Fenomena "fatherless" di Indonesia menunjukkan bahwa kehadiran fisik ayah tanpa keterlibatan emosional bisa berdampak buruk bagi perkembangan anak. Temukan bagaimana ayah bisa menjadi sosok yang lebih dari sekadar pencari nafkah, dan bagaimana peran aktif mereka dalam pengasuhan dapat mencegah krisis emotional fatherless di generasi mendatang.
 Fatherless, atau kondisi di mana seorang anak tumbuh tanpa keterlibatan ayah secara fisik atau emosional, telah menjadi topik yang semakin banyak diperbincangkan di media sosial belakangan ini. Fenomena ini bukan hanya terjadi karena perceraian atau perpisahan, tetapi juga akibat ayah yang secara emosional absen meskipun fisik mereka hadir dalam kehidupan anak-anak. Hal ini memunculkan kekhawatiran terhadap dampak jangka panjang pada perkembangan emosional dan sosial anak.
  Dalam pengamatan saya terhadap beberapa konten di media sosial serta lingkungan sekitar, terlihat bahwa peran ayah sering kali dianggap lebih sebagai penyedia kebutuhan materi daripada figur emosional yang hadir. Ayah yang sibuk dengan pekerjaan, kurang terlibat dalam pengasuhan sehari-hari, atau tidak memberikan dukungan emosional yang memadai dapat membuat anak merasa kehilangan figur ayah, meskipun mereka tetap tinggal dalam satu atap. Inilah yang menjadi akar masalah fatherless yang sering luput dari perhatian.
  Di era modern, kita sering kali melihat bahwa tugas pengasuhan anak lebih banyak dibebankan kepada ibu, sementara ayah berfokus pada tanggung jawab finansial. Namun, pola asuh yang hanya mengandalkan ibu dapat memicu fenomena fatherless, di mana meskipun seorang ayah hadir secara fisik, ia tidak terlibat dalam pengasuhan anak secara emosional. Kondisi ini berdampak buruk pada perkembangan anak, baik dari segi mental, emosional, maupun sosial.
  Mendidik anak adalah tanggung jawab bersama, baik ayah maupun ibu. Keterlibatan ayah sangat penting karena mereka tidak hanya menjadi figur otoritas, tetapi juga memberikan pengaruh besar dalam pembentukan karakter, moral, dan kepercayaan diri anak. Meski demikian, banyak ayah yang merasa bahwa tanggung jawab mereka selesai setelah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Saat pulang ke rumah, kelelahan sering kali membuat mereka tidak menyisihkan waktu untuk anak-anaknya.
  Sebagai salah satu figur utama dalam keluarga, ayah memiliki peran yang signifikan dalam pembentukan karakter, kepercayaan diri, dan stabilitas emosional anak. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki hubungan positif dengan ayah mereka cenderung lebih berhasil dalam hal prestasi akademik, hubungan sosial, serta memiliki kesehatan mental yang lebih baik.
  Untuk mencegah terjadinya fatherless, ayah perlu lebih sadar akan pentingnya keterlibatan emosional dalam kehidupan anak. Bukan hanya menyediakan kebutuhan materi, tetapi juga meluangkan waktu untuk terlibat secara aktif dalam pengasuhan, mendengarkan, serta mendampingi anak dalam setiap fase pertumbuhannya. Keterlibatan ayah yang baik akan membantu anak merasa dicintai, dihargai, dan memiliki figur panutan yang kuat.
Berikut beberapa peran penting ayah dalam setiap tahap perkembangan anak:
1. Peran Emosional
  Ayah yang hadir secara emosional memberikan rasa aman dan cinta kepada anak. Kehadiran ayah yang peduli dan terlibat membantu anak merasa dihargai, memperkuat rasa percaya diri, dan memberikan rasa nyaman. Keterlibatan ini dapat berupa komunikasi terbuka, mendengarkan perasaan anak, dan memberikan dukungan saat anak menghadapi masalah.
 2. Model Perilaku dan Teladan
  Ayah seringkali menjadi figur yang ditiru oleh anak, terutama dalam hal pengendalian emosi, etika kerja, dan hubungan sosial. Seorang ayah yang menunjukkan tanggung jawab, empati, serta sikap kerja keras akan menjadi teladan yang positif bagi anak-anaknya, baik dalam konteks keluarga maupun kehidupan sosial.
3. Kehadiran dalam Aktivitas sehari-hariÂ
  Keterlibatan ayah dalam kegiatan sehari-hari anak, seperti membantu pekerjaan rumah, mendampingi belajar, atau sekadar bermain bersama, memberikan kontribusi pada keseimbangan hidup anak. Hal ini memperkuat ikatan emosional dan membantu anak belajar mengenai keteraturan, kedisiplinan, dan kerja sama.
 4. Pengaruh pada Kesehatan Mental dan Sosial
  Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki ayah yang terlibat cenderung lebih stabil secara emosional dan memiliki hubungan sosial yang lebih baik. Kehadiran ayah dapat mengurangi risiko gangguan perilaku, kecemasan, dan depresi pada anak. Selain itu, mereka lebih mungkin mengembangkan keterampilan sosial yang baik dan mampu mengatasi konflik dengan cara yang sehat.
5. Dukungan dalam Pendidikan
  Ayah yang terlibat dalam pendidikan anak, baik di rumah maupun di sekolah, cenderung meningkatkan prestasi akademik anak. Keterlibatan ini bisa melalui membantu tugas sekolah, menghadiri pertemuan orang tua di sekolah, serta mendukung pengembangan minat dan bakat anak di luar akademis.
  Kesadaran mengenai peran ayah ini penting untuk terus disuarakan, terutama di Indonesia, di mana tradisi masih sering menempatkan beban pengasuhan lebih besar pada ibu. Ayah harus mulai berperan lebih seimbang dalam keluarga, bukan hanya sebagai pencari nafkah, tetapi juga sebagai pelindung emosional dan pendamping dalam perjalanan hidup anak. Dengan demikian, kita dapat mengurangi fenomena fatherless dan membantu menciptakan generasi yang lebih sehat secara emosional dan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H