Mohon tunggu...
T Hindarto
T Hindarto Mohon Tunggu... -

Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Resensi Buku "Revolusi dari Desa"

26 November 2014   02:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:51 1529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416919048624922090

3.Sumber pendapatan desa

4.Kinerja aparatur

5.Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan desa

6.Peran dan hubungan antar lembaga desa

7.Pertanggungjawaban keuangan desa

8.Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan

9.Dampak kebijakkan

10.Percepatan pembangunan desa (infrastruktur, SDM, ekonomi kerakyatan dan reformasi birokrasi)

11.Pola pikir aparat kecamatan dan kabupaten

12.Prinsip penyusunan APBD

Ke-12 indikator di atas ditampilkan oleh Yansen melalui data tabel dari periode 2012 dan 2013. Kita ambil contoh indikator kedua berupa “alokasi dana yang langsung dikelola desa”. Dalam Tabel 1 diuraikan bahwa sebelum program GERDEMA dilaksanakan, alokasi dana yang diterima dan dikerjakan desa hanya berkisar 200-500 juta/pertahun namun setelah program GERDEMA dilaksanakan terjadi peningkatan kepercayaan pemerintah untuk mempercakan pengelolaan keuangan kepada masyarakat hingga mencapai 1,2 milair – 1,3 miliar pertahun (hal 165). Demikian pula indikator ke-8 mengenai “partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan” diperoleh perbedaan signifikan. Jika sebelum program GERDEMA dilaksanakan, masyarakat mengalami partisipasi pembangunan yang rendah dengan dukungan dana yang minim dan tingginya intervensi pemerintah kabupaten dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan sehingga bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Namun setelah program GERDEMA dilaksanakan maka partisipasi masyarakat meningkat dikarenakan dukungan dana besar. Berbagai program yang dikerjakan berasal dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Hasil MONEV menyatakan bahwa 74,05% masyarakat telah terlibat dalam pelaksanaan model GERDEMA (hal 167).

Demikianlah keseluruhan pembahasan dalam buku “Revolusi Desa”. Nilai lebih pembahasan dalam buku ini berangkat dari sebuah pengalaman yang terukur dengan dilandasi sejumlah landasan teoritis mengenai makna dan redefinisi proses pembangunan oleh seorang yang langsung melakukan tugas dan jabatan fungsional sebagai seorang kepala daerah kabupaten.

Namun demikian buku ini memiliki sejumlah kelemahan dikarenakan sejumlah kajian dan analisis di dalamnya kurang memberikan ruang analisis dari perspektif sosiologis melainkan lebih ke pendekatan manajemen pembangunan. Setidaknya sejumlah isyu dan problem sosial seperti kemiskinan dan pengangguran di Kabupaten Malinau dapat diulas dari perspektif sosiologis untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kemiskinan yang terjadi apakah dikarenakan oleh kemiskinan struktural, kemiskinan natural, kemiskinan kultural.

Revrisond Baswier menjelaskan kemiskinan berdasarkan penyebabnya yaitu kemiskinan natural, kemiskinan kultural serta kemiskinan struktural. Menurutnya, “Kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan alamiah, baik pada segi sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor kebudayaan yang menyebakan terjadinya proses pelestarian kemiskinan di dalam masyarakat itu. Sementara, kemiskinan sruktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakkanperekonomian yang tidak adil, penguasaan faktor-faktor produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan perekonomian international ayng lebih menguntungkan negara tertentu” ( Revrisond Baswir, Pembangunan Tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 2003:18).

Kelemahan lainnya adalah “repetisi” alias pengulangan materi yang bertumpang tindih dan terselip disejumlah bab dan sub bab sehingga cenderung menjenuhkan. Tumpang tindihnya materi-materi yang mengalami “repetisi” diperberat dengan sejumlah point-point yang bersifat “ideal type” yang dibagi menjadi beberapa pokok-pokok pembahasan yang bersifat teknis.

Di atas semuanya, buku ini merupakan buku yang bersifat “break through” (terobosan) karena memberikan kajian dan aplikasi pembangunan yang berpusat dari desa sesuai amaran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 jauh sebelum undang-undang tersebut menjadi pedoman normatif. Buku ini layal dibaca oleh para pemangku kepentingan di pemerintahan maupun para aktifis sosial kemasyarakatan untuk menjadikan buku ini referensi pembanding bagaimana sebuah keberhasilan pembangunan desa telah dimulai di Kabupaten Malinau sebagaimana Yansen sendiri mengarahkan hasil tulisannya ini, “…menjadi panduan bagi semua stake holder, terutama seluruh Pegawai Negeri Sipil pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (PNS SKPD), Pemerintah Desa (BPD, LPMD, Lembaga Ekonomi Desa, Lembaga Adat, PKK Desa), masyarakat, para wiraswasta dan para pemangku kepentingan lainnya bahkan berbagai pihak yang ingin memahami dan belajar tentang bagaimana membangun desa secara tepat” (hal 15).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun