“Hari ini tidak usah sekolah nak, cuaca sedang tak bagus. Beberapa waktu lalu terjadi tanah longsor."
Mendengar itu Saka terkejut, karena ini pertama kalinya terjadi tanah longsor di tempat tinggalnya.Â
"Dimana, bu?" tanyanya sembari menarik kursi meja makan, mendudukkan dirinya dengan sarapan yang sudah tersedia di depannya. Sang ibu menuangkan nasi pada piring Saka, "perbatasan hutan," kali ini Saka hanya mengangguk namun rasa kesal mulai menjalar dalam dirinya. Ia tak heran bila longsor terjadi di daerah sana, karena halnya memang banyak sekali warga yang menebang pohon sembarang terutama pada perbatasan hutan, hingga sekarang banyak lahan kosong yang menyisakan akar pohon bekas ditebang. Dan kini dengan cuaca yang sedang mengamuk pula, ia tak akan heran bila banjir pun akan menghampiri mereka mengingat daerah resapan air yang berkurang.
Badai hari itu berlangsung hingga sore, membuat Saka baru dapat keluar dari rumahnya ketika mentari sudah di barat. Seperti dugaannya, akibat angin yang begitu kencang beberapa pohon tumbang, banyak pula barang asal berserakan. Namun, yang mengejutkan dirinya ialah banyaknya hewan liar yang berada di kawasan rumah warga. Beberapa warga melihatnya resah karena beberapa diantaranya merupakan hewan buas seperti ular, harimau, hingga monyet. Akibat hal ini warga diminta untuk tetap di dalam rumah, agar menghindari kemungkinan yang buruk.
Saka kembali ke ruang tamunya, dan memilih untuk membaca buku di sofa hijau miliknya. Ia menoleh ke arah ibunya yang menghela nafas melihat suasana di luar jendela.
"Kalau saja hutan masih utuh dan tidak berkurang seperti sekarang pasti hal ini tak akan terjadi."
Saka setuju dengan ibunya, orang-orang dari kota hingga pejabat banyak menebang pohon sembarangan untuk memperbesar lahan atas keegoisan mereka, tanpa peduli pada akibatnya. Baru menyadarinya, Saka menutup bukunya dengan cepat. Wajahnya panik mengingat sesuatu yang seharusnya ia sadari sedari tadi. tanpa basa basi, lelaki dengan mata hazel itu berlari keluar rumah, menerobos tanah yang masih basah, meninggalkan ibunya yang berteriak memanggil namanya.
Langkahnya berhasil membawanya melewati perbatasan hutan, tak peduli pada pijakan yang licin dan banyaknya batang pohon tumbang, ia tetap mengikuti jalan yang selalu ia lewati berharap untuk segera melihat pohon yang selalu ia kunjungi.
"REA!!!"
Tak ada jawaban dari sang gadis.
"MOREA!!!"