Meskipun merasa gerah karena keringat mengucur sepanjang perjalanan dan setiap pagi punya ritual "duduk termenung di atas kloset", kebanyakan pengunjung belum berani menjadikan sungai tersebut sebagai tempat mandi sekaligus kakus terbesar di dunia. Banyak wisatawan mandi dengan memanfaatkan kamar mandi “darurat” yang biasanya digunakan wanita Baduy. Sayang tidak terlihat kakus “darurat” selain sungai ini.
Suasana Baduy syahdu berbau horor mulai terasa ketika matahari beranjak dari tempatnya. Ketiadaan listrik dan sinyal menambah kesyahduan itu. Disinari lampu minyak kecil di pojok tiang, Kang Sapri dan teman-temannya dari Baduy Dalam bercerita tentang keteguhan masyarakat Baduy memegang adat istiadat yang dipimpin seorang Pu’un (ketua adat).
Hampir tidak pernah ada kejahatan; hasil alam dipergunakan sesuai kebutuhan; pernikahan merupakan buah perjodohan tanpa ada pacaran. Kalaupun ada pacaran, mereka ditemani teman dan keluarganya; rumah dibangun secara gotong royong dengan bentuk, bahan, dan arah yang sama; tidak ada kendaraan bahkan sepeda sekalipun, sehingga mereka kemana-mana berjalan kaki tanpa alas kaki. Termasuk perjalanan ke Jakarta yang berjarak sekitar 175 km.
Mereka begitu menghormati alam dan tradisi. Tujuan hidup mereka cukup sesederhana, yaitu ingin berguna bagi sesama. Sebuah filosofi hidup sederhana yang penuh makna. Sesederhana cara mereka berpakaian, namun kebesaran hati mereka dalam mempertahankan tradisi dan alam mencerminkan kedalaman filosofi hidup mereka.
Tak terasa cerita mereka seperti pengantar tidur seiring dengan semakin pudarnya cahaya lampu minyak. Mimpi indah di atas anyaman bambu, tanpa gangguan nyamuk berseliweran, dan disertai bisikan angin segar pegunungan, membuat pengunjung punya modal untuk berjuang menempuh perjalanan pulang menuju Ciboleger, tempat bis atau kendaraan wisatawan berada.
Sama seperti saat pergi, ketika pulang pemandu lokal yang berasal dari Baduy Dalam selalu setia menemani, sekaligus berperan sebagai model foto dan porter barang. Kecerian perjalanan pulang semakin lengkap ketika banyak bertemu dengan wisatawan atau backpacker. Meskipun tidak saling kenal, namun seolah seperti baru berguru dari masyarakat Baduy, wisatawan biasanya dengan ringan tangan saling membantu untuk menaklukkan berbagai rintangan di sepanjang perjalanan. Sungguh perjalanan panjang yang menyenangkan dan selalu ingin diulang. (Foto dan narasi by S. Hariyadin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H