Sapardi Djoko Damono atau yang biasa dipanggil SDD menghembuskan napas terakhirnya pada Minggu (19/7/2020) sekitar pukul 09.17 WIB, di RS EKA BSD, Tangerang Selatan.
Suami dari Wardiningsih ini lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya yang sangat populer dan menghayat hati. Sederhana namun penuh makna, itu lah kalimat yang sering dipakai beberapa orang untuk menggambarkan puisi yang ditulis oleh Sapardi.
Berkat hasil produktif pada masa hidupnya, Sapardi meninggalkan sejumlah penghargaan yang di dapat saat berkecimpung di dunia sastra. Pada tahun 1986, Sapardi mendapatkan penghargaan SEA Write Award.
Penyair kebanggaan Indonesia ini juga pernah menerima Penghargaan Achmad Bakrie di tahun 2003 dan menjadi salah satu seorang pendiri Yayasan Lontar.
Tak hanya itu, pada April 2018 lalu di PWTC Kuala Lumpur, dalam acara Kuala Lumpur Internasional Book Fair beliau juga mendapat penghargaan Anugerah Buku ASEAN (ASEAN Book Award) untuk buku yang berjudul Hujan Bulan Juni dan Yang Fana Adalah Waktu.
Sapardi sangat aktif menulis dan telah menerbitkan banyak buku puisi, esai, fiksi dan cerita pendek.
Karya Sapardi juga sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Tak heran jika banyak penghargaan yang sudah di dapat oleh pensiunan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) ini.
Berikut ini beberapa puisi karya Sapardi Djoko Damono yang populer dan menuai banyak penghargaan:
- Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakan rintik rindunya
Kepada pohon berbunga ituTak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskan jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan ituTak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibirkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu - Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada - Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
  "Tapi,
Yang fana adalah waktu, bukan?"
Tanyamu. Kita abadi. - Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiriPada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasatiPada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau takkan letih-letihnya kucari. - Seperti Kabut
Aku akan menyayangimu
Seperti kabut
Yang raib di cahaya matahari
:
Aku akan menjelma awan
Hati-hati mendaki bukit
Agar bisa menghujanimu
:
Pada suatu hari baik nanti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H