Sejauh apa keberanian dan dedikasi para K-popers untuk mendukung idolanya? Jika Anda benar-benar penasaran soal bagaimana sebenarnya kehidupan para penggila K-pop, tulisan ini mungkin bisa sedikit membantu.
Melalui tulisan ini saya akan menceritakan pengalaman pribadi selama lebih kurang enam tahun menjadi K-popers aktif. (Sekarang sih masih menggemari K-pop tapi sudah tidak lagi "bergerilya" mengejar oppa).
Suatu malam di bulan Agustus 2015 saya berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar. Rasa pegal di pergelangan kaki hingga pinggang masih terasa. Tenggorokan pun masih terasa kering. Namun, rasa senang yang tidak terkira masih membuncah di hati.
Beberapa jam yang lalu sebelum terbaring di tempat tidur, saya berada di sebuah aula besar, di tengah lautan manusia, yang bersama-sama dengan saya  mengayunkan lightstick secara antusias sambil berteriak "Bigbang! Bigbang! Bigbang!". Saya baru saja mendapat pengalaman surealis, melihat boy band idola dari dekat dan tenggelam dalam pesona mereka. Â
Saya baru saja pulang dari menonton konser Bigbang MADE yang berlangsung di ICE BSD bersama empat teman yang selalu seperjuangan dalam mengejar idola. Konser tersebut bagi para VIP, nama basis penggemar boyband K-pop Bigbang, menjadi penting karena dianggap sebagai konser terakhir sebelum satu per satu anggotanya vakum karena wajib militer.
Oleh sebab itu, pada malam tersebut saya dan teman-teman benar-benar mencurahkan diri sepenuhnya untuk menikmati konser. Kami menyanyi sekencang-kencangnya, mengambil foto mereka sebanyak-banyaknya dengan kamera smartphone, dan tentunya rela membayar berapapun harga tiketnya demi bisa dapat posisi dekat panggung.
Tidak disangka, konser Bigbang MADE di Jakarta menjadi konser K-pop terakhir yang saya tonton. Seusai konser tersebut saya merasa mungkin saatnya saya istirahat sebagai K-popers.
Alasan utamanya, fisik saya sudah tidak seprima dulu lagi. Usia memang tidak bohong. Jika dibandingkan K-popers masa kini yang lahir di tahun 1993 ke atas jelas ketahanan lutut saya untuk berdiri dan berjingkrak-jingkrak sudah kalah. Keinginan itu juga didorong oleh luka batin akibat bubarnya sejumlah girl band K-pop favorit saya beberapa tahun setelahnya. Mulai dari 2NE1, Sistar, dan masih banyak lagi.
Seiring dengan bertambahnya usia, fokus saya juga mulai berubah. Jika punya waktu luang maunya membaca, dan belajar hal-hal baru untuk mengembangkan karier. Tujuan finansial pun sudah berbeda. Jika dulu banyak untuk kegiatan hobi K-pop, sekarang saya berusaha untuk menabung untuk masa depan (ehem!).
 Jutaan rupiah demi oppa
Sebagai seorang idola, saya dan teman-teman cukup jor-joran dalam menghabiskan uang, membeli tiket konser sudah pasti, album, merchandise resmi, hingga majalah-majalah asing di mana idola yang kami puja mengisi halaman fashion-nya.
Bukannya kami punya banyak uang. Kami juga susah payah memutar otak supaya keinginan untuk memiliki apa-apa yang berhubungan dengan sang idola tercapai. Menggunakan gaji kami (yang tidak terlalu besar juga karena saat itu rata-rata kami adalah first jobber), tabungan, hingga kartu kredit.
Saya dan dua orang teman yang sama-sama menggemari Bigbang suatu saat pernah nekat membeli tiket promo ke Singapura, tidur di bandara, menonton konser YG Family in Singapore, kemudian sore harinya pulang ke tanah air.
Kami pernah memanfaatkan koneksi salah satu teman yang bekerja di hotel tempat idola kami beserta para kru-nya tinggal saat berkunjung ke Indonesia. Kami memesan kamar hotel dengan promo karyawan. Pagi harinya nongkrong di area kolam renang, siapa tahu bisa berpapasan dengan salah satu penari latar mereka atau bahkan si artis kalau beruntung.
Usai konser, kami tidak pulang ke rumah. Kami tidak pernah ikut sampai sesi encore, melainkan langsung menuju parkiran, memacu mobil menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Menunggu para idola dan kru memasuki bandara, hanya untuk melambai-lambaikan tangan pada mereka. Aneh? Ya, memang. Tapi kami bangga.
Pelajaran berharga
Pelajaran paling berharga dari pengalaman mendedikasikan diri untuk memuja idola K-pop adalah soal manajemen keuangan dan mengedepankan prioritas. Perilaku saya dan teman-teman saya di atas, di mata ahli manajemen keuangan pastinya adalah sebuah dosa besar.
Saya sendiri merasakan akibatnya. Bekerja selama dua tahun lebih, tabungan tidak ada. Impian-impian jangka panjang saya pun tidak tercapai. Misalnya, punya deposito sekian juta, bisa sekolah lagi untuk melanjutkan ke jenjang S2, dan masih banyak lagi.
Akhirnya, saat itu, usai mengikuti konser Bigbang MADE saya merasa harus lebih dewasa. Saya putuskan untuk berhenti. Bukan hanya karena umur sudah semakin bertambah dan badan sudah terlalu lelah untuk berlari-larian di venue konser. Namun, ada hal mendasar yang saya sadari. Oppa tidak akan memikirkan masa depan saya. Tanggung jawab terhadap masa depan dan apapun yang saya alami, ada pada diri saya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H