Mohon tunggu...
Sheila Bachtiar
Sheila Bachtiar Mohon Tunggu... Lainnya - PNS TNI AD

HOBI MENULIS, MEMBACA, MENONTON FILM

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seuntai Kata Maaf

31 Mei 2023   00:35 Diperbarui: 31 Mei 2023   00:37 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lila hanya mampu meneteskan airmatanya melihat keadaan Mbak Ayu yang terlihat lemah tak berdaya. Kasihan Mbak Ayu, untuk bernafaspun ia harus dibantu dengan tabung oksigen. Belum lagi selang infus di kedua tanganny. Lila benar-benar tak tega melihatnya. Apalagi saat itu Budhe Dibyo tetangganya menayakan kehadiran Ibu dan Bapak. Ada yang terasa mengiris hatinya. Karena sampai saat ini kedua orang tuanya tidak peduli dengan keadaan Mbak Ayu. 

Budhe Dibyo datang bersama dengan Ibu-ibu yang lain untuk membesuk Mbak Ayu. Lila berusaha untuk tidak mendengarkan ketika Ibu-ibu itu mulai kasak kusuk membicarakan ibunya juga keadaan Mbak Ayu. Apapun kata mereka, pastilah bukan hal yang baik. Sesaat kemudian para pembesuk pamit untuk pulang. Lila mengucapkan rasa terima kasihnya dengan senyum tipis di sudut bibirnya. Budhe Dibyo membisikkan sesuatu ke telinga Lila ketika berjabatan tangan.

"Cobalah bujuk kedua orangtua Nak Lila untuk menemui Nak Ayu. Ia membutuhkan kehadiran kedua orangtuanya, bukan pengobatan seperti ini yang justru akan menyiksa Nak Ayu."

"Akan saya usahakan Budhe, terima aksih atas kedatangan Budhe dan Ibu-ibu sekalian."

"Suami Nak Ayu di mana?"

"Sebentar lagi kesini Budhe, tadi sedang menitipkan Allya pada ibunya yang berada di Secang," jawab Lila cepat. Budhe Dibyo mengelus punggungku dengan senyumnya yang terasa memberikan kedamaian. Andai Ibu seperti itu ...

Tak berapa lama setelah kepergian Ibu-ibu tersebut Lila memandang kakaknya dengan hati trenyuh. Mata Mbak Ayu tertutup, ada lingkaran hitam di matanya dan juga bias kepedihan di mata itu. Wajahnya terlihat begitu kuyu sekali. Apakah penderitaan Mbak Ayu begitu besarnya?

"Lila? Mas kira kamu sudah pulang?" suara Mas Joko mengagetkan Lila. Suami Mabk Ayu itu terlihat begitu tabah menerima cobaan yang sedang dihadapinya saat ini.

"Kalau Mas tidak keberatan biar Allya untuk sementara ini Lila yang akan mengurusnya," pintaku. Mas Joko tertawa kecil.

"Tidak usah nanti mengganggu kuliahmu," tolaknya halus, "Orangtua Mas masih sanggup merawat Allya. Lagipula Allya sudah terbiasa bersama neneknya. Mengurus anak kecil itu repot La, apalagi Allya masih belum genap satu tahun," jelas Mas Joko. Mas Joko melirik jamtangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Sudah hampir maghrib, kamu pulang saja. Nati Bapak dan Ibu bisa marah kalau kamu pulang kemalaman."

"Tapi Mas..."

"Jangan khawatir, mbakmu akan baik-baik saja. Lihat matamu ... sudah kuyu sekali. Kamu harus banyak istirahat," mau tak mau Lila menurut.

***

Lila pulang saat Adzan Maghrib berkumandang. Langkahnya tertahan di ambang pintu rumahnya saat dilihatnya Ibu berdiri dengan sorot mata tajam dengan kedua tangan terlipat di dada. Tatap matanya yang begitu tajam membuat Lila nampak sedikit gelisah. Pasti Ibu tidak suka dengan apa yang dilakukannya. Apalagi Ibu menatap dari ujung sepatu sampai ujung rambutnya.

"Ibu tidak suka kamu pergi tanpa seijin Ibu!" sentak beliau dengan sorot mata tajam. Lila tersenyum kecut. Kalau bukan dia siapa lagi yang akan menunggu Mbak Ayu? Kalau dia harus menunggu ijin dari Ibu, sampai kapan? Sedang Ibu sendiri tidak merasa malu pada tetangga. Mereka semua sudah datang menengok Mbak Ayu. Sementara Ibu dan Bapak sebagai orangtua kandungnya sendiri, jangankan menengok mendengar Mbak Ayu sakit pun Ibu dan Bapak seakan tidak peduli.

"Apa Ibu tidak mempunyai sedikitpun rasa kasih sayang pada Mbak Ayu?" Lila menghentikan ucapannya ketika sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Lila memegang pipinya yang terasa memanas. Ada retas airmata yang menggumpal di sudut matanya, tapi tidak! Ia harus bisa menahannnya.

"Bapak tidak suka kamu bicara seperti itu. Kami tidak butuh nasehat dari anak ingusan seperti kamu!" Bapak terlihat emosi sekali, sedang Ibu tak mampu berkata apa-apa. Tanpa menghiraukan kedua orangtuanya lagi, Lila cepat berlalu dan masuk ke kamarnya, kemudian mengunci pintunya rapat-rapat. Dihempaskannya tubuhnya di atas tempat tidur. Bapak dan Ibu ... sifat keduanya sama-sama keras dan tidak pernah mau dibantah. Entah sampai kapan Bapak dan Ibu akan terus memusuhi Mbak Ayu. Entah salah siapa sebenarnya. Tiga tahun yang lalu keluarga mereka merupakan keluarga yang begitu bahagia. Mereka hidup dengan materi serba kecukupan. Kasih sayang yang berlimpah antara orangtua dan anak. Sampai kemudian Mbak Ayu menolak laki-laki pilihan Bapak untuk pendamping hidupnya. Bapak yang seorang anggota TNI merupakan pejabat yang cukup disegani. Bapak ingin Mbak Ayu menikah dengan laki-laki pilihan Bapak yang masih merupakan anak buahnya, tapi Mbak Ayu menolak karena sudah emmpunyai pilihan sendiri yaitu Mas Joko yang bekerja sebagai guru SD. Bapak menolak keras pilihan Mbak Ayu itu tapi Mbak Ayu tetap teguh pada pendiriannya. Tetap memilih Mas Joko untuk mendampinginya. Bapak memberikan pilihan pada Mbak Ayu untuk tetap tinggal di rumah dan memenuhi keinginan Bapak atau memilih pergi dari rumah dan menikah tanpa restu dari Bapak dan Ibu. Mbak Ayu lebih memilih hati nuraninya sendiri dibandingkan patuh pada keinginan Bapak. Mbak Ayu pergi dari rumah dan menikah dengan Mas Joko tanpa restu dari Bapak.

Sampai sekarang Lila masih tidak mengerti betapa besar sebuah ego pada diri manusia. Sehingga demi ego dan rasa cintanya pada Mas Joko, Mbak Ayu rela meninggalkan keluarga dan pergi bersama pendamping hidup pilihannya sendiri. Dan Ego Bapak yang tidak mau mengerti akan pilihan sang anak. Apakah demi sebuah ego perlu pengorbanan sebesar itu?

Kini setelah tiga tahun telah berlalu, Bapak dan Ibu masih belum bersedia memaafkan Mbak Ayu. Bila Mbak Ayu berkunjungpun Bapak dan Ibu tidak pernah mau menemui walau semenit saja. Saat Mbak Ayu melahirkan Allya pun, Bapak dan Ibu sakalipun belum pernah menengok cucunya. Hingga sekarang ... saat Mbak Ayu sakit parah, Bapak dan Ibu masih saja tidak mau menjenguknya. Padahal Mbak Ayu sudah di rawat di RST Dr. Soedjono Magelang ini sudah tiga hari lamanya. Ada sesal di hati Lila atas sikap kedua orangtuanya. Untuk berbicarapun Lila seakan sudah tidak berhak lagi. Karena segala sesuatu di rumah ini harus patuh pada peraturan Bapak. Entah kapan pintu maaf itu terbuka untuk Mbak Ayu. Apakah terlalu besar kesalahan Mbak Ayu hingga tidak pantas untuk dimaafkan?

Lila meraih tangan Mbak Ayu dalam genggamannya ketika Mbak Ayu mulai membuka matanya. Dia semakin erat menggenggam tangan lemah itu, seakan memberi kekuatan padanya. Lila ingin menangis bila melihat keadaan lemah Mbak Ayu. Sayang ... Bapak dan Ibu buta akan hal ini.

Lila berusaha menahan tangis saat melihat Mbak Ayu dengan susah payah mencoba tersenyum di antara selang-selang di hidungnya.

"Bapak dan Ibu sehat, La? Mbak ingin bertemu dengan Bapak dan Ibu. Mbak ingin minta maaf ..." Lila tak bisa lagi menahan airmatanya saat melihat Mbak Ayu meneteska airmata kepedihannya.

"Iya Mbak ... besok Lila akan bawa Bapak dan Ibu kemari."

"Benar ya, La? Soalnya Mbak takut nggak akan ..."

"Mbak pasti sembuh! Jangan berpikiran yang bukan-bukan ya, Mbak?" pinta Lila penuh harap. Mbak Ayu mengangguk kecil. Tanpa Mbak Ayu berkata Lila tahu sorot mata itu mengucapkan terima kasih. Mata Mbak Ayu pun terpejam lagi. Lila pasti akan melakukan hal apa yang Mbak Ayu ingikan, batin Lila dengan kepedihan yang tiba-tiba saja melanda di hatinya.

Malam itu Lila merasa sangat gelisah, ia masih kebingungan mencari jalan agar Bapak dan Ibu mau datang menjenguk Mbak Ayu. Setelah lama berpikir, akhirnya Lila menemukan sebuah jalan yang menurutnya jitu untuk menggoyahkan pendirian Bapak dan Ibu. Dengan cara ini semoga ego Bapak dan Ibu bisa lunak mudah-mudahan bisa hancur. 

Lila tersenyum tipis saat melihat Ibu sedang santai menonton televisi, tanpa Bapak. Lila duduk di samping Ibu. Kelihatannya Ibu sedang tidak ingin diganggu, tapi kapan lagi dapat kesempatan kalau bukan sekarang, pikir Lila. Sesaat ragu menyergap hatinya. Tapi apapun yang akan terjadi nanti, setidaknya kali ini dia harus berani mencoba.

"Bu ... Mbak Ayu ingin bertemu dengan Ibu dan Bapak," ucap Lila cepat. Ibu menoleh, memandangnya dengan sorot mata tak suka dengan kata-kata yang baru saja diucapkan Lila.

"Sudah Ibu bilang jangan ..."

"Dengarkan Lila dulu, Bu! Tolong untuk kali ini saja ... sakit Mbak Ayu sudah parah dan butuh kehadiran Ibu dan Bapak di sana," Lila menghela nafas sejenak kemudian mulai bicara lagi. Kelihatannya untuk kali ini Lila berhasil, Ibu terlihat mulai mau mendengarkan.

"Ibu tentu pernah dengar kata-kata Ridho Allah berasal dari Ridho orangtua dan murka Allah juga berasal dari murka orangtua. Bukannya Lila mau menasehati Ibu. Lila cuma minta Ibu untuk datang menjenguk Mbak Ayu. Sekaliii .... saja!" penuh harapan dalam nada suara itu.

"Ini urusan Ibu dan dia. Kamu tidak perlu ikut campur! Itulah ganjaran bagi anak yang tidak mau patuh pada nasehar orangtua!" ujar Ibu ketus di luar dugaan Lila. Lila menahan airmata yang terasa mengganjal di sudut matanya. Inikah figur seorang Ibu? Ibu yang begitu ia hormati, Ibu yang begitu ia sayangi. Kenyataannya? Sekedar maaf untuk anak pun tidak beliau berikan. 

"Ibu adalah wanita mulia yang telah melahirkan Mbak Ayu. Apa Ibu tega jika melihat Mbak Ayu yang masih bernyawa tapi terlihat tak bernyawa? Lila mohon... di mana naluri Ibu jika melihat anaknya tersiksa di antara kehidupan dan kematian?" Lila mulai menghapus airmatanya dengan usapan jemarinya.

"Baiklah itu terserah Ibu! Tapi kalau sampai terjadi apa-apa terhadap Mbak Ayu ..." Lila tidak mampu meneruskan kata-katanya sendiri. Ia cepat meninggalkan Ibu dan berlari ke kamarnya dengan deraian airmata.

"Aku masih seorang Ibu ..." gumam wanita setengah baya itu menundukkan kepalanya.

***

Dengan langkah cepat Lila menyusuri koridor Rumah Sakit. Harusnya pagi tadi ia tidak perlu masuk kuliah, sesalnya. Sesampainya di ruangan di mana Mbak Ayu dirawat, dilihatnya Bapak dan Ibu berada di situ bersama Mas Joko. Lila tersenyum bahagia. Ia tahu, akhirnya pintu maaf itu terbuka juga, akhirnya tembok keangkuhan itu runtuh juga. Lila meraih tangan Bapak dan dan Ibu untuk mendekati Mbak Ayu. Lila menyentuh lengan Bapak. Bapak segera mendekati Mbak Ayu, nafas Mbak Ayu terlihat memburu cepat.

"Ayu ... ini Bapak, Nak. Bapak sudah memaafkan kamu," ucap Bapak terbata. Lelaki setengah baya yang dikenal angkuh itu matanya berkaca-kaca. Mereka sudah tahu Mbak Ayu tidak mungkin bisa bertahan lagi.

"Kalau mau pergi, pergilah dengan tenang, Nak. Ibu ikhlas ... Ibu sudah memaafkan kamu. Allah... Allah... Allahu Akbar," Ibu terus membisikkan Asma Allah di telinga Mbak Ayu. Tak lama kemudian Mbak Ayu memejamkan matanya, Lila tahu kali ini untuk yang terakhir kalinya, Mbak Ayu sudah terlepas dari penyakitnya.

"Innalillahi wainnailaihi roji'un," Mas Joko mengusap kepala Mbak Ayu perlahan. Lila melihat ada ketabahan di sana. Ya ... Lila pun harus tabah menerima kepergian Mbak Ayu. Setahun yang lalu Mbak Ayu diketahui menderita kanker paru-paru dan lever. Setelah melahirkan Allya kesehatan Mbak Ayu semakin menurun. Penyakit itu begitu menyiksa dirinya. Tapi Tuhan sayang padanya dengan mengambil nyawanya terlebih dahulu, dengan begitu Mbak Ayu tidak perlu menderita lagi. Lila mengusap airmata yang semakin luruh berjatuhan dari kedua kelopak matanya, apa yang dikatakan Budhe Dibyo memang benar. Mbak Ayu hanya membutuhkan satu kata maaf dari Bapak dan Ibu, bukan pengobatan yang malah menambah penderitaannya.

 

Selesai

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun