Mohon tunggu...
T Hindarto
T Hindarto Mohon Tunggu... -

Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Resensi Buku "Revolusi dari Desa"

26 November 2014   02:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:51 1529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416919048624922090

Judul Buku:

Revolusi Dari Desa

Penulis:

DR. Yansen TP., M.Si

Penerbit:

PT. Elex Media Komputindo

Tahun:

2014

Perhatian pemerintah terhadap desa telah dituangkan secara legal formal melalui sejumlah produkundang-undang desa yang telah mengalami berbagai perubahan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dan mulai tahun 2015 akan diberlakukan undang-undang desa yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.

Khususnya undang-undang produk rejim Reformasi memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan produk undang-undang sebelumnya yaitu memberikan ruang bagi pemerintahan daerah dan desa khususnya untuk melakukan pembangunan berdasarkan partisipasi masyarakat (bottom up). Terlebih lagi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dimana produk undang-undang ini memberikan aturan mengenai alokasi dana APBN untuk desa yang diambil dari 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (Pasal 72 point 1,4) yang besarannya bisa sekitar 1 miliar. Nantinya 72.000 desa di Indonesia akan mendapatkan alokasi dana tersebut per tahunnya. Keunggulan lainnya adalah melibatkan peran masyarakat dalam proses pembangunan yang diatur pada Pasal 55 mengenai Badan Permusyawaratan Desa dimana point b diatur mengenai “menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa” dan point c mengenai “melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa”.

Persoalan yang tersisa adalah, apakah dana miliaran tersebut akan efektif menghasilkan pembangunan yang berdampak kesejahteraan bagi masyarakat desa jika desa (struktur pemerintahan desa) tersebut tidak memiliki kompetensi dibidang manajemen keuangan dan pengelolaan alokasi dana? Tanpa kompetensi berupa manajemen keuangan dan pengetahuan proses pembukuan yang baik maka akan mengakibatkan salah kelola keuangan yang mengakibatkan berpindahnya perilaku korupsi dari masyarakat urban ke masyarakat rural.

Buku karya Yansen TP, Msi dengan judul “Revolusi dari Desa” bisa menjadi rujukan bagi kepala daerah dan elemen-elemen pemerintahan desa serta aktifis masyarakat untuk melakukan proses pembangunan yang menitikberatkan lokus pedesaan dan pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat serta pemberdayaan kompetensi struktur pemerintahan desa untuk mengelola alokasi dana yang diperuntukkan untuk desa.

Buku setebal 180 halaman plus beberapa foto yang merekam aktifitas penulisnya yang juga memiliki jabatan fungsional sebagai Bupati Malinau, Kalimantan Timur periode 2011-2016, ini memberikan sejumlah gagasan konstruktif yang didasarkan latar belakang teoritis dan pembuktian aplikatif mengenai apa dan bagaimana melalukan proses pembangunan desa dengan paradigma baru yaitu melibatkan partisipasi masyarakat dan bukan melulu melinatkan tindakan struktural pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah terhadap desa.

Bab Pertama mengulas mengenai gugatan terhadap paradigma pembangunan yang selama ini diberlakukan di hampir seluruh wilayah pedesaan di Indonesia yang hanya menitikberatkan tindakan pemerintahan yang menghasilkan pola top down melalui paradigma pembangunan pertumbuhan (growth paradigm) dan pembangunan pemerataan (generalization paradigm) yang tidak mengubah angka kemiskinan di pedesaan secara signifikan (hal 9-10). Yansen mengusulkan menganut perubahan paradigma pembangunan yang berpusat pada sumber daya manusia yang menghasilkan paradigma partisipasi masyarakat (partisipative approach). Melalui paradigma ini terjadi sinergi antara pemerintah pusat dan daerah untuk menempatkan fungsinya sebagai fasilitator dan penjamin berfungsinya aktifitas pembangunan yang demokratis (hal 10-11). Lebih jauh, paradigma pembangunan partisipasi masyarakat ini menghasilkan konsepsi tentang GERDEMA yang merupakan kependekan dari “Gerakan Desa Membangun”. Konsepsi GERDEMA berfokus pada, “…perlunya pelibatan masyarakat dalam pembangunan. Bahkan pemerintah harus memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan…GERDEMA adalah paradigma baru dalam pembangunan. Konsepsi GERDEMA memiliki cara pandang yang spesifik dan fokus terhadap desa” (hal 12-13).

Bab Dua mengulas mengenai manajemen pembangunan Kabupaten Malinau yang dimulai dari penjelasan visi dan misi sebagai bagian normatif umum sebagai pijakan untuk melakukan pembangunan dan melakukan pengukuran terhadap hasil pembangunan tersebut. Pada bagian ini diulas pula mengenai empat pilar pembangunan Kapupaten Malinau yang meliputi: Pembangunan infrastruktur daerah, membangun sumber daya manusia, membangun ekonomi daerah melalui sektor ekonomi kerakyatan, membangun sektor pemerintahan (hal 23-24). Yang menarik mengenai ulasan membangun sumber daya manusia, Yansen TP merujuk pada pendapat Grindle menekankan keseimbangan dalam peningkatan sumber daya manusia bukan hanya di wilayah birokrasi pemerintahan namun sekaligus peningkatan sumber daya manusia di sektor swasta dan masyarakat (hal 26). Dalam bab ini diulas juga mengenai tiga komitmen pembangunan Kabupaten Malinau yang merupakan “penajaman visi” (hal 34) yang meliputi: Mewujudkan Malinau sebagai Kabupaten Pariwisata, membangun sektor pertanian melalui revitalisasi, mewujudkan RSUD sebagai rumah sakita rujukan (hal 34-39). Komitmen pembangunan di sektor-sektor tersebut tentunya mempertimbangkan kondisi sosial dan potensi lingkungan setempat yang tidak bisa begitu saja diterapkan di wilayah lain namun dapat mendorong wilayah lain untuk menemukan potensi sosial dan potensi alam yang layak dikembangkan menjadi sebuah kekuatan perubahan.

Bab Tiga berisikan landasan teoritis teknis berkaitan dengan konsepsi “Revolusi dari Desa”. Yansen mengulas tiga alasan penggunaan terminologi “Revolusi dari Desa” yaitu: Perlunya penggabungan konsep pembangunan dengan pendekatan top-down dan bottom-up, keterlibatan kebijakkan pembangunan desa mulai dari jajaran pejabat politik, pejabat karir, pejabat birokrasi dengan melibatkan peran serta masyarakat, perlunya dukungan dana yang memadai dari pemerintahan pusat maupun daerah (hal 41-43). Didasarkan tiga alasan tersebut dimulailah berbagai tindakan revolutif yang meliputi: Revolusi dalam hal penerapan konsep pembangunan, revolusi penyerahan urusan teknis dari daerah ke desa, revolusi dalam hal konsistensi dari formulasi, implementasi hingga evaluasi kebijakkan pembangunan desa, revolusi dalam pengelolaan dana pembangunan, revolusi dalam pelaksanaan otonomi penuh di desa (hal 45).

Yansen menguraikan konsep pembangunan Malinau melalui Gerdema meliputi: Membangun Malinau dari desa, filosofi pembangunan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, desa sebagai titik pusat perhatian (fokus) dan tempat gerakan (lokus) pembangunan (hal 46-58). Pemusatan pembangunan dari desalah yang membedakan konsep pembangunan Malinau dengan wilayah lainnya sebagaimana dikatakan: “GERDEMA menjadikan desa sebagai pusat aktivitas pemerintahan, kegiatan pembangunan dan pelayanan publik. Pemerintah Kabupaten Malinau membangun dan membentuk sumber daya manusia desa, menyerahkan berbagai urusan kepada desa dan menyediakan dana untuk dikelola desa dengan nominal sebesar Rp 1,2 miliar pada 2014. Pemda juga memberikan kesempatan secara luas kepada desa untuk menggali sumber pendapatan asli desa untuk kepentingan desa mereka” (hal 57).

Berkaitan dengan pembangunan yang difokuskan pada desa, Yansen mengembangkan beberapa langkah strategis sbb: Percaya penuh pada masyarakat, pelimpahan urusan pada pemerintahan desa, membina dan melatih aparatur desa, pendampingan pemerintah dan masyarakat desa (hal 73-75).

Bab Empat menitik beratkan kebijak kepemimpinan baik itu kepemimpinan yang berada pada level kebijakkan (policy level) yang dalam hal ini diwakili oleh kepala daerah dan DPRD dan di level manajerial (managerial level) yang dalam hal ini diwakili oleh sekretaris daerah dan kepala SKPD (satuan kerja perangkat daerah) serta level operasional (operational level). Menurut Yansen, “Berdasarkan tingkatan-tingkatan ini, diperlukan pemimpin-pemimpin yang kompeten dan terampil sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diembannya. Pemimpin yang diperlukan adalah mereka yang memiliki loyalitas tanpa batas dalam mengabdi kepada masyarakat dan daerah” (hal 86). Pola kepemimpinan diperlukan untuk mensukseskan konsep dan program GERDEMA. Ada tiga prinsip kepemimpinan untuk menyukseskan program GERDEMA yaitu: Pembangunan harus mencerminkan identitas kebutuhan masyarakat, pembangunan dilakukan oleh masyarakat, hasil pembangunan dinikmati oleh masyarakat (hal 89).

Bab Lima menekankan hubungan yang sinergis antar lembaga pemerintahan desa. Menurut Yansen, “Hubungan antar lembaga merupakan nilai yang sangat mendasar dalam keberhasilan Gerakan Desa Membangun. Aktivitas kelembagaan inilah yang memberi nilai kuat dalam kegiatan membangun masyarakat desa” (hal 104). Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 struktur organisasi pemerintahan desa meliputi:

1.Badan Permusyawaratan Desa

2.Kepala Desa

3.Sekretariat Desa

4.Seksi-seksi (Kepala Urusan):


  • Seksi (Kaur) Pemerintahan
  • Seksi (Kaur) Pemberdayaan Masyarakat
  • Seksi (Kaur) Pelayanan dan Pemeliharaan Prasarana
  • Seksi (Kaur) Ketentraman dan Ketertiban
  • Seksi (Kaur) lainnya

Melalui program GERDEMA, Yansen berupaya menjadikan lembaga-lembaga tersebut fungsional satu sama lain dan bekerjasama secara sinergis sebagaimana dikatakan, “GERDEMA akan menjadikan setiap pemerintahan desa mampu berfungsi seperti yang disyaratkan dalam Undang-Undang sebelumnya yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang terbaru, Nomor 6 Tahun 2014” (hal 109).

Bab Enam membahas perihal mekanisme dan keberhasilan GERDEMA yang meliputi: Indikator keberhasilan GERDEMA, Nilai capaian GERDEMA, Pilar kebangsaan sebagai capaian yang utuh dari GERDEMA, sistem dan mekanisme pelaksanaan GERDEMA, mekanisme pelaksanaan keuangan GERDEMA, pengawasan dana GERDEMA(hal 113-114).

Indikator keberhasilan GERDEMA dibuktikan melalui terwujudnya beberapa hal berikut (hal 115-136) yaitu:

1.Terwujudnya proses penyelenggaraan pemerintahan desa

2.Terwujudnya penyelenggaraan pembangunan di desa yang meliputi aktivitas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi serta pelaporan

3.Terwujudnya proses penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan umum kepada masyarakat desa

Yansen menguraikan adanya 13 nilai ideal (hal 116-146) yang harus dicapai melalui program GERDEMA yaitu:


  1. Tumbuh dinamisnya partisipasi masyarakat yang tulus, bersih dan berkomitmen dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa
  2. Tumbuh dan berkembangnya demokrasi di desa
  3. Tumbuh dinamisnya kepemimpinan di desa
  4. Terwujudnya transparnsi di desa
  5. Terwujudnya efisiensi di desa
  6. Terwujudnya efektivitas di desa
  7. Terbangunnya budaya swadaya di desa
  8. Tumbuhnya prinsip pemberdayaan di desa
  9. Terbangunnya budaya dan perilaku keberpihakkan kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu secara sosial dan ekonomi
  10. Bertumbuhnya budaya dan perilaku inovatif di desa
  11. Bertumbuhnya sektor produksi di desa
  12. Terbangunnya perilaku bertanggung jawab dari para pemangku kepentingan dan masyarakat desa
  13. Terwujudnya prinsip dan nilai keadilan dalam masyarakat desa

Dengan mekanisme pilar kebangsaan sebagai sasaran utama GERDEMA dikatakan, “Gerakan Desa Membangun (GERDEMA) sebagai model pembangunan bertujuan mengembalikan nilai-nilai luhur tersebut. Nilai asli yang tumbuh di masyarakat yang dipolakan secara sistematis. Nilai kebaikan seperti ramah tamah, toleransi, kekeluargaan, musyawarah dan gotong royong dikembalikan rohnya ke tempat sebagaimana mestinya. GERDEMA menghadirkan kembali nilai dan perilaku tersebut, di tengah masyarakat desa” (hal 147-148)

Mengenai sistem dan mekanisme pelaksanaan GERDEMA ditampilkan contoh kasus penggodokan dan perumusan kebutuhan desa yang diproses melalui mekanisme keterlibatan masyarakat, pemerintahan desa, pemerintahan kecamatan , pemerintahan kabupaten melalui tahapan berikut: Pra- Musrenbangdes, Musrenbangdes, Musrenbangcam, Musrenbang Kabupaten, fungsi pengawasan, umpan balik (hal 150-155).

Demikian pula dengan mekanisme pelaksanaan keuangan GERDEMA dan pengawasan dana GERDEMA memerlukan keterlibatan semua pihak beserta kompetensi dan fungsionalitasnya masing-masing akan mekanisme pelaksanaan dan pengawasan dana dapat dikerjakan sebagaimana mestinya. Kegiatan pengawasan dilakukan baik secara internal maupun eksternal (hal 159) agar mencapai hasil yang maksimal.

Bab Tujuh yang merupakan bab terakhir memberikan hasil pengukuran dan perbedaan signifikan ketika pemerintahan kabupaten belum mengadopsi konsep GERDEMA dan sesudah melaksanakan konsep tersebut. Ada 12 indikator kerja (hal 164) yang dipergunakan untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan konsep tersebut dilapangan yang meliputi:

1.Perencanaan desa

2.Alokasi dana yang langsung dikelola desa

3.Sumber pendapatan desa

4.Kinerja aparatur

5.Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan desa

6.Peran dan hubungan antar lembaga desa

7.Pertanggungjawaban keuangan desa

8.Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan

9.Dampak kebijakkan

10.Percepatan pembangunan desa (infrastruktur, SDM, ekonomi kerakyatan dan reformasi birokrasi)

11.Pola pikir aparat kecamatan dan kabupaten

12.Prinsip penyusunan APBD

Ke-12 indikator di atas ditampilkan oleh Yansen melalui data tabel dari periode 2012 dan 2013. Kita ambil contoh indikator kedua berupa “alokasi dana yang langsung dikelola desa”. Dalam Tabel 1 diuraikan bahwa sebelum program GERDEMA dilaksanakan, alokasi dana yang diterima dan dikerjakan desa hanya berkisar 200-500 juta/pertahun namun setelah program GERDEMA dilaksanakan terjadi peningkatan kepercayaan pemerintah untuk mempercakan pengelolaan keuangan kepada masyarakat hingga mencapai 1,2 milair – 1,3 miliar pertahun (hal 165). Demikian pula indikator ke-8 mengenai “partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan” diperoleh perbedaan signifikan. Jika sebelum program GERDEMA dilaksanakan, masyarakat mengalami partisipasi pembangunan yang rendah dengan dukungan dana yang minim dan tingginya intervensi pemerintah kabupaten dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan sehingga bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Namun setelah program GERDEMA dilaksanakan maka partisipasi masyarakat meningkat dikarenakan dukungan dana besar. Berbagai program yang dikerjakan berasal dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Hasil MONEV menyatakan bahwa 74,05% masyarakat telah terlibat dalam pelaksanaan model GERDEMA (hal 167).

Demikianlah keseluruhan pembahasan dalam buku “Revolusi Desa”. Nilai lebih pembahasan dalam buku ini berangkat dari sebuah pengalaman yang terukur dengan dilandasi sejumlah landasan teoritis mengenai makna dan redefinisi proses pembangunan oleh seorang yang langsung melakukan tugas dan jabatan fungsional sebagai seorang kepala daerah kabupaten.

Namun demikian buku ini memiliki sejumlah kelemahan dikarenakan sejumlah kajian dan analisis di dalamnya kurang memberikan ruang analisis dari perspektif sosiologis melainkan lebih ke pendekatan manajemen pembangunan. Setidaknya sejumlah isyu dan problem sosial seperti kemiskinan dan pengangguran di Kabupaten Malinau dapat diulas dari perspektif sosiologis untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kemiskinan yang terjadi apakah dikarenakan oleh kemiskinan struktural, kemiskinan natural, kemiskinan kultural.

Revrisond Baswier menjelaskan kemiskinan berdasarkan penyebabnya yaitu kemiskinan natural, kemiskinan kultural serta kemiskinan struktural. Menurutnya, “Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan alamiah, baik pada segi sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor kebudayaan yang menyebakan terjadinya proses pelestarian kemiskinan di dalam masyarakat itu. Sementara, kemiskinan sruktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakkanperekonomian yang tidak adil, penguasaan faktor-faktor produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan perekonomian international ayng lebih menguntungkan negara tertentu” ( Revrisond Baswir, Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 2003:18).

Kelemahan lainnya adalah “repetisi” alias pengulangan materi yang bertumpang tindih dan terselip disejumlah bab dan sub bab sehingga cenderung menjenuhkan. Tumpang tindihnya materi-materi yang mengalami “repetisi” diperberat dengan sejumlah point-point yang bersifat “ideal type” yang dibagi menjadi beberapa pokok-pokok pembahasan yang bersifat teknis.

Di atas semuanya, buku ini merupakan buku yang bersifat “break through” (terobosan) karena memberikan kajian dan aplikasi pembangunan yang berpusat dari desa sesuai amaran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 jauh sebelum undang-undang tersebut menjadi pedoman normatif. Buku ini layal dibaca oleh para pemangku kepentingan di pemerintahan maupun para aktifis sosial kemasyarakatan untuk menjadikan buku ini referensi pembanding bagaimana sebuah keberhasilan pembangunan desa telah dimulai di Kabupaten Malinau sebagaimana Yansen sendiri mengarahkan hasil tulisannya ini, “…menjadi panduan bagi semua stake holder, terutama seluruh Pegawai Negeri Sipil pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (PNS SKPD), Pemerintah Desa (BPD, LPMD, Lembaga Ekonomi Desa, Lembaga Adat, PKK Desa), masyarakat, para wiraswasta dan para pemangku kepentingan lainnya bahkan berbagai pihak yang ingin memahami dan belajar tentang bagaimana membangun desa secara tepat” (hal 15).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun