Mohon tunggu...
Shely Andini Kumalaningtyas
Shely Andini Kumalaningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi S1

Saya merupakan mahasisa Psikologi S1, saya tertarik di bidang psikologi khususnya membahas mengenai mental health.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Forgiveness dan Gratitude: Berdamai dengan Diri Sendiri Menciptakan Psychological Well-Being

16 Juni 2022   10:40 Diperbarui: 16 Juni 2022   10:49 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan manusia tidak selalu berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang diharapkannya, banyak sekali tantangan dan suka duka yang dihadapi setiap harinya. Individu mempunyai banyak sekali peristiwa yang terjadi di kehidupannya, ada peristiwa yang menyenangkan sampai tak terlupakan dan ada juga peristiwa yang mengecewakan sampai membekas dan menyebabkan kesehatan mentalnya terganggu. Tidak sedikit individu yang kualitas pada psychological well-being menurun dan disebabkan oleh permasalahan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Jika psychological well-being individu rendah, perlu dilakukan upaya guna meningkatkan psychological well-being. Psychological well-being individu rendah tidak hanya berpengaruh untuk dirinya sendiri, tetapi juga berpengaruh untuk bagaimana mereka berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain. Hubungan dan interaksi dengan orang lain sangat penting, terlebih karena manusia merupakan makhluk sosial.

Apa itu psychological well-being?

Menurut Ryff & Keyes, 1989 (dalam Yuliani, 2018), psychological well-being adalah suatu situasi pada individu yang mempunyai kemampuan untuk menentukan keputusan hidupnya secara mandiri, dapat menguasai lingkungan sekitarnya secara efektif, mempunyai hubungan positif dengan orang lain, dapat menentukan tujuan hidupnya, dan dapat menerima dirinya secara positif, serta mengembangkan potensi diri yang mereka miliki.

Individu juga harus mempunyai motivasi untuk menemukan makna hidup yang mereka miliki agar mempunyai kebahagiaan dan kesejahteraan atas hidup yang dijalaninya. Menurut Coob mengungkapkan bahwa dukungan sosial yang dimiliki oleh individu yang berasal dari orang tua, sahabat, dan lingkungan sosialnya dengan menerima dan menyayanginya merupakan faktor penting dari psychological well-being individu.

Lalu, apa cara lain untuk meningkatkan psychological well-being?

Tidak hanya itu saja, forgiveness juga salah satu cara untuk meningkatkan psychological well-being individu. Forgiveness merupakan koping yang berfokus pada emosi dan berfungsi untuk mengubah emosi negatif menjadi emosi positif dengan memaknai kembali suatu peristiwa yang terjadi. Permasalahan yang sering terjadi dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan memaafkan adalah memaafkan orang lain dan memaafkan diri sendiri. Memaafkan merupakan suatu hal yang tidak mudah dan menjadi tantangan besar untuk setiap individu. Memaafkan juga memerlukan ketabahan dan kebesaran hati untuk melakukannya. Perihal memaafkan tidak selalu tentang "aku" dan "kamu", tetapi tentang "aku" dan "diriku sendiri".

Memaafkan itu membutuhkan waktu dan proses yang sangat panjang. Jika individu sudah memutuskan untuk memaafkan suatu peristiwa atau orang yang mengecewakannya, dapat disimpulkan bahwa individu tersebut sudah dapat menerima keadaan dan berdamai dengan dirinya sendiri untuk melawan ego yang dimilikinya.

"Walaupun kita sudah memaafkan, bukan berarti kita dapat dengan mudah melupakan peristiwa atau orang yang mengecewakan kita."

Terkadang, kita sering kali berpikir bahwa ketika orang lain membuat kesalahan dan menyakiti dirinya, orang tersebut harus meminta maaf. Jika orang tersebut tidak meminta maaf, kita tidak akan memaafkannya dan menyimpan dendam dalam kurun waktu yang lama. Hal tersebut yang menyebabkan mental kita tidak sehat, mengapa? Karena secara tidak langsung, kita membebani pikiran kita dengan mindset yang salah. Kita membiarkan mindset yang kita miliki untuk mengubah segalanya dan menguasai diri kita sendiri. Jika kita selalu berpikir bahwa orang lain harus lebih dulu meminta maaf ketika berbuat salah, lambat laun kita akan menjadi orang yang pemarah, pendendam, mempunyai ego yang tinggi, sombong, tinggi hati, dan keras kepala. Dampaknya sangat buruk bukan untuk kepribadian kita?

Meminta maaf itu memang sulit dan sangat sulit, terlebih jika kita atau orang lain tidak mengetahui apa kesalahan yang sudah dilakukan. Akan tetapi, dengan meminta maaf, batin kita akan menjadi lebih damai dan mempunyai emosi yang positif.

Apa saja tahapan memaafkan?

Tahapan memaafkan menurut Worthington yang dikenal dengan tahapan REACH, yaitu:

  • Recall: mengingat kembali luka yang kita alami. Kita harus melakukan proses penerimaan bahwa kita terluka dan menerima orang yang telah menyakiti diri kita, serta berhenti untuk menyalahkan diri sendiri.
  • Emphatize: berempati kepada orang yang telah menyakiti kita dan memikirkan sudut pandang lainnya, seperti alasan mengapa orang tersebut melakukan hal itu, apa yang dirasakan orang tersebut setelah melakukan hal itu, dan memposisikan diri sebagai orang tersebut.
  • Altruistic gift: kita membayangkan kembali ketika kita berbuat kesalahan kepada orang lain dan orang lain memaafkan kesalahan yang telah kita lakukan dengan ketulusan hati, serta tidak mengungkit kesalahan tersebut. Memaafkan sebagai hadiah yang harus diberikan agar hubungan satu sama lain tetap baik.
  • Commitment: kita harus bertekad bahwa kita sudah memaafkan orang yang telah menyakiti kita dan tidak mengungkit kejadian tersebut secara terus menerus, serta berusaha untuk berdamai dengan orang tersebut dan juga diri sendiri agar emosi positif yang tercipta, bukan emosi negatif.
  • Hold: kita harus berpegang teguh untuk memaafkan. Memaafkan membutuhkan proses yang panjang dan tidak mudah sehingga diperlukan usaha yang besar untuk mengubah pikiran yang negatif terhadap suatu kejadian atau orang menjadi pikiran yang positif.

Lalu, apa itu gratitude? Dan mengapa gratitude berkaitan dengan forgiveness dan psychological well-being?

Gratitude merupakan emosi positif yang ada pada kehidupan individu dan berkaitan dengan psychological well-being. Lalu apa kaitannya dengan forgiveness dan psychological well-being? Gratitude yang dirasakan oleh individu setelah proses memaafkan adalah dengan menerima peristiwa yang mengecewakan dan menjadikannya sebuah pelajaran, serta berterimakasih terhadap peristiwa tersebut karena mereka menjadi pribadi yang lebih baik. Setiap permasalahan yang terjadi di hidup kita akan membawa kita ke dalam proses pendewasaan. Menjadi dewasa tidak selalu tentang umur, tetapi juga tentang kepribadian kita. Umur tidak selalu mencerminkan pribadi yang dewasa, karena pada nyatanya banyak sekali yang umurnya sudah masuk ke dalam kategori dewasa, tetapi masih bersikap childish.

Setiap orang pasti memiliki sebuah masalah dalam hidupnya, dari yang ringan, sedang, sampai berat sekalipun. Akan tetapi, dibalik permasalahan yang kita miliki, masih banyak hal-hal yang bisa kita syukuri dan mengambil sebuah pembelajaran dari permasalahan tersebut. Rasa syukur dapat terlihat dengan bagaimana kita mampu memaafkan dan mengikhlaskan, serta tidak hanya berusaha untuk berdamai dengan orang lain, tetapi juga berdamai dengan diri sendiri dengan berusaha untuk menerima segala peristiwa yang sudah terjadi di hidup kita. Berbeda jika kita tidak berusaha untuk memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri, bersyukurpun rasanya sulit untuk kita lakukan. Bukan emosi positif yang kita rasakan, tetapi emosi negatif seperti sering menyalahkan diri sendiri, marah, penuh penyesalan, selalu merasa kecewa, tidak percaya diri, merasa gagal, dan putus asa.

Kesejahteraan psikologis kita menjadi menurun atau bahkan kita tidak merasakan kesejahteraan psikologis lagi didalam diri kita. Kita tidak merasa bersalah dengan diri kita dan tidak mengalami depresi, karena suatu kesalahan yang kita pikirkan secara berlarut-larut. Berdasarkan beberapa penelitian terkait mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif dan memberikan hasil signifikan antara forgiveness dan gratitude dengan psychological well-being.

Empat kualitas gratitude menurut McCullough, Emmons dan Tsang (2002), yaitu: 

  • Intensity: perasaan yang intens terhadap emosi positif khususnya pada rasa syukur.
  • Frequency: seberapa sering kita untuk bersyukur.
  • Span: menunjukkan kondisi kehidupan dimana kita kerap merasa bersyukur setiap hari.
  • Density: seberapa banyak peristiwa yang dapat disyukuri dan kepada siapa gratitude yang kita rasakan dapat dicurahkan.

Yuk mulai memaafkan dan bersyukur! Tidak hanya memaafkan orang lain ya, tetapi juga memaafkan diri sendiri. Akui saja kalau memang terluka dan kecewa, tetapi jangan lupa untuk berusaha bangkit dan keluar dari luka tersebut.

Daftar Pustaka

Aziz, R., Wahyuni, E. N., & Wargadinata, W. (2017). Kontribusi Bersyukur dan Memaafkan dalam Mengembangkan Kesehatan Mental di Tempat Kerja. INSAN Jurnal Psikologi Dan Kesehatan Mental, 2(1), 33. https://doi.org/10.20473/jpkm.v2i12017.33-43

Mahardhika, D. P. (2019). Hubungan Antara Bersyukur dan Memaafkan Pada Remaja Akhir.

Nashori, F. (2011). Meningkatkan Kualitas Hidup Dengan Pemaafan. UNISIA, 34(75), 215--226.

Prabowo, A. (2017). Gratitude dan Psychological Well-Being Pada Remaja. Jurnal Ilmu Psikologi Terapan, 5(2), 260--270.

Prameswari, Y., & Ulpawati. (2019). Peran Gratitude (Kebersyukuran) Terhadap Psychological Well-Being Tenaga Kesehatan. PERSONIFIKASI, 10(2), 101--113.

Pridayati, T., & Indrawati, E. (2019). Hubungan Antara Foregiveness dan Gratitude Dengan Psychological Well-Being Pada Remaja di Panti Asuhan X Bekasi. Jurnal IKRA-ITH Humaniora, 3(3), 197--206. http://JawaPost.com,

Putra, I. P. B. O., & Supriyadi. (2020). Pengaruh Outbound Move On Terhadap Perilaku Memaafkan dan Penerimaan Diri Pada Remaja Patah Hati di Denpasar. Jurnal Psikologi Udayana, 157--167.

Rahayu, I. I., & Setiawati, F. A. (2019). Pengaruh Rasa Syukur dan Memaafkan Terhadap Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja. Jurnal Ecopsy, 6(1), 50--57. https://doi.org/10.20527/ecopsy.v6i1.5700

Ratnayanti, T. L. (2016). Hubungan antara Gratitude Dengan Psychological Well-Being Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di SLB Negeri Salatiga. Satya Widya, 32(2), 57--64.

Yuliani, I. (2018). Innovative Counseling Konsep Psychological Well-Being Serta Implikasinya Dalam Bimbingan dan Konseling. Journal of Innovative Counseling: Theory, Practice, & Research, 2(2), 51--56. http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun