Mohon tunggu...
SHEFIA SALSABILA
SHEFIA SALSABILA Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia

Halo, Fia disini! Temukan segudang informasi menarik dan bermanfaat yang bisa kamu baca di linimasa-ku untuk membantu kamu mendapatkan cara baru dalam berkreasi. Salam hangat untuk semua ^_^

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Politik Lotre Oleh Shefia Salsabila

6 November 2023   01:07 Diperbarui: 6 November 2023   01:37 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

POLITIK LOTRE

oleh Shefia Salsabila

Pagi buta hingga kelam malam

Ibu Siti mengoceh kelabakan

Bukan karena apa 

Spanduk warteg miliknya diganti wajah hewan

Belum lagi pak ujang yang kelimpungan

Pagar rumahnya diikat duri kawat

Kampanye apanya?

Mungkin yang kau maksud menguasai bumi

Memberi tanda pada tiap-tiap jalan

Tanda pada tiap-tiap persimpangan

Menjejaki angkuh harapan kemenangan

Menabur sumpah pada yang kelaparan

Tak asing pula kupandang wajah para monyet

Menebar janji dari kepala sampai ujung kaki

Terakhir aku dengar korupsi harus berhenti

Nyatanya rakus memang bagian dari tradisi

Monopoli demi eksistensi

Kalau-kalau engkau tak mampu berkendara

Jangan mau disetir kepala

Membungkuk menekuk lutut

Terhasut ucap kata semrawut

Hanya bisa manggut-manggut

Ajang politik seperti tempat unjuk taring

Saling gigit saling tuding

Menaikkan derajat

Menambah saldo rekening

Sedang kami terkesan main lotre

Yang bila kau kalah nanti

hancur silaturahmi

menjadi dengki tak berarti

Sebagian kerabat kutanyai pilihannya

"Aku ingin golput saja",

Tidak heran kataku

Suara mereka memang ambigu

Merancang a dengan a

Namun maju bersama b

Berjanji a untuk a

Malah minta lima ratus juta

Sembunyi menutup hasrat

Hingga suatu saat ia meledak

Tersedak janji rakyat melarat

Bagaimanapun hubungan perlu cinta

Seperti halnya

Berteman perlu cinta

Berpacaran perlu cinta

Berkeluarga perlu cinta

Berpolitik,

perlu suara

Kau yang memulai terlebih dulu

Mengajak kami untuk berenang

Menengok indah laut dalam

Tetapi saat tenggelam

Kau masih bertanya

Mengapa kami tercekik kehabisan udara

Bulan dua nanti

Akan terulang kembali

Siapa saja yang suaranya naik

Jangan sekali-sekali mematikan mic

Penolakan aspirasi yang mengganggumu

Berujung alasan kehabisan waktu

Adalah ombak laut yang pernah kuselami

Ia meninggalkan butir-butir pasir

Begitu juga kerang terperangkap disaku

Layaknya engkau yang rela berdesak sesak

Menebar umpan melalui kamera

Atau sekadar senyum sebagai cendera mata

Gila sebab kepercayaan dibangun dengan oleh-oleh

Ada yang masih hidup

Ada yang sudah mati

Tidak sedikit suaranya menyentuh hati

Bukankah kau mahir membaca situasi?

Memeras dengan keras

Memberi hanya sedikit

Berteriak untuk didengar

Ubahlah sesekali posisi pandangmu

Sehingga dapat kau lihat dimana letak salah

Sehingga dapat kau pahami kapan berwelas asih

Tidakkah kau rindu suasana aman?

Bila kuperjelas apa yang kau perlukan

Dapatkah engkau menepati setiap ujar?

Bahwa percaya dibangun melalui rasa

Menderita dan menangis bersama

Bahagia dan haru bersama

Berdarah dan mati bersama

Membangun dan bangkit bersama

Demi pelihara bahagia

Ada seorang ibu yang rela meringis nyeri

Tidak makan berminggu-minggu bukan sebuah persoalan

Ada seorang ayah yang mampu bekerja siang dan malam

Babak belur sekujur tubuh hal sangat wajar katanya

Maka jangan kau tambahi sakit mereka

Dengan sumpah yang berujung sampah

Dengan aturan yang terbakar anggaran

Dengan harap yang tak kunjung digarap

Suara kami tidak gratis

Ribuan mimpi kami terbangkan

Bertaruh kubu mana yang siap menjadi pembantu

Mengambil resiko jika ujungnya kami dihilangkan

Maka sudi atau tidak

Berani atau tidak

Bahagia atau tidak

Kami tetap rakyatmu

Tuhan bukan saksi bisu

Ia menelaah setiap dosa

Disengaja atau tidak perbuatan hamba-Nya

Yang memberi pertimbangan bukan hanya Tuhan

Kami juga gila pada saat-saat terakhir

Segala luka telah kami telan bersama

Merah atau biru

Kuning atau putih

Jingga atau hijau

Keliru tidaklah baru

Berjanji tidaklah pasti ditepati

Kini kata-kata hanya kata-kata

Maka siapa yang bisa kami percaya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun