Meskipun merasa gerah karena keringat mengucur sepanjang perjalanan dan setiap pagi punya ritual "duduk termenung di atas kloset", kebanyakan pengunjung belum berani menjadikan sungai tersebut sebagai tempat mandi sekaligus kakus terbesar di dunia. Banyak wisatawan mandi dengan memanfaatkan kamar mandi “darurat” yang biasanya digunakan wanita Baduy. Sayang tidak terlihat kakus “darurat” selain sungai ini.
Hampir tidak pernah ada kejahatan; hasil alam dipergunakan sesuai kebutuhan; pernikahan merupakan buah perjodohan tanpa ada pacaran. Kalaupun ada pacaran, mereka ditemani teman dan keluarganya; rumah dibangun secara gotong royong dengan bentuk, bahan, dan arah yang sama; tidak ada kendaraan bahkan sepeda sekalipun, sehingga mereka kemana-mana berjalan kaki tanpa alas kaki. Termasuk perjalanan ke Jakarta yang berjarak sekitar 175 km.
Mereka begitu menghormati alam dan tradisi. Tujuan hidup mereka cukup sesederhana, yaitu ingin berguna bagi sesama. Sebuah filosofi hidup sederhana yang penuh makna. Sesederhana cara mereka berpakaian, namun kebesaran hati mereka dalam mempertahankan tradisi dan alam mencerminkan kedalaman filosofi hidup mereka.
Tak terasa cerita mereka seperti pengantar tidur seiring dengan semakin pudarnya cahaya lampu minyak. Mimpi indah di atas anyaman bambu, tanpa gangguan nyamuk berseliweran, dan disertai bisikan angin segar pegunungan, membuat pengunjung punya modal untuk berjuang menempuh perjalanan pulang menuju Ciboleger, tempat bis atau kendaraan wisatawan berada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI