Mohon tunggu...
Shaula Safira
Shaula Safira Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Jilbab Halal, Perlukah?

13 Februari 2016   14:16 Diperbarui: 13 Februari 2016   14:25 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini publik sedang dihebohkan dengan dikeluarkannya sertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia kepada salah satu produsen hijab dan pakaian dalam negeri. Selain daripada makanan dan kosmetik yang sudah lazim, kini pakaianpun dapat memilih untuk mendapatkan sertifikasi halal guna menjamin produk yang dihasilkan sudah sesuai dengan syari’at-syari’at Islam.

Sebelum berbicara tentang produk hijab ini, mari kita melihat lebih jelas apa itu Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), apa itu sertifikasi halal dan apa tujuan LPPOM MUI tersebut selama ini sehingga harus mengeluarkan sertifikasi halal kepada produk-produk yang dijual di pasaran.

Apakah itu Halal?

Tentunya, halal dan haram adalah bagian dalam agama Islam. Begitu menyeluruhnya, Islam membatasi penganutnya akan hal-hal yang diperbolehkan, baik untuk dikonsumsi, digunakan maupun dilaksanakan. Anggapan bahwa halal hanya untuk hal yang dikonsumsi adalah benar-benar salah. Lebih dari itu, halal adalah untuk segala aspek kehidupan. Mengapa? Karena dalam surat Al-Baqarah 2:168 disebutkan “Wahai sekalian manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik, dan janganlah kamu ikut jejak langkah Syaitan; karena sesungguhnya Syaitan itu ialah musuh yang terang nyata bagi kamu”. Bukankah yang kita ‘literally’ makan adalah yang masuk ke dalam tubuh kita, yang kita ‘technically’ makan segala hal yang kita pakai dan kita pergunakan?

Apakah itu LPPOM MUI?

Dilansir daripada website resmi LPPOM MUI www.halalmui.org, pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandate dari Pemerintah/negara agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif dalam meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1988. Didirikan pada tanggal 6 Januari 1989, LPPOM MUI bertujuan untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Tidak setengah-setengah, LPPOM MUI bekerja sama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM< Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah Perguruan Tinggi di Indonesia. Sistem sertifikasi dan system jaminan halal yang dirancang serta diimplementasikan oleh LPPOM MUI pun telah pula diakui bahkan juga diadopsi oleh lembaga-lembaga sertifikasi halal luar negeri.

Apakah itu Sertifikat Halal?

LPPOM MUI mengeluarkan sertifikat halal berupa fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan suatu produk telah sesuai dengan syari’at Islam. Sertifikat Halal MUI ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang. Pernah lihat logo MUI pada kemasan produk makanan? Itulah tanda bahwa produk tersebut sudah melalui pengecekan MUI dan dinyatakan halal untuk dikonsumsi. Pemeriksaan berikut meliputi pemeriksaan dan/atau verifikasi data pemohon, pemeriksaan proses produksi, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaaan pengepakan, pengemasan dan penyimpanan produk, pemerriksaan sistem transportasi, distribusi, pemasaran dan penyajian hingga akhirnya pemrosesan dan penetapan Sertifikasi Halal (Keputusan Menteri Agama Republik Indonseia Nomor 519 Tahun 2001 Tanggal 30 November 2001 Tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal Menteri Agama Republik Indonesia).

Bagaimana penetapan kehalalan oleh LPPOM MUI?

Dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 518 Tahun 2001 Tanggal 30 November 2001 Tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal Menteri Agama Republik Indonesia Bab I Pasal 1, pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Pemeriksaan pangan halal adalah pemeriksaan tentang keadaan dan tambahan dan bahan penolong serta proses produksi, personalia dan peralatan produksi, system manajemen halal dan hal-hal lain yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi pangan halal. Dalam Bab VI Pasat 8 ayat 2, Sertifikat Halal ini berlaku selama 2 (dua) tahun dan dapat diperbaui untuk jangka waktu yang sama sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lalu, bagaimana dengan jilbab halal tersebut?

Adakah hal yang salah dengan kata Halal dan Haram sehingga masyarakat sangat sensitif dengan dua kata tersebut? Tidakkah masyarakat, terutama muslim merasa aman ketika hal yang dikonsumsi dan digunakan tergolong aman? Karena hal-hal yang Haram yang ditetapkan oleh agama Islam adalah untuk kebaikan masyarakat sendiri (bukan hanya terbatas kepada muslim) agar dijauhkan, karena dipercaya (dan lambat laun terbukti secara scientific) akan menimbulkan kerusakan kepada umat manusia. Boleh digoogle lebih lanjut, hal-hal yang haram seperti khamr dan babi dan mengapa Islam tidak memperbolehkan ummatnya untuk mengkonsumsi hal tersebut.

Tentunya, sertifikasi halal tidak dapat digunakan untuk kepentingan komersil. Penggunaan kata dalam mempromosikan produk sebaiknya tidak yang menimbulkan kontroversi, dalam hal ini menimbulkan kesan negatif kepada produk-produk lain. Karena sertifikasi halal ini berupa voluntarily basis, bukannya keharusan bagi sebuah perusahaan, maka tidak serta merta barang-barang lain yang tidak bersertifikasi halal dapat diartikan sebagai haram.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun