimana hampir seluruh DPRD Papua tersangkut kasus korupsi berjamaah[15].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun